Cerita Rakyat Kota Ngawi Jawa Timur
Keberanian
Rakyat dan Kejujuran Raja
Oleh
Casmudi, S.AP
Di sebuah negeri
bernama Ngawi, bertahta Kerajaan Ringin Anom. Matahari masih malu-malu untuk
memancarkan sinarnya. Suasana masih pagi dan agak gelap yang mengakibatkan
jarak pandang terasa samar-samar.
Apalagi, udara masih terasa dingin menusuk tulang, karena hujan deras
semalaman. Ayam jantan mulai berkokok saling bersahutan menambah suasana khas pedesaan.
Selanjutnya, penduduk mulai terlihat mempersiapkan diri untuk mencari rejeki.
Ada yang mempersiapkan alat bajak sawah menggunakan hewan ternak, memanggul
cangkul menuju sawah, mempersiapkan alat pandai besi dan lain-lain. Di sisi
lain, ibu-ibu mempersiapkan keperluan suaminya untuk bekerja di sawah atau
mempersiapkan diri untuk membawa perlengkapan belanja di pasar desa.
“Sampurasun … sepertinya panen
musim ini akan berlimpah kisanak” sapa Bapak berjenggot dan memakai caping
coklat, berbaju dan bercelana panjang warna hitam.
“Rampesss … Betul Bopo,
mudah-mudahan panen musim ini berlimpah dan menguntungkan”
jawab Bapak Petani setengah baya berbaju lusuh dan bercelana hitam pendek yang
hanya memanggul cangkul. Topinya pun sama berjenis caping. Hanya warnanya hijau
muda.
“Kalau boleh tahu, siapakah Bopo
dan dari mana berasal?”
“Saya juga warga Ringin Anom
seperti kisanak. Saya hanyalah petani yang sedang belajar tata cara bercocok
tanam yang baik dari orang lain agar hasil panen selalu menguntungkan.
Kebetulan saat ini sedang berkeliling dan bertemu dengan kisanak”
jawab Bapak berjenggot tersebut.
“Kalau begitu, saya mohon pamit
untuk buru-buru menuju sawah Bopo” “Silahkan kisanak, semoga Tuhan memberikan
rejeki yang berlimpah kepada kita semua” jawab Bapak berjenggot
mengakhiri pembicaraan.
“Terima kasih Bopo”
Tidak jauh dari Bapak
berjenggot, berdiri siap siaga 2 orang yang selalu mengawasi gerak-gerik yang
ada di sekelilingnya. Selidik punya selidik, 2 orang tersebut juga sedang menyamar
adalah pengawal kerajaan. Bapak yang berjenggot dan bercaping coklat ternyata
seorang Baginda Raja dari Kerajaan Ringin Anom yang sedang melakukan penyamaran
secara berkala terhadap kondisi rakyat yang dipimpinnya. Hingga kini, penyamaran sang Baginda Raja
berjalan mulus dan tidak pernah terbongkar. Pegawai kerajaan benar-benar bisa
dipercaya dan menutup rapat-rapat aksi penyamaran Baginda Raja tersebut.
Jauh
dari desa Ringin Anom, yaitu di Desa
Melawi yang terletak di pedalaman kaki Gunung
Arga Melawi di sebelah barat laut
Kerajaan Ringin Anom, terdapat sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga miskin.
Kondisi rumah yang berdindingkan bambu dan terdapat lubang menganga di
mana-mana. Lubang-lubang tersebut hanya ditutup dengan alat sederhana, yaitu
anyaman daun pandan dan daun kelapa. Lantai rumahnya masih beralaskan tanah. Di
ruang tamunya pun tidak terdapat apa-apa. Hanyalah anyaman kayu mendong
berukuran satu lompatan orang dewasa. Kondisinya sudah robek karena di makan
usia. Sebuah kendi hitam yang sudah sedikit pecah menghiasi bagian tengah tikar
mendong tersebut. Bambu-bambu penyangga rumah pun mulai miring termakan rayap. Atap
rumah yang terbuat dari anyaman daun ilalang banyak yang berlubang di beberapa
bagian. Di bagian dinding rumah terdapat peralatan untuk memotong sabit yang
diletakan di jepitan antara kulit bambu.
Tempat tidur yang
dipakai hanya beralaskan anyaman daun pandan seadanya. Jika melihat kondisi
ruang dapurnya, terdapat sebuah tempat duduk sederhana dari bambu yang bisa
diduduki 3 orang dewasa dan sebuah panci tanah liat untuk memasak nasi. Beberapa
lembar daun pisang dan daun jati yang digunakan untuk alas makan dan tumpukan
kayu kering yang telah lapuk dan menghitam terlihat di sekeliling tungku api.
Bahkan, daun-daun berbagai tumbuhan, seperti mangga, jambu dan lain-lain juga
digunakan sebagai tambahan bahan bakar memasak. Kondisinya sangat sederhana.
