Berawal dari Isi Piringku, Mencetak Anak Menjadi Generasi Sehat dan Pintar
Ada 2 hal besar yang akan dihadapi bangsa
Indonesia di masa mendatang. Yaitu, pertama, kesiapan menghadapi Bonus
Demografi yang akan terjadi pada sekitar tahun 2030. Dan, kedua, mampukah
terciptanya Generasi Sehat dan Pintar saat menghadapi Bonus Demografi dan Generasi
Emas 2045, sesuai harapan besar bangsa Indonesia.
Kedua hal penting membutuhkan persiapan matang. Oleh sebab itu,
persiapan sejak dini merupakan faktor keberhasilan bangsa Indonesia menghadapi
2 hal tersebut. Salah satu hal yang perlu diperhatikan bangsa Indonesia adalah
terciptanya Generasi Sehat dan Pintar.
Bukan hal sepele untuk menciptakan Generasi Sehat dan Pintar. Proses
penciptaan Generasi Sehat dan Pintar membutuhkan kolaborasi semua pihak, baik
dari Pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Keterlibatan sektor swasta
sungguh berperan besar untuk menciptakan Generasi Sehat dan Pintar.
Danone Indonesia, salah
satu perusahaan besar dari sektor swasta merasa terpanggil dan bertanggung
jawab. Dalam menciptakan Generasi Sehat dan Pintar. Oleh sebab itu, pada
tanggal 26 Pebruari 2021 lalu, Danone Indonesia bekerja sama dengan
kalangan akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Kesehatan RI,
Kementerian Pendidikan & Kebudayaan dan masyarakat menyelenggarakan webinar
keren.
1. Dr. Rr. Dhian Proboyekti Dipo, SKM, MA –
Direktur Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI
2. Ir. Harris Iskandar, Ph.D - Widya Prada Ahli
Utama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
3. Prof Sri Anna Marliyati - FEMA IPB, Ketua Tim
Penyusun Buku Isi Piringku, Dosen Fakultas Ekologi Manusia, IPB
4. Lisnawati, S.Pd - Guru PAUD
5. Vera Galuh Sugijanto – VP General
Secretary Danone Indonesia.
6. Karyanto Wibowo – Direktur Sustainable
Development, Danone Indonesia.
WASPADA STUNTING
Proses mencetak Generasi Sehat dan Pintar menjadi pembahasan menarik. Bagaimana
tidak, bangsa Indonesia harus siap dan matang saat menghadapi Bonus Demografi.
Juga, bangsa Indonesia harus serius dan siap sejak dini untuk mencetak Generasi
Sehat dan Pintar demi estafet kepemimpinan bangsa di masa depan.
Khusus masalah gizi, bangsa Indonesia sedang menghadapi masalah krusial Triple Burden of Malnutrition, yaitu: 1) Gizi
Lebih; 2) Gizi Kurang atau Gizi Buruk; dan 3) Defisiensi Zat Gizi Mikro. Namun,
masalah gizi yang selalu menjadi pembicaraan penting adalah gizi kurang atau
gizi buruk. Di mana, 1 dari 3 balita negeri ini menderita gizi buruk, yang
berakibat menjadi penderita Stunting. Stunting (pendek) merupakan gagal
tumbuh yang berkembang selama jangka waktu yang panjang.
Adapun, penyebab stunting adalah 1) Faktor gizi buruk yang
dialami oleh ibu hamil atau anak balita; 2) Pengetahuan yang kurang mengenai
kesehatan dan gizi, sebelum dan selama kehamilan, serta ibu melahirkan; 3) Terbatasnya
layanan kesehatan; 4) Kurang akses untuk makanan bergizi; dan 5) Kurang akses
air bersih dan sanitasi.
Menurut Dr. Rr. Dhian Proboyekti Dipo, SKM, MA selaku Direktur
Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Dalam presentasi di webinar
menyatakan bahwa terjadinya stunting di Indonesia, karena masih
banyaknya masalah gizi yang terjadi pada balita. Yaitu, 1) Keluarga yang tidak
bisa akses sanitasi yang layak (20%); 2) Diare pada anak (11%); 3) Daerah
dengan kerawanan pangan (17,1%); dan 4) Penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan (9,78%). Faktor penyebab stunting dan masalah gizi pada
balita, selengkapnya anda bisa lihat gambar berikut.
Faktor penyebab stunting dan masalah gizi balita (Sumber: Kemenkes RI/diolah)
Sebagai informasi bahwa jumlah stunting balita bangsa Indonesia sekitar
6,6 juta. Adapun, prevalensi stunting balita bangsa Indonesia sedikit
mengalami penurunan. Menurut data Riskedas dari tahun 2007 (36.8%), tahun 2010
(35,6%), tahun 2013 (37,2%), tahun 2018 (30,8%) dan tahun 2019 (27,7%). Sayang, angka tersebut masih di atas data prevalensi stunting
Asia Tenggara tahun 2018 sebesar 25,8%.
