Jalur Belakang: Jalan Tol yang Menciderai Kejujuran dan Mutu Reformasi Birokrasi Pelayanan Pendidikan
Jalur
Belakang: Jalan Tol yang Menciderai Kejujuran dan
Mutu
Reformasi Birokrasi Pelayanan Pendidikan
Oleh:
Casmudi
Pendidikan merupakan garda terdepan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pendidikan, bangsa Indonesia mampu
bersaing dengan negara lain dalam bidang sains dan teknologi. Betapa hebatnya
dunia pendidikan kita jika mau belajar dari kasus masa silam Negeri Matahari
terbit (Jepang) saat Restorasi Meiji bahwa betapa berharganya para guru (pendidik)
yang harus tetap dijaga agar tidak menambah daftar yang menjadi korban
peperangan karena para guru mampu mencetak bibit-bibit pintar baru dalam perkembangan
sains dan teknologi. Dan akhirnya benar-benar terbukti, saat ini Jepang masih unggul dan mengalahkan
negara-negara di dunia dalam bidang sains dan teknologi.
Sebenarnya kecerdasan anak Indonesia tidak
kalah dengan negara manapun di dunia. Kecerdasan otak anak bangsa sudah teruji
dan banyak yang menjadi pemenang dalam berbagai event internasional (olimpiade)
dalam dalam berbagai bidang ilmu. Hal itu, semata-semata karena peran serta
para pendidik dan birokrasi yang terlibat di dalamnya (Kementrian Pendidikan).
Disinilah, peran Kementrian Pendidikan yang diberi pertanggungjawaban oleh
Presiden untuk mengelola dunia pendidikan kita agar bergerak ke atas menuju
perkembangan yang bisa diandalkan. Meskipun pihak lain juga mempengaruhi
kapasitas dan kualitas pendidikan kita. Sayangnya, sejak masa reformasi grafik
perkembangan dunia pendidikan kita mengalami pasang surut. Perbaikan dalam
bidang sarana dan prasarana pendidikan
mengalami selalu mengalami kemunduran. Banyak berita-berita yang beredar di
media masa yang mempertontonkan betapa buruknya gedung-gedung pendidikan
(sekolah) yang rusak dan penanganan dunia pendidikan yang tidak mengedepankan
pembinaan mental berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kejadian yang terbaru
adalah betapa kacau-balaunya pengadaan lembar ujian dan lembar ijazah untuk
semua tingkat pendidikan (SD, SMP, SMA) yang tidak tepat waktu. Akhirnya,
pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tidak berjalan secara serentak seluruh
Indonesia. Yang lebih membuat dahi mengkerut adalah betapa banyak anak bangsa
peraih mimpi pendidikan yang tinggal di
daerah terisolir/jauh dari pusat pemerintahan yang harus berjalan sampai
puluhan kilometer berjalan kaki karena kondisi medan yang tidak memungkinkan.
Bahkan ada yang sampai mengarungi perbukitan dan sungai, tapi kenyataannya
pelaksanaan Ujian Nasional ditunda. Pertanyaan kita selanjutnya adalah ada apa
dengan lembaga birokrasi pendidikan kita?
Banyak kalangan sudah mengembar-gemborkan betapa
pentingnya reformasi di berbagai lembaga birokrasi, khususnya Kementrian
Pendidikan. Yang lebih mencengangkan setelah kacau-balaunya Ujian Nasional
belum terselesaikan, muncul tindakan yang mengejutkan yang disinyalir aroma mark up anggaran/korupsi di Kementrian
Pendidikan tentang pengadaan lelang lembar ujian yang menelan biaya ratusan
milyar. Lengkap sudah penderiataan pendidikan kita. Reformasi birokrasi dalam
pelayanan pendidikan kita pada kenyataannya
hanya berjalan setengah-setengah. Aparat birokrasi yang ada di dalamnya
sepertinya ogah-ogahan untuk mendudukan
pendidikan berjalan pada koridor yang benar. Rasanya harus butuh puluhan bahkan
ratusan tahun aparat birokrasi kita untuk berubah secara drastis agar seperti petuah masyarakat Bali “sewaka
dharma” (melayani adalah kewajiban) bisa diserap dengan baik. Pelayanan pendidikan
yang masih tebang pilih (melihat tebalnya uang, jabatan/kekuasaan) masih
menggejala dalam dunia pendidikan kita saat ini. Akhirnya kaum marginal menjadi terpinggirkan, karena
pelayanan umum berpihak pada siapa yang memberi keuntungan besar.