Penghuni rumah yang
sederhana tersebut adalah sepasang suami istri setengah baya yang mempunyai
anak lelaki semata wayang bernama Jaka Lelana. Jaka Lelana adalah anak yang baik,
hormat dan patuh terhadap orang tua. Ayahnya bernama Sirna Angga Bumi dan ibunya bernama Anggi Banyu. Meskipun usia Jaka
Lelana hampir 20 tahun, tetapi kehidupannya bagai katak dalam tempurung. Sebenarnya wajahnya ganteng dan postur
tubuhnya yang tinggi sekilas merupakan dambaan para wanita. Tetapi, jika
melihat kondisi kulit tubuhnya sungguh mengenaskan. Hampir seluruh tubuhnya
terdapat penyakit kudis (budug) yang
susah disembuhkan. Karena kondisi tubuhnya, Jaka Lelana sering disebut oleh penduduk sekitarnya dengan
sebutan Jaka Budug. Hampir semua
wanita dan penduduk yang ada di sekitarnya tidak mau berinteraksi dengannya
karena takut ketularan penyakitnya. Bahkan, Jaka Budug sering mendapat ejekan dari teman sebayanya yang membuatnya
nestapa.
Sebenarnya, penyakit
yang diderita oleh Jaka Budug muncul secara tiba-tiba saat usia masih balita.
Konon, penyakit tersebut merupakan imbas dari kebiasaan ayahnya yang suka
berkelana dan bersemedi di tempat keramat untuk mendapatkan ilmu kesaktian
tingkat tinggi dan tiada tanding. Ilmu kesaktian tingkat tinggi yang berjuluk Tapak Bumi Meraga Sukma bisa diperoleh
setelah bersemedi selama 40 hari 40 malam tanpa makan, minum dan tidur. Dampak
yang luar biasa adalah Jaka Lelana mengidap penyakit kulit yang berkepanjangan
dan bisa disembuhkan hanya dengan percikan
darah dari seekor naga jelmaan dari orang sakti.
Karakter
Sirna Angga Bumi adalah orang yang selalu berpendirian teguh dan memegang ilmu
padi. Semakin berisi semakin merunduk dan tidak mau memamerkan kesaktiannya di muka
umum. Tetapi, jika ada orang yang mau mencelakainya maka ilmu kesaktiannya
merupakan senjata pamungkas yang digunakan untuk melumpuhkan lawan. Bahkan,
keseringannya berkelana dan bersemedi Sirna Angga Bumi mampu mempunyai senjata
sakti tingkat tinggi berupa keris pusaka bernama Keris Sakti Kyai Raga Sukma. Keris pusaka tersebut diperoleh ketika
bersemedi di gua terangker yaitu: Gua
Arga Dumadi, sebelah timur negeri Ngawi.
Berita kesaktian Sirna Angga Bumi menyebar seantero negeri.
Tetapi, Sirna Angga Bumi selalu merendah. Oleh sebab itu, para penduduk pun tidak kenal dengan sosok Sirna Angga Bumi
tersebut. Kesaktian Sirna Angga Bumi membuat iri pendekar lainnya, tidak
terkecuali Suro Dumadi yang tinggal
tidak jauh dari gunung Arga Dumadi. Bahkan, tanpa sepengetahuan penduduk, Suro
Dumadi juga bersemedi di gua Arga Dumadi untuk menandingin kesaktian Sirna
Angga Bumi. Sayangnya, sikap Suro Dumadi
berbeda jauh dibandingkan dengan Sirna Angga Bumi. Suro Dumadi bersikap sombong dan sering menantang penduduk
yang menjatuhkan wibawanya. Bahkan, banyak penduduk yang meninggal karena
kesaktian Suro Dumadi. Suro Dumadi
menganggap dirinya sebagai orang tersakti seantero negeri. Tetapi,
perasaan gembira Suro Dumadi belum terpuaskan sebelum mengalahkan
kesaktian Sirna Angga Bumi. Suro Dumadi
yakin dengan kesaktian dan senjata sakti miliknya bernama Gada Naga Sakti Pusering Jagat mampu mengalahkan kesaktian Sirna Angga Bumi. Suatu
saat nanti, Suro Dumadi bertekad ingin mengalahkan Sirna Angga Bumi.
Kebiasaan
setiap hari Sirna Angga Bumi adalah mencari kayu bakar dan ikan untuk keperluan
memasak. Joko Budug pun sering diajaknya untuk mencari kayu bakar sampai ke pelosok
hutan. Setelah bekerja seharian mencari kayu bakar dan ikan di sungai, keluarga
Sirna Angga Bumi membiasakan berdiskusi di malam hari sebelum tidur. Kehidupan
yang miskin, serta penyakit yang diderita Jaka Budug membuat Sirna Angga Bumi
tidak putus asa dalam menjalani hidup. Dalam kemiskinannya, Sirna Angga Bumi
dan istrinya sering memberikan motivasi agung untuk membangkitkan gairah hidup
Jaka Budug. Bahkan, sebelum meninggal dunia Sirna Angga Bumi bertekad menurunkan
ilmu kesaktiannya dan keris pusaka ke diri Jaka Budug.
“Jaka, hidup ini memang keras.