Bagai lingkaran setan (devil’s circle), penyakit stunting yang
terjadi pada balita pun akan memberikan dampak terhadap masalah gizi. Di mana,
balita akan mempunyai imunitas rendah. Balita juga akan mengalami peningkatan
risiko penyakit infeksi dan penyakit kronik. Pertumbuhan dan perkembangan balita
juga akan berjalan tidak optimal. Akibatnya, ketika balita yang menderita stunting
menjadi dewasa, mempunyai daya saing rendah. Serta, menghasilkan produktivitas yang
rendah.
Itulah sebabnya, stunting harus ditangani sebaik mungkin. Karena,
memberikan dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek yang
terjadi, seperti 1) Terganggunya perkembangan otak dan kecerdasan; 2) Terganggunya
pertumbuhan fisik; dan 3) Terganggunya metabolisme tubuh.
Sedangkan, untuk dampak jangak panjang yang terjadi, seperti 1) Menurunnya kemampuan kognitif, perkembangan
fisik dan prestasi belajar; 2) Menurunnya kekebalan tubuh (mudah sakit); dan 3)
Berisiko mengalami penyakit degeneratif (diabetes, kegemukan, penyakit
jantung, stroke, dan disabilitas pada usia tua).
Maka, perlu memahami faktor penyebab stunting, agar menjadi pemahaman
mendalam buat masyarakat. Yaitu, 1) Anemia pada anak dan remaja (26,7%); 2) Pemantauan
pertumbuhan balita tidak rutin (54,6%); 3) Imunisasi tidak lengkap (42,1%); 4) Asupan
makanan balita (6-23 bulan) tidak terpenuhi terutama protein (53,4%); 5) Tidak
ASI Eksklusif (33,9%); 6) Ibu hamil
konsumsi TTD (Tablet Tambah Darah) (38,1%); 7) Anemia pada ibu hamil (48,9%);
dan 8) ANC (Ante Natal Care) atau
perawatan masa kehamilan kurang dari 4 kali (25,9%)
Pemerintah telah dan masih berupaya keras untuk menurunkan prevalensi stunting
nasonal. Bahkan, sesuai arahan Presiden RI tentang percepatan penurunan stunting
pada rapat terbatas di Istana Merdeka tanggal 5 Agustus 2020 lalu. Memberikan
pemetaan provinsi yang mempunyai prevalensi stunting dari yang rendah
hingga tertinggi. Untuk selengkapnya, anda bisa melihat gambar berikut.
ISI PIRINGKU, PANDUAN GIZI SEIMBANG
Harus diakui bahwa pola konsumsi makanan masyarakat Indonesia masih
buruk. Menarik, apa yang dilaporkan Riskedas 2018
dan BPS tahun 2019 menyatakan tentang pola konsumsi masyarakat Indonesia. Di
mana, sebesar 95,5% populasi berusia lebih dari 5 tahun tidak memenuhi
konsumsi buah dan sayur yang dianjurkan (kurang dari 400 gram/hari). Hanya
4,5% masyarakat Indonesia yang telah melakukan konsumsi makanan dengan baik.
Pola konsumsi masyarakat mengalami tren
perubahan khususnya di masa Pandemi Covid-19. Di mana, pengeluaran untuk
makanan dan minuman jadi (processed food) lebih tinggi. Yaitu, 3x lipat
dari pada daging, telur dan susu; 3x lipat dari pada ikan; dan 3x lipat dari
pada buah dan sayuran. Maka dari itu, di masa Pandemi Covid-19 terjadi
masalah gizi, seperti 1) masalah gizi yang sama sebagai masalah gizi nasional;
dan 2) kelompok yang rentan,
seperti balita, ibu hamil yang semakin berisiko. Karena, keterbatasan pangan
dalam keluarga dan daya beli menurun.
Kondisi masalah gizi anak, khususnya balita di beberapa negara di masa
Pandemi Covid-19 menjadi sorotan badan dunia PBB, UNICEF. Badan dunia tersebut menyatakan
jika tidak ada tindakan yang baik, maka diperkirakan jumlah anak yang
mengalami kekurangan gizi akut di bawah 5 tahun bisa meningkat 15% secara
global pada tahun 2020.
Pemerintah Indonesia pun sudah dan masih menangani masalah gizi seimbang.
