CALON PEJABAT PUBLIK, BELAJARLAH DARI KETELADANAN UMAR BIN KHATTAB
CALON PEJABAT
PUBLIK, BELAJARLAH DARI
KETELADANAN
UMAR BIN KHATTAB
Oleh: Casmudi
Menjelang Pemilihan Umum (pemilu) 2014, para
calon legislatif dan calon presiden dari berbagai partai politik berlomba-lomba
mencari dukungan melalui berbagai media. Dari pasang baliho ukuran kecil sampai
ukuran super jumbo. Yang tidak pernah
memasang iklan layanan masyarakat pun, ramai-ramai pasang iklan di berbagai
media massa, seperti koran dan media elektrononik (televisi). Latahkah? Wajarkah?
Pasti. Karena itu merupakan cara terampuh untuk diketahui khalayak umum tentang
siapa dirinya dari sudut kepedulian kepada masyarakat, program-program yang
ingin diraih, bahkan menonjolkan visi dan misi. Semuanya berbasis untuk kemaslahatan
umat (baca: rakyat). Sebagai masyarakat awam yang mulai belajar bagaimana hukum
politik dan bisnis berjalan, pasti ada pertanyaan yang menggelitik yang ingin
kita sampaikan. Ah, paling-paling tebar pesona? Gila, bisa habis ratusan juta,
bahkan milyaran? Kalo boleh kita jujur pada diri sendiri, pasti kita akan
menjawab “ya”. Kita memahami bahwa dalam
dunia politik, untuk menjadi pejabat publik yang melalui partai politik tidak
hanya dengan “modal dengkul”. Perlu biaya yang mencapai milyaran, bahkan
untuk kelas menjadi presiden mencapai ratusan milyar. Berarti kalau kita cerna
secara mendalam, hanya orang-orang golongan kaya yang berani mencalonkan jadi
calon legislatif/presiden (baca: pejabat publik). Kita sebagai rakyat golongan
bawah, cuma menjadi penonton wajib dan siap-siap menjadi objek
sang calon pejabat publik untuk memilihnya. Coblos saya ya!
Banyak propaganda yang dikeluarkan
oleh sang calon pejabat publik. Banyak juga jargon-jargon yang tergolong “nyeleneh”
muncul ke permukaan. Dari “pilih no. x untuk kota x menjadi lebih baik”, ”pilih
no. x menjadi masyarakat yang sederhana dan siap berkarya”, “pilih no. x dan siap
berkorban untuk kesejahteraan kota x”, “Mari pakai produk dalam negeri untuk
kesejahteraan para perajin Indonesia” dan lain sebagainya. Semuanya sangat menarik dan meninabobokan kita.
Kalau sang calon mengajak hidup sederhana, benarkah kenyataannya mereka hidup
sederhana. Saya pribadi menjawab “tidak”. Mereka mempunyai rumah mewah, mobil
mewah, deposito di mana-mana, dan lain sebagainya. Maukah mereka menyumbangkan
kekayaannya untuk kesejahteraan rakyat, dan mereka sendiri hidup sederhana
secara fakta seperti riwayat sahabat Rasulullah, “Umar Bin Khattab”? Tipe pemimpin yang diidamkan selama ini untuk
menuntaskan masalah bangsa. Pemimpin yang mau memanggul satu karung gandum
sendirian buat rakyatnya yang kelaparan dengan diiringi pengawalnya di malam yang
gelap gulita. Di saat pengawalnya ingin membantunya, Beliau hanya menjawab “saya
tidak mau menanggung dosa di akhirat saat saya menjadi pemimpin ....”. Sebuah
implementasi tindakan seorang pemimpin yang tidak hanya berbicara, tebar
pesona, mencari popularitas. Tetapi semata-mata karena pertanggung jawabannya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemimpin
adalah sebuah patron (melayani), bukan client (wajib dilayani). Pemimpin
bukan seorang raja, tapi pemimpin adalah rakyat.
Banyak juga calon pejabat publik, yang mengklaim
dirinya adalah orang terbaik dalam segala segi. Sementara publik sudah
mengetahui tentang track recordnya
di masa lalu. Pembohongan publik? Masyarakat pasti akan menjawab “ya”. Berkaca
pada kondisi perekonomian saat ini. Sang calon dengan entengnya bicara masalah
penegakkan hukum, semnetara dirinya telah terlibat/berurusan dengan hukum. Sang
calon bicara masalah ekonomi yang telah membaik, sementara harga kedelai,
daging dan lain-lain tidak beranjak turun. Bahkan mencekik masyarakat
Indonesia. Sang calon bicara tentang anti korupsi dan liberalisasi, tetapi
pernah terlibat persengkongkolan mafia korupsi dan membiarkan kartel berjalan dengan santainya. Dan
masih banyak contoh-contoh iklan calon pejabat publik yang sungguh menggiurkan,
tetapi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan publik. Untungnya publik sudah
pintar. Dalam pepatah Jawa, kita mengharapkan calon pemimpin yang tidak “jarkoni”
(gelem ngajari, gak gelem nglakoni - mau ngajarin tapi dia sendiri tidak
melakukannya). Kita butuh pemimpin yang mengajari masyarakat, tapi dia sendiri
telah melakukannya. Ingat, kita hidup pada ranah sosial dan masyarakat akan
tahu tentang siapa kita? Masyarakat tidak buta, masyarakat sudah pintar apalgi
dengan adanya kemajuan tekhnologi. Pernahkah kita ingat, bahwa akun sang Presiden
pun mampu dibobol oleh seorang penjaga warnet yang lulusan bukan dari perguruan
tinggi. Hal ini menandakan bahwa masyarakat sekarang ini sudah hebat.
Calon
pejabat publik yang diharapkan adalah sosok yang sejak awal telah memberikan
pesona kejujuran apa adanya terhadap masyarakat. Tidak perlu merayu-rayu, tidak
perlu memberi uang 50 ribu perorang, tidak perlu memberi 5 kg beras 10 mie instan pada saat
serangan fajar, tidak perlu black campaign, tidak perlu charracter
assasination calon lain dan lain sebagainya. Masyarakatlah yang akan mengetahui sejatinya kita. Ingatlah, jika
calon pejabat publik sejak awal telah membohongi masyarakat dan jika mereka menjabat
yang dilakukan adalah mereka pun akan membohongi jabatannya untuk memperkaya
diri sendiri. Lantas siapa yang rugi? Tentu kita sebagai masyarakat. Memilih
calon pejabat publik yang mau membaur bersama masyarakat kapan pun dalam suka
dan duka demi kesejahteraan masyarakat. Jika
kita ingin menjadi pejabat publik yang baik, kita bisa mengimplementasikan inspirasi
yang diambil dari riwayat Sahabat Rasulullah, Umar Bin Khattabn tersebut.
Jadilah pejabat publik yang jujur, yang mempunyai kemauan melayani tanpa ada
embel-embel apapun. Yang tidak mau mengambil harta yang bukan haknya. Mereka
berpikir, sekali mengkorup harta publik sama halnya membunuh masyarakat satu
per satu. Dan mereka berpikir: “jabatan adalah amanah, amanah harus dilakukan
sebaik-baiknya sesuai dengan sumpah jabatan, yaitu mengedepankan kesejahteraan
masyarakat, bukan keluarga, kolega dan lain-lain”.
Post a Comment for "CALON PEJABAT PUBLIK, BELAJARLAH DARI KETELADANAN UMAR BIN KHATTAB "