Jangan pernah berputus asa untuk menjalani hidup. Bapak mau tanya, apakah kamu
putus asa menjalani hidup dengan penyakit yang kamu derita?
“ tanya Sirna Angga Bumi kepada Jaka Budug di suatu malam.
“Iyo le, hidup ini memang sudah
takdir Tuhan. Sing sabar yo le? Anggi
Banyu menimpali. Tidak terasa air mata pun menetes. Anggi Banyu pun memeluk
tubuh Jaka Budug dengan penuh kasih sayang.
“Bapak dan ibu tidak usah khawatir.
Jaka sudah menerima keadaan ini dengan ikhlas dan sabar dari dulu. Jaka tahu,
bahwa penyakit ini adalah anugerah yang diberikan Tuhan”
jawab Jaka Budug penuh kerendahan dan keikhlasan hati.
“Tetapi, kamu tidak usah khawatir
le. Setelah kamu belajar pelan-pelan ilmu kesaktian yang Bapak miliki, Bapak
ingin mewarisi keris pusaka sebelum Bapak meninggal. Tunggu sebentar!”
pesan Sirna Angga Bumi. Selanjutnya, Sirna Angga Bumi masuk ke ruang tidurnya dan
kembali lagi dengan membawa sebuah keris pusaka dengan warangka coklat keemasan
bergambar ukiran bunga dan sepasang ular naga saling berhadapan.
“Bapak ingin mewarisi keris pusaka
ini le. Ini namanya Keris Sakti Kyai
Raga Sukma. Ini adalah keris pusaka tiada tanding. Tetapi, Bapak pesan
pusaka ini dijaga baik-baik dan bisa digunakan jika untuk kebaikan dan membantu
sesama yang membutuhkan. Ngerti le?” jelas Sirna Angga Bumi
sambil menyerahkan pusaka tersebut kepada Joko Budug. Keris pusaka tersebut mempunyai luks sepuluh yang terbuat dari baja pilihan yang hanya dimiliki
oleh orang yang mempunyai kesaktian tingkat tinggi.
“Matur sembah nuwun Bapak. Semoga
pusaka ini berguna bagi sesama” jawab Jaka Budug. Akhirnya
pembicaraan serius pun berakhir. Malam
mulai menjelang pagi. Tiga orang dalam keluarga tersebut pun terlelap dalam
tidur dengan mimpi-mimpi yang indah.
Pagi harinya, Sirna
Angga Bumi berniat mencari kayu bakar ke pelosok hutan tanpa ditemani Jaka
Budug karena ibunya sakit. Sirna Angga Bumi sulit mendapatkan kayu bakar hingga
menjelang sore. Tanpa terasa sampailah di dekat mulut Gua Arga Dumadi tempat
bersemedinya terakhir. Tetapi, kekagetan menyergapnya saat seorang laki-laki
yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat dan membawa gada menghadangnya.
“Hai sobat, mau ke mana tujuanmu?
tanya lelaki yang ternyata Suro Dumadi.
“Saya hanyalah rakyat biasa yang
sedang mencari kayu bakar untuk keperluan memasak Tuan” jawab Sirna Angga Bumi.
“Sobat tahu nggak, bahwa mencari
kayu bakar di sini dikenai upeti. Dan tidak seorang pun berani memasuki kawasan
ini tanpa seijinku. Jelas! Siapa namamu?” hardik Suri
Dumadi.
“Saya Sirna Angga Bumi Tuan. Mohon
ampun jika telah memasuki kawasan kekuasaan Tuan tanpa sengaja” jawab
Sirna Angga Bumi.
“Hah, jadi kamu yang namanya Sirna
Angga Bumi. Sudah berbulan-bulan saya ingin bertemu denganmu. Akhirnya tanpa
sengaja aku bertemu di sini di mulut Gua Arga Dumadi. Kebetulan sekali,aku
ingin membunuhmu!”
“Mengapa Tuan ingin membunuhku.
Salah hamba apa?”jawabnya kalem.
“Kamu tidak usah berlagak bego.
Semua penduduk seantero negeri tahu tentang kesaktianmu. Dan saat ini, saya
ingin mengakhiri hidupmu. Mengerti! bentak Suro Dumadi.
Akhirnya, tanpa diduga
perang kesaktian pun terjadi. Dengan terpaksa
Sirna Angga Bumi meladeni
tantangan Suro Dumadi. Perang tanding berlangsung hingga malam hari tanpa ada
yang menang dan kalah. Suro Dumadi menghantamkan senjata pamungkas gadanya ke
arah Sirna Angga Bumi hingga tergeletak tidak berdaya dan akhirnya meninggal
dunia. Ajaibnya, fisik Sirna Angga Bumi menghilang dan berganti menjadi
tumbuhan unik bercabang dua bernama Sirna Ganda. Selanjutnya, meskipun
kondisinya berlumuran darah dan berjalan terhuyung-huyung Suro Dumadi tertawa
terahak-bahak atas kemenangannya membunuh Sirna Angga Bumi. Suro Dumadi pun
berniat untuk membawa bunga Sirna Ganda tersebut sebagai kenang-kenangan.