Agar, anak Indonesia mempunyai nuitrisi gizi yang cukup. Hal yang perlu dilakukan
(menurut Ir. Harris Iskandar, Ph.D selaku
Widya Prada Ahli Utama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) yaitu perlunya
edukasi tentang gizi seimbang sejak dini. Baik bagi orang tua maupun bagi guru
PAUD yang tersebar di seluruh Indonesia. Pedoman penting untuk mendapatkan pendidikan tentang
gizi seimbang berpatokan pada Tumpeng Gizi Seimbang.
Tumpeng Gizi Seimbang (Sumber: Kemenkes RI)
4 Pilar untuk penerapan gizi seimbang (Sumber: Kemenkes RI/diolah)
Berdasarkan pedoman Tumpeng Gizi Seimbang dan 4 Pilar Gizi Seimbang,
maka Kementerian Kesehatan RI telah melansir panduan gizi seimbang masyarakat,
khususnya anak. Panduan lengkap untuk gizi seimbang tersebut bernama ISI
PIRINGKU.
Berbagai buku panduan tentang ISI PIRINGKU telah disosialisasikan ke
masyarakat. Salah satunya adalah buku panduan untuk para guru PAUD. Di mana,
guru PAUD mempunyai peran besar, selain Pemerintah dan orang tua untuk
memberikan pemahaman kepada balita. Ibu Lisnawati, S.Pd selaku guru PAUD berbagi
pengalaman dalam mengajar siswa PAUD di acara webinar. Menggunakan buku panduan
ISI PIRINGKU untuk memberikan pemahaman tentang gizi seimbang kepada siswa
PAUD.
Isi Piringku (Sumber: Kemenkes RI)
Bahkan, ISI PIRINGKU bisa menjadi imun tubuh balita. Karena, sayur dan
buah memiliki antioksidan (non-vitamin mineral) yang tinggi. Dan, sayur
dan buah mengandung serat tidak larut yang merupakan prebiotik. Sehingga,
dapat membantu peningkatan probiotik (mikroba baik) yang bermuara peningkatan
imun tubuh.
ISI PIRINGKU memberikan pedoman lengkap tentang nutrisi gizi seimbang
untuk sekali makan. Di mana, sepertiga piring adalah makanan pokok, sepertiga
piring adalah sayuran dan sepertiga lainnya adalah lauk-pauk dan buah-buahan. Porsi
balita dalam ISI PIRINGKU ada 2 kriteria, yaitu balita untuk umur 6-23 bulan
dan balita untuk umur 2-5 tahun. Berikut, contoh porsi ISI PIRINGKU untuk 2 kriteria
tersebut.
Porsi Isi Piringku untuk balita usia 6-23 bulan (Sumber: Kemenkes RI)
Porsi Isi Piringku untuk balita usia 2-5 tahun (Sumber: Kemenkes RI)
Harus diakui bahwa menerapkan ISI PIRINGKU tidaklah mudah seperti
membalikan telapak tangan. Perlu perjuangan agar anak bisa makan menyenangkan
seperti orang dewasa. Adapun, masalah makan yang terjadi pada anak (contoh,
pada usia 4-6 tahun) yang dikatakan oleh Prof. Sri Anna Marliyati dari Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB selaku
Ketua Tim Penyusun Buku Isi Piringku, sebagai berikut:
1.
Pilih-pilih
makanan (picky eater) dikarenakan 1) selera makan anak berkembang, anak mulai menyukai makanan;
2) bosan pada hidangan yang diberikan kurang variasi; dan 3) anak mengikuti kebiasaan
pilih-pilih makan orang tua;
2.
Susah
makan, hanya mau makan sedikit, disebabkan 1) masalah psikologi, misalnya orang tua selalu memaksa
untuk makan; 2) memberi susu atau makanan selingan dekat dengan waktu makan;
dan 3) anak meniru orang tua yang biasa makan sedikit;
3.
Menolak
makan, dikarenakan 1) rasa
makanan yang asing; 2) bosan dengan makanan; 3) suasana makan tidak
menyenangkan, anak belum lapar; 4) iseng atau mencari perhatian orang tua; 5)
kesal kepada orang yang memberi makan; dan 6) anak sedang sakit.
4.
Tidak
suka makan sayur, disebabkan 1)
rasa sayur yang kurang enak apabila dibandingkan dengan lauk hewani atau buah;
2) penyajian sayur kurang menarik.
1. Biasakan makan 3 kali sehari (pagi, siang dan
malam) bersama keluarga.
2. Perbanyak mengkonsumsi makanan kaya protein
seperti ikan, telur, susu, tempe dan tahu.
3. Perbanyak mengkonsumsi sayuran dan
buah-buahan.
4. Batasi mengkonsumsi makanan selingan yang
terlalu asin, manis dan berlemak.