Dalam dunia pendidikan kita, memang
semua pihak akan dibuat kerepotan. Apalagi reformasi birokrasi dalam menyeleksi
calon-calon anak didik baru di tingkat sekolah lanjutan masih menyisakan
kecemasan. Anak didik kita sejak mau melaksanakan Ujian Nasional (UN) sampai
mencari sekolah lanjutan yang diidamkan membuat para orang tua tujuh keliling.
Apalagi pada tahun 2013, proses penerimaan siswa didik baru dengan menggunakan
sistem online sangat rawan dengan
tindakan “jalur belakang/kongkalikong”.
Ada permainan yang mengasyikan para pelaku dalam penerimaan siswa didik baru di
sekolah-sekolah pelat merah yang tergolong favorit, seperti penerimaan siswa
didik baru yang mau masuk SMP atau SMA. Hal yang sudah menjadi rahasia umum
adalah tindakan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) semakin nyaring terdengar.
Bali Post pernah mengupas tentang “permainan
kotor/titip anak” dari para pejabat/koneksi berduit yang sebenarnya mempunyai kebijakan untuk
mereformasi birokrasi dalam pelayanan pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh, para
Kepala Sekolah di sekolah-sekolah negeri favorit di Kabupaten Jembrana, Bali mendapat
“titipan anak” agar bisa diterima menjadi
siwa didik baru menjelang penerimaan siswa didik baru digelar. Para Kepala
Sekolah tersebut tidak bisa menampik, karena oknum yang bermain tersebut adalah
pejabat yang mempunyai “power”.
Karena takut kedudukannya terancam, maka mereka harus “manut” saja tanpa memikirkan efek buruk dalam dunia pendidikan kita.
Banyak pihak, khususnya para orang
tua calon siswa didik baru atau pejabat dunia pendidikan merasa bahwa “jalur belakang” memang merupakan jalan
tol tanpa hambatan/jalur pamungkas yang harus ditempuh demi mendapatkan sekolah
negeri favorit yang “digadang-gadang/diharapkan”.
Sistem koneksi, kolega, pertemanan, balas jasa, penguasa, kaum berduit
merupakan hal “lumrah” yang harus terjadi.
Ada supplay pasti ada demand. Di mana ada tempat kursi yang
disediakan, di situlah banyak peminat yang mengincarnya dengan imbalan
jasa/uang. Apalagi dengan adanya “jalur
prestasi” dalam penerimaan siswa didik baru 2013 bisa dimanfaatkan pihak
yang mempunyai kekuasaan untuk mendapatkan “kursi
calon siswa didik baru”. Bahkan ada Sekolah Menegah Pertama favorit negeri
di Bali yang memanfaatkan kursi siswa didik baru yang masih tersedia melalui “jalur belakang” bagi siapa saja asal
bisa mengganti “uang bangku” dengan
sistem bayar kontan sampai menebus angka 30 juta. Selalu ada magnet yang menarik
kuat sekali dan membuat pihak orang tua calon siswa didik baru gelap mata untuk
membayar sebesar itu hanya untuk mendapatkan Sekolah favorit SMP Negeri. Saya
gak bisa bayangkan berapa yang harus dibayar untuk mendapatkan SMA favorit jika
permainan kotor ini didendangkan? Banyak uang ratusan juta berbau haram yang bertebaran saat penerimaan
siswa didik baru tersebut. Bahkan, saat
penulis daftar ulang untuk anaknya hari ini (11/7/2013) seorang Bapak yang
masih memakai baju seragam dinas mengatakan bahwa putranya tidak bisa diterima di sekolah favorit karena
nilai Ujian Nasionalnya tidak cukup. Berapa nilai Ujian Nasionalnya? 27 untuk 3
mata pelajaran. Jika dirata-rata nilai 9. Itu pun tidak bisa diterima di
sekolah negeri favorit. Mengagumkan.
Beliau bersenda gurau pada penulis, bahwa tindakan yang dilakukan
selanjutnya adalah harus melakukan “kasak-kusuk”
mencari pihak yang bisa diajak “kasak-kusuk”
demi masa depan pendidikan anaknya. Ini
merupakan perbendaharaan kata dari “jalur
belakang”. Memang tindakan ini sangat ampuh dan mulus bagai jalan tol, asal
dengan satu syarat “uang/imbalan jasa”.