Di saat tangannya
menyentuh bunga tersebut, keajaiban pun terjadi. Tubuh Suro Dumadi yang
bertampang sangar dan berjiwa jahat mendadak berubah menjadi seekor naga sakti yang mampu
menyemburkan api panas membara dan bisa
membunuh siapa saja. Karena wujudnya yang aneh, Suro Dumadi yang telah berwujud
seekor naga tidak mau keluar dari gua tersebut dan menunggu dengan setia bunga
Sirna Ganda. Tak ada satu pun penduduk negeri yang mengetahui kejadian
tersebut, termasuk anak Sirna Angga Bumi, Jaka Budug. Berita yang beredar
adalah Sirna Angga Bumi dan Suro Dumadi meninggal karena terkaman binatang buas
dan jatuh ke jurang di tepi gua Arga Dumadi. Anggi Banyu dan Jaka Budug sangat
terpukul atas kejadian tersebut. Penduduk negeri sering diganggu oleh Suro
Dumadi yang menjadi naga sakti jika ada
yang berani memasuki gua tersebut. Lama kelamaan berita kematian Sirna Angga
Bumi dan Suro Dumadi pun terbawa angina seiring berjalannya waktu. Semua
penduduk negeri termasuk pihak kerajaan sudah melupakannya.
Di dalam keputren
kerajaan Ringin Anom yang dikelilingi tembok tinggi, tampak seorang gadis cantik sedang bermain di depan
pondok. Pondok yang bergaya khas rumah Mataraman di samping kirinya tumbuh
sebuah pohon Kemuning setinggi 2 meter. Ia sering bermain sendiri di bawah
pohon kemuning tersebut. Gadis cantik yang berwajah bagai bidadari tersebut
adalah putri semata wayang dari Raja Ringin Anom yang bernama Putri Ayu Setyawati. Sedangkan, Baginda Raja dari Kerajaan Ringin
Anom tersebut bernama Raja Prabu Aryo
Seto yang didampingi oleh permaisuri yang juga cantik jelita bernama Gusti Laras
Ayu. Usia Putri Ayu Setyawati beranjak dewasa dan kecantikannya menjadi rebutan
para pemuda seantero negeri baik para pendekar maupun raja dari negeri seberang.
Kerajaan Ringin Anom
adalah kerajaan yang menguasai beberapa wilayah negeri Ngawi, seperti:
Beringin, Pondok, Tawun, Kasreman, Padas, Karang Jati, Kawasan Gunung Arga
Dumadi di bagian Timur dan Kawasan Gunung Arga Melawi di bagian Barat. Para penduduk sangat hormat dan patuh
terhadap rajanya. Hal itu disebabkan karena kepemimpinan Baginda Raja Prabu
Aryo Seto yang bertindak adil dan bijaksana. Beliau menerapkan hukum yang sama
terhadap semua orang tanpa memandang derajat dan kedudukannya. Sifat adil dan
bijaksana pun diikuti oleh istri dan anaknya serta para pegawai kerajaan.
Mereka pun tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk berlaku jahat. Sifat adil dan
bijaksana pun pernah terbukti saat 2
orang penduduk bersengketa masalah perebutan hewan ternak kerbau yang
dimilikinya. Mereka saling mengklaim bahwa kerbau yang lepas dari kandang adalah
miliknya.
“Rakyatku, apa yang menjadi masalah
hingga kalian mengadu terhadapku” tanya Baginda Raja.
“Tuanku, bapak tua yang tidak tahu
diri ini telah mengakui hewan ternak saya yang telah pelihara sejak dilahirkan.
Saya telah mengeluarkan biaya banyak untuk memeliharanya. Saya tidak terima
dengan perlakuan ini Baginda Raja. Mohon keadilannya!”
jawab penduduk yang berusia setengah baya berbadan gempal berhiaskan permata di
jarinya.
“Selanjutnya, bagaimana menurut pengakuan rakyatku yang satu ini”
tanya Baginda Raja kepada penduduk yang
berusia 70an.
“Ampun, Baginda Raja. Hamba hanya
ingin keadilan bahwa kerbau yang menjadi sengketa adalah buah kerja keras yang
saya lakukan tiada henti. Saya telah mengeluarkan semua tabungan saya untuk
memeliharanya. Keringat dan cucuran air mata telah saya keluarkan setiap
harinya untuk membesarkannya. Mohon ampun Baginda Raja, jika hamba lancang
mengucapkannya” jawab penduduk tua berpenampilan lusuh sambil
meneteskan air mata. Penduduk yang berusia setengah baya pun ikut meneteskan
air mata di hadapan Baginda Raja.
“Baik rakyatku. Karena kalian berdua
saling mengklaim menjadi miliknya. Saya akan memanggil algojo kerajaan untuk
memotong kerbau menjadi dua bagian sama besar. Prajurit, tolong siapkan
semua peralatan pemotongan hewan”
pinta Baginda Raja. Semua hening, tak ada suara apapun dalam istana kerajaan.