5. Minum air putih sesuai kebutuhan.
6. Biasakan bermain bersama dan melakukan
aktifitas fisik setiap hari.
ISI PIRINGKU telah menjadi pedoman orang tua dan guru PAUD agar anak mendapatkan
nutrisi gizi seimbang. Bahkan, ISI PIRINGKU memudahkan guru PAUD dalam mengajar
materi gizi ke siswa PAUD. Apalagi, dengan berbagai materi pembelajaran dan
media permainan, siswa PAUD mudah memahami dan mengingat materi ISI PIRINGKU.
Selain orang tua, guru PAUD berperan besar dalam memberikan pemahaman
tentang ISI PIRINGKU sejak balita. Beberapa dampak baik yang terjadi dengan
panduan ISI PIRINGKU, adalah:
1.
Memperbaiki
pola konsumsi pangan anak menjadi status gizi anak yang baik.
2.
Mampu
memperbaiki lifestyle (gaya hidup) anak ke depannya.
3.
Siswa PAUD
status gizinya menjadi baik dan sehat.
4.
Akan menjadi
siswa SD dan remaja yang sehat dan status gizinya baik.
5.
Akan menjadi
calon pengantin yang sehat dan status gizinya baik.
6.
Akan menjadi
calon ibu yang sehat dan status gizinya baik.
7.
Melahirkan
anak-anak yang sehat dan status gizinya baik.
KOLABORASI LINTAS SEKTOR
Ketika masa Pandemi Covid-19 masih ada di negeri ini. Tentu, pelayanan
penanganan gizi seimbang akan dimodifikasi sesuai dengan kondisi wilayah
masing-masing. Keberhasilan penanganan gizi seimbang anak, khususnya untuk
balita membutuhkan kolaborasi lintas sektor.
Perlunya sinergi dan harmonisasi untuk menimbulkan nilai sosial bersama
komunitas antara 1) Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota; 2) Sektor
swasta dan dunia usaha; dan 3) Akademisi dan masyarakat madani.
Beberapa pemangku kepentingan lintas sektor yang harmonis dalam penanganan gizi seimbang (Sumber: Danone Indonesia)
Dalam kolaborasi lintas sektor, setiap pemangku kepentingan (stakeholder)
harus berperan baik, sesuai tugas dan
tanggung jawabnya. Adapun, peran pemangku kepentingan (stakeholder) dalam
penanganan percepatan perbaikan gizi seimbang adalah:
1.
Pemerintah
pusat dan daerah sebagai inisiator, fasilitator dn motivator.
2.
Organisasi
profesi dan akademisi sebagai Think Tank.
3.
Mitra
pembangunan untuk memperkuat inisiasi, kolaborasi dan money (uang).
4.
Media
massa untuk mempublikasikan informasi yang mendukung pembangunan kesehatan
secara terus-menerus.
5.
Lembaga sosial
kemasyarakatan (CSOs) sebagai advokasi untuk penyempurnaan inisiasai, kajian
strategis dan pelaporan situasi pelaksanaan di lapangan / masyarakat,
pemberdayaan masyarakat.
6.
Dunia
usaha untuk pengembangan produk dan program yang mendukung (berbagi
informasi distribusi sumber daya, penerapan CSR sesuai dasar hukum)
7.
Parlemen untuk
menjalankan fungsi legislatif.
8.
Badan-badan
PBB untuk memperluas dan mengembangkan kegiatan serta fasilitasi pemerintah
untuk keberhasilan program.
Meskipun, kondisi masih Pandemi Covi-19, tetapi pelayanan masyarakat
untuk menurunkan stunting akan terus digalakan, sesuai keadaan wilayah
dan menerapkan protokol kesehatan. Peran guru PAUD dan masyarakat dalam
perbaikan gizi seimbang akan terus dilakukan secara konsisten. Dan, terpenting,
sektor swasta sangat diharapkan dalam mendukung program Pemerintah. Agar,
informasi pesan gizi dan masyarakat tetap berjalan baik.
Kolaborasi lintas sektor dalam penanganan gizi seimbang masyarakat
khususnya balita harus tetap dibina. Karena, penangananan masalah Gizi
Seimbang yang baik akan berdampak pada perekonomian dan pertumbuhan generasi mendatang.
Dan, harapan besar bangsa Indonesia adalah terciptanya Generasi Sehat dan
Pintar. Agar, siap dan matang menghadapi Bonus Demografi dan terciptanya
GENERASI EMAS 2045.
Kolaborasi lintas sektor untuk mencetak Generasi Sehat dan Pintar (Sumber: shutterstock/diolah)
Post a Comment for "Berawal dari Isi Piringku, Mencetak Anak Menjadi Generasi Sehat dan Pintar"