Migrasi ke Transportasi Publik, Sebuah Lompatan
Besar dengan Bekerja
Bersama #UbahJakarta
Kemacetan menjelang perlintasan
jalan sebidang di salah
satu sudut Jakarta (Sumber: dokumen pribadi)
Wacana pemindahan
Ibukota Jakarta ke Palagkaraya (Kalimantan Tengah) kembali mengemuka beberapa
bulan yang lalu. Banyak kalangan berpendapat bahwa Kota Jakarta sudah tidak
layak sebagai ibukota Negara karena beban berat yang dipikulnya seperti
kemacetan lalu lintas yang semakin akut dan banjir yang datang secara berkala
(tahunan). Namun, masalah kemacetan yang berlangsung setiap saat merupakan Pekerjaan
Rumah (PR) besar setiap tokoh yang menjabat Gubernur Jakarta. Lagi, ada stigma negatif yang menyatakan
bahwa Jakarta identik dengan kemacetan
yang sangat sulit diatasi karena sejak awal