Tetapi, keheningan itu pun pecah karena tangisan keras penduduk tua yang
berusia 70an.
“Ma …. Af. Ba …gin …da Ra… ja.
Selama ini Baginda adalah raja yang adil dan bijaksana. Tetapi, ternyata mau
melakukan kejahatan dengan memotong hewan yang tidak berdosa karena sengketa.
Ampunnnn …. Baginda. Kalau hamba salah, hamba rela dihukum. Bila perlu sebagai
gantinya hewan tersebut”
rengek penduduk tua dengan sesenggukan.
“Baik rakyatku. Penyelesaian sudah
jelas. Ternyata, hewan ternak kerbau tersebut adalah milik pak tua ini”
sambil menunjuk penduduk tua yang berumur 70an.
“Dan kau rakyatku”
tanya Baginda raja kembali sambil menunjuk penduduk setengah baya.
“Kau bersalah! Mana ada orang yang
mempunyai hewan kesayangannya rela dipotong tanpa alasan yang kuat. Bahkan, kau
dengan senang hati menerimanya. Kau jelas-jelas telah berbuat bohong kepada
kita semua. Pengawal, bawa dia dan jebloskan ke penjara” jelas
Baginda Raja mengakhiri pembicaraan.
Sikap adil dan
bijaksana Raja pun diterapkan putri semata wayangnya. Sang Putri Raja berniat untuk bisa hidup bebas
di luar lingkungan keraton. Tetapi, Raja menolaknya dengan alasan takut terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini dilandasi karena wajah sang putri yang
cantik jelita serta mempunyai tubuh yang sangat wangi bagai bunga kemuning
telah menjadi incaran para pemuda di seluruh pelosok negeri. Semua pemuda ingin
memilikinya, dari yang bermaksud baik sampai yang bermaksud jahat. Oleh sebab
itu, penduduk Ringin Anom lebih mengenalnya sebagai Putri Kemuning.
Bukan hanya wajah yang
cantik jelita, tetapi bau badan yang wangi sang putri memang menjadi
pembicaraan penduduk di seluruh pelosok negeri. Sebenarnya bau wangi tersebut
adalah bau wangi dari bunga Kemuning yang berada di samping pondok keputren. Bunga
Kemuning tersebut ternyata ditanam oleh bidadari sebelum kerajaan Ringin Anom
berdiri. Suatu malam, antara setengah sadar dalam tidurnya putri raja
dibangunkan oleh wanita berwajah cantik yang mengenakan pakaian yang indah
laksana sutra dan berbalutkan selendang panjang berwarna kuning keemasan.
Sepertinya, sang bidadari mengajak putri raja untuk mengikuti dirinya. Dan
langkahnya terhenti tepat di bawah pohon Kemuning.
“Tuan putri tidak usah takut. Saya
adalah bidadari dari negeri langit yang ingin
membantu tuan putri. Saya sekarang menghuni bunga Kemuning, di mana tuan
putri sering bermain di bawahnya” kata sang bidadari
meyakinkan.
“Maaf, putri langit. Saya sedikit
takut dengan keadaan ini. Kalau boleh tahu, apakah putri langit makhluk yang
jahat” jawab putri raja sedikit ketakutan.
“Begini, tuan putri. Saya bermaksud
baik. Saya telah dikutuk oleh raja langit agar hidup di bumi selamanya. Saya
menyadari bahwa bunga kemuning ini tak selamanya hidup. Suatu saat pasti akan
mati. Perlu tuan putri ketahui bahwa bunga kemuning ini adalah jelmaan saya,
tuan putri. Maafkan, kalau saya mengagetkan tuan putri”
sang bidadari meyakinkan.
“Oh, jadi bunga kemuning ini adalah
jelmaan dari putri langit”
“Benar, tuan putri”
“Maukan tuan putri menolong saya”
“Saya tidak keberatan untuk menolong
putri langit. Apa yang bisa saya lakukan buat putri langit”
“Karena saya tidak diperbolehkan
kembali ke langit. Maka, saya ingin hidup kekal dan abadi di bumi, tuan putri.
Tetapi, ada syaratnya” jawab putri langit agak sedih.
“Apa itu syaratnya putri langit?”
“Maukah tuan putri memakan bunga
kemuning sebanyak 3 buah ini setelah saya tiup sebanyak 5 kali”
pinta sang bidadari.
“Saya akan melakukannya dengan
senang hati putri langit”
“Tuan putri tidak usah takut,
dengan memakan bunga kemuning ini, tubuh tuan putri akan mengeluarkan bau yang
sangat harum bagai bunga kemuning. Selanjutnya, tuan putri telah menolong saya
untuk hidup lama dalam jelmaan bunga
kemuning ini. Dan, suatu saat nanti, tuan putri akan berjodoh dengan pemuda tampan
yang sakti dan tiada tanding” sang bidadari
meyakinkan.
“Benarkan apa yang putri langit
ucapkan”
“Benar tuan putri. Tetapi perlu
diingat bahwa tuan putri akan mengalami musibah yang tidak terduga. Setelahnya,
akan berakhir dengan kebahagiaan” jawab sang bidadari
meyakinkan.