Banyak hal yang bisa kita petik dari kejadian
proses penerimaan siswa didik baru tahun 2013 kali ini, yaitu: 1). Untuk
mendapatkan sekolah favorit, orang tua rela mengorbankan harta berapa pun
nilainya demi masa depan pendidikan anaknya; 2). Ada perasaan gengsi di
kalangan masyarakat, bahwa dengan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri
favorit merupakan kebanggaan tersendiri yang tidak bisa diremehkan orang lain dalam
kehidupan sosial; 3). Dengan bersekolah di sekolah negeri favorit, beban biaya
pendidikan tidak terlalu tinggi di bandingkan dengan di sekolah swasta.
Meskipun pada kenyataannya banyak sekolah swasta meskipun mahal, tapi diimbangi
dengan sistem pengajaran yang profesional dan fasilitas pendidikan yang memadai;
4). Reformasi birokrasi khususnya dalam dunia pendidikan tidak akan berjalan
baik, jika masih ada celah untuk memanfaatkan buadaya KKN (Korupsi,Kolusi dan
Nepotisme); 5). Masih mengakarnya budaya KKN yang diturunkan secara
berkelanjutan dari tingkat senior ke tingkat generasi selanjutnya (budaya KKN
dari orang tua dilanjutkan ke anaknya); 6). Berita yang bertubi-tubi dari media
massa yang mengekspos sekolah negeri favorit dengan prestasi anak didik yang
mengagumkan, mengakibatkan para orang tua lupa diri tentang kemampuan berpikir
anaknya untuk tetap masuk sekolah tersebut; 7). Paradigma yang dipegang para
orang tua, bahwa sekolah negeri favorit akan menghasilkan kualitas pengajar
yang bisa diandalkan dan akan berakibat pada kecerdasan putra-putrinya tentang masa
depan pendidikannya, agar kelak bisa bekerja pada lembaga birokrasi yang
diharapkan (naiknya status/strata); 8).Tindakan dengan melakukan “jalur belakang” sangat menghancurkan
nilai kejujuran pada setiap insan pendidikan dan ini akan menjadi pelajaran bagi
generasi lain untuk berbuat yang sama pada anaknya dalam dunia apa pun; dan 9).
Ketidakjujuran dengan melakukan “jalur
belakang” akan mengakibatkan kongkalikong pihak penyedia dan pihak peminta
dalam proses penerimaan siswa didik baru tanpa melihat kemampuan calon didik baru (apakah mampu atau
tidak). Selanjutnya pihak yang dikorbankan adalah calon didik baru lain yang
seharusnya diterima secara kualitas menjadi “tergeser/hilang” dari
peredaran dengan kehadiran tindakan “jalur
belakang” tersebut. Hal ini akan menciderai mutu pendidikan kita. Kalau
tindakan ini dipelihara secara terus-menerus tanpa adanya reformasi birokrasi
dunia pendidikan, maka lambat laun pendidikan kita akan mencetak calon-calon
pemimpin bangsa yang membohongi bangsa kita sendiri. Generasi kita akan
diajarkan bagaimana caranya “mencekik dan
menjejak” kaum marginal yang menurut mereka tidak menguntungkan secara materi.
Padahal pemimpin terbaik bangsa adalah
pemimpin yang mau mendengar dan menukar haknya demi kepentingan rakyat dalam
dunia apapun, khususnya pendidikan.
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa menggejalanya praktek “jalur
belakang” dalam proses penerimaan siswa didik baru di sekolah lanjutan
diakibatkan karena reformasi birokrasi pendidikan kita yang berjalan setengah
hati. Praktek tersebut pelan tapi pasti akan merusak mutu pendidikan kita.
Mental generasi kita selanjutnya akan bertindak sebagai pemimpin bangsa yang
tidak mengedepankan kejujuran dalam
mengelola bangsa. Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) aparat birokrasi
kita berakibat pada pelayanan pendidikan yang bekerja tebang pilih dengan
melihat celah yang bisa memberikan manfaat/keuntungan. Perlu adanya tindakan bertangan besi yang
mampu mereformasi birokrasi pelayanan pendidikan secara komprehensif agar
berpihak kepada seluruh rakyat Indonesia. Siapa lagi yang akan peduli pada
dunia pendidikan, kalau bukan kita. Kejujuran memang pahit, tapi harus kita
tegakkan. Ingatlah, bahwa ketidakjujuran kita mampu menciderai mutu dunia
pendidikan.
Post a Comment for "Jalur Belakang: Jalan Tol yang Menciderai Kejujuran dan Mutu Reformasi Birokrasi Pelayanan Pendidikan"