Putri Raja tanpa
canggung memakan 3 buah bunga kemuning yang ditiup dengan 5 kali hembusan yang
diberikan oleh sang bidadari penghuni bunga kemuning. Meskipun dalam hatinya, Putri
Raja tidak percaya seratus persen. Tetapi, toh
perintah itu dilakukannya. Selanjutnya, sang bidadari pun menghilang secara
perlahan yang diikuti dengan hilangnya asap yang mengepul menuju bunga
kemuning. Sedangkan, Putri Raja dengan perasaan kantuk menuju tempat tidurnya.
Pagi harinya, ketika bangun sang Putri Raja kaget karena ruang tidur dipenuhi
dengan bau wangi bunga kemuning. Putri Raja mencari sumber wangi tersebut tapi
tak diketahuinya. Sang putri baru memahami bahwa bau tersebut berasal dari
tubuhnya sendiri dan ingat kejadian semalam bukanlah mimpi belaka. Benar-benar
kejadian nyata yang telah dialaminya dan hanya diceritakan kepada Baginda Raja dan Permaisuri.
Menjelang usia dewasa
tentunya, Baginda Raja mulai memikirkan pendambing Putri Raja. Banyak pemuda
dari seantero negeri yang berusaha melamarnya agar menjadi suami sang Putri Raja.
Tetapi, belum ada satu pun yang cocok di hati Putri Raja. Tentunya, keadaan ini
menjadi kegelisahan sang Putri Raja karena takut ada perasaan kecewa yang
dialami oleh pemuda yang ditolak lamarannya. Baginda Raja juga takut terjadi
apa-apa yang menimpa Putri Raja. Ketika malam datang menjelang pagi, sebuah
cahaya terang mirip meteor bergerak cepat dan berputar-putar tepat di atas
pondok keputren sang Putri Raja. Selanjutnya, cahaya terang tersebut hilang
secara misterius tepat menuju tempat tidur sang Putri Raja.
Benar apa yang menjadi
kegelisahan sang Baginda Raja terbukti. Pagi hari menjelang waktu subuh,
terdengar erangan yang kuat berkali-kali dari pondok keputren. Baginda Raja dan
Permaisuri raja kaget bukan kepalang dan tergopoh-gopoh menuju keputren yang
dikawal oleh prajurit kerajaan, yaitu: Patih
Aryo Karang Jati dan Patih Aryo
Kasreman. Baginda Raja dan yang lainnya melihat dengan jelas apa yang
dialami oleh sang Putri Raja. Putri Raja mengerang kesakitan karena tubuhnya
dipenuhi dengan penyakit kulit yang menjijikan seperti borok. Bau wangi
tubuhnya pun mendadak hilang. Yang ada adalah bau amis seperti darah. Baginda
Raja sangat syok dan permasuri raja
pun jatuh pingsan. Setelah, permaisuri raja siuman Baginda Raja memanggil tabib
kerajaan yaitu: Aji Sepuh Tawun untuk
menyembuhkan penyakit aneh Putri Raja. Tetapi apa yang dilakukan oleh tabib
hanyalah tindakan yang sia-sia.
Keesokan harinya,
pengawal kerajaan mencari semua tabib yang ada di negeri Ngawi diundang untuk
datang ke istana Kerajaan Ringin Anom. Kedatangan para tabib ke istana berbuah
hampa. Tidak ada satu pun tabib yang mampu mengobati penyakit Putri Raja.
“Ampun beribu ampun baginda raja,
hamba belum mampu menyembuhkan penyakit tuan putri. Karena penyakit tuan putri
sungguh aneh. Ampun, kalau hamba lancang mengucapkannya” kata
tabib terakhir yang gagal untuk mengobatinya.
“Tidak apa-apa rakyatku. Sudi
datang ke istanaku adalah sebuah kehormatan besar ”
jawab Baginda Raja.
“Terima kasih Baginda Raja. Hamba
mohon pamit” jawab tabib.
Memang, penyakit aneh Putri
Raja tidak bisa disembuhkan dengan ramuan apapun baik ramuan bunga kemuning
maupun daun beluntas yang tumbuh di dalam kerajaan. Karena penyakit tersebut
adalah guna-guna yang dikirimkan dari berbagai pemuda yang ditolak lamarannya
beberapa waktu yang lalu. Kondisi fisik yang dialami oleh Putri Raja menjadi
masalah besar kerajaan. Bahkan, Baginda Raja sering melamun sendirian. Sama
juga halnya seperti yang dilakukan oleh permaisuri raja. Ada perasaan takut
dari Baginda Raja dan Permaisuri tentang kelangsungan hidup Putri Raja. Baginda
Raja yakin, jika kondisi Putri Raja tidak mampu disembuhkan maka tidak ada satu
pun pemuda yang tertarik untuk melamarnya hingga waktu dewasa.
Kondisi fisik yang
dialami Putri Raja membuat Baginda Raja tidak mau makan yang membuat badannya
menjadi kurus. Rambut kepalanya pun mulai dipenuhi uban. Semua pegawai kerajaan
menjadi bingung, sedih dan gelisah. Apalagi, kondisi fisik Baginda Raja mulai
lemah karena jarang bergerak. Di saat Baginda Raja sedang merenung sendiri,
muncul ide untuk bersemedi.
“Mungkin, bersemedi adalah jalan
terakhir untuk menenangkan pikiranku dari kemelut masalah ini”
gumam Baginda Raja.
Baginda Raja pun
akhirnya melakukan ritual semedi di dalam sebuah ruangan khusus yang tidak bisa
diganggu oleh siapapun, termasuk Permaisuri Raja. Tentunya, ritual tersebut
telah dikonsultasikan bersama Permasuri Raja.
Dengan khusuk Baginda Raja melakukan ritual semedi. Dalam kesendirian dan sepinya
di malam hari karena lampu penerangan ruangan dimatikan, tubuh Baginda
Raja bergetar hebat dan mengeluarkan
keringat dingin. Matanya yang masih terpejam dengan jelas mendengar suara aneh
yang muncul di hadapannya tanpa ada wujud fisiknya. Mulutnya komat-kamit
mengucapkan mantra.
“Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto!
Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit putrimu adalah daun Sirna Ganda.
Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh
seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya”
demikian pesan yang disampaikan oleh suara gaib itu. Baginda Raja meyakini
bahwa pesan tersebut merupakan pesan leluhur yang harus dilaksanakan dan
merupakan solusi untuk menyembuhkan penyakit Putri Raja.
Pagi
harinya, Baginda Raja dengan bersemangat mengumumkan sayembara di alun-alun
kerajaan Ringin Anom dikawal prajurit kerajaan.
Dengan lantang, sayembara diucapkannya.
“Wahai, seluruh rakyatku! Kalian
semua tentu sudah mengetahui perihal penyakit putriku. Setelah semalam
bersemedi, aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun
sirna ganda yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang
dapat mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia laki-laki akan kunikahkan
dengan putriku. Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku,” ujar
Sang Baginda Raja di depan rakyatnya.
Berita sayembara
tersebut menyebar ke seluruh pelosok negeri. Tak terkecuali sampai ke telinga
Jaka Budug. Pada hari yang telah ditentukan, semua peserta yang terdiri dari
para pemuda mendaftarkan diri menjadi
peserta untuk memasuki gua Arga Dumadi. Sayembara tersebut dijaga ketat oleh
pihak kerajaan. Sedangkan, Baginda Raja sendiri berada di kerajaan Ringin Anom
menunggu berita baik dari sayembara tersebut. Namun, sudah ratusan pemuda yang
mendaftar dan memiliki ilmu kesaktian belum mampu mempersembahkan bunga Sirna Ganda
hingga hari keenam sayembara tersebut. Raut wajah Baginda Raja semakin pucat
karena tidak ada lagi peserta yang mendaftarkan diri. Perasaan gelisah bersama Permaisuri
Raja tak henti-hentinya terlihat jelas. Di saat, perasaan gelisah menyelimuti
kerajaan, prajurit kerajaan berjalan tergopoh-gopoh menghadap Baginda Raja.
“Maaf, Baginda Raja sepertinya ada
peserta terakhir yang ingin mengikuti sayembara. Bolehkah hamba mengijinkan masuk ke hadapan
Baginda Raja” Tanya prajurit kerajaan.
“Panggil segera!”
jawab Baginda Raja.
“Baik, Baginda Raja. Sendiko dawuh”
jawab prajurit kerajaan langsung berbalik untuk memanggil secepatnya peserta
terakhir dan membawanya ke hadapan Baginda Raja.
Namun, kedatangan
peserta terakhir yang ternyata bernama Jaka Budug membuat Baginda Raja ragu.
Betapa tidak! Sudah ratusan pemuda yang berperawakan tinggi, ganteng dan sakti mandraguna
tidak mampu mempersembahkan bunga Sirna Ganda. Sementara yang datang terakhir
hanyalah pemuda yang berpakaian lusuh dan tubuhnya dipenuhi penyakit kudis atau
budug.
“Ampun,
Baginda! Izinkan hamba untuk mengikuti sayembara ini untuk meringankan beban
Sang Putri” pinta Jaka Budug.
“Siapa kamu hai, anak muda? Dengan
apa kamu bisa mengalahkan naga sakti itu?” tanya Baginda
Raja dengan perasaan campur aduk karena masih ragu dengan kedatangan Jaka
Budug.
“Hamba Jaka Budug, Baginda Raja.
Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini”
jawab Jaka Budug seraya menunjukkan keris pusakanya kepada Baginda Raja.
Ketika, ditunjukan keris pusaka tersebut perasaan ragu Baginda Raja pelan-pelan
hilang.
“Baiklah, Jaka Budug! Karena
tekadmu yang kuat, maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!”
ucap Baginda Raja.
“Terima kasih Baginda Raja”
jawab Jaka Budug.
“Segeralah menuju ke gua Arga
Dumadi. Prajurit, kawal pemuda ini” pinta Bagunda Raja.
“Sendiko dawuh Baginda Raja”.
Bersama
pengawal kerajaan, Jaka Budug menuju gua Arga Dumadi. Banyak penduduk yang
menanti kedatangan Jaka Budug sebagai peserta terakhir. Sesampainya di lokasi,
dengan sigap Jaka Budug menyelinap untuk mendapatkan bunga Sirna Ganda. Tetapi,
semburan api dari naga sakti penghuni gua tersebut membuatnya berkali-kali
terpental hingga ke luar gua. Bahkan, gerak lincah naga sakti membuat kerepotan
Jaka Budug. Hingga akhirnya Jaka Budug mengeluarkan senjata pamungkas Keris
Sakti Kyai Raga Sukma yang ditunjukan langsung ke arah naga sakti. Cahaya kilat emas keris pusaka tersebut
membuat naga sakti menjadi silau. Saat lengah tersebut, Jaka Budug bergerak
cepat dengan mengeluarkan ilmu kesaktian Tapak
Bumi Meraga Sukma warisan ayahnya
bagai hembusan angin dan kilat. Dengan gerakan reflek, Jaka Budug menghunuskan
keris pusaka tersebut ke arah badan naga sakti. Darah segar terpancar dari
kulit naga sakti hingga mengenai kulit Jaka Budug.
Sunggug ajaib, darah
yang mengenai kulit Jaka Budug mendadak penyakit kulitnya menjadi hilang. Jaka
Budug kaget bukan kepalang dan dengan semangat menghunjamkan keris pusakanya dari kepala
hingga ekor naga sakti sambil mengusapkan darah segar ke kulit tubuhnya.
Mendadak penyakit yang dideritanya hilang dalam sekejap. Sementara naga sakti
secara perlahan jatuh terjerembab ke lantai gua. Jaka Budug pun dengan sigap
mengambil bunga Sirna Ganda dan meloncat keluar gua menuju kerajaan. Semua
penduduk yang menyaksikannya berdecak kagum. Berita tersebut akhirnya menyebar
seantero negeri hingga ke telinga Baginda Raja. Pihak kerajaan bersiap-siap
menyambut Jaka Budug.
Baginda Raja sungguh
kaget, yang datang ke istana kerajaan bukanlah pemuda yang mempunyai penyakit kudis,
melainkan pemuda ganteng yang
mempersembahkan bunga Sirna Ganda. Dan penyakit Putri Raja mendadak hilang. Kemudian,
bau wangi bunga kemuning pun muncul lagi dan memenuhi ruangan keputren.
“Benarkah kisanak adalah Jaka Budug
yang bertemu tadi pagi?” tanya Baginda Raja.
“Benar Baginda Raja. Hamba adalah
Jaka Budug yang bertemu Baginda Raja tadi pagi. Penyakit hamba mendadak hilang
dikarenakan percikan darah segar dari tubuh naga sakti yang mengenai tubuh
hamba akibat hunjaman keris pusaka” jawab Jaka Budug
meyakinkan.
“Baik, kisanak. Sesuai janjiku
dalam sayembara, maka kisanak akan kunikahkan dengan putriku, Putri Ayu
Setyawati yang biasa dipanggil Putri Kemuning. Pernikahan akan diadakan
secepatnya esok hari bersamaan serah terima kerajaan. Tanggung jawab kerajaan
ini akan kuserahkan kepadamu kisanak” jelas Baginda Raja.
“Matur sembah nuwun Baginda Raja.
Ini adalah anugerah dan tanggung jawab besar buat hamba. Semoga hamba mampu
mengemban tugas tersebut” jawab Jaka Budug.
Akhirnya, Baginda Raja
pun mempertemukan Putri Raja dengan Jaka Budug. Ternyata, keduanya pun saling
jatuh cinta. Esok harinya acara pernikahan putri raja dan serah terima jabatan
raja dilaksanakan secara meriah. Seluruh penduduk negeri dengan suka cita
menghadiri acara tersebut. Ketika Jaka Budug ditetapkan sebagai raja baru
Ringin Anom mendapatkan gelar Raden Arya
Anom Melawi. Sedangkan Putri Raja, Putri Kemuning ditetapkan sebagai Permaisuri
Raja baru mendapat gelar Putri Ayu Anom
Kemuning Sari. Raja dan pemaisuri
baru memerintah kerajaan Ringin Anom dengan adil dan bijaksana seperti
pendahulunya. Bahkan, tingkat perekonomian penduduk menjadi meningkat ddan
hokum kerajaan ditegakan dengan adil dan bijaksana.
* Diadapsi dari Cerita Rakyat
Kabupaten Ngawi-Jawa Timur yang berjudul “Jaka Budug dan Putri Kemuning”, yang
diceritakan kembali oleh Samsuni.
3 comments for "Cerita Rakyat Kota Ngawi Jawa Timur"
Apakah cerita tersebut memiliki sumber data atau refrensi daftar pustaka?
Terimakasih sudah merespon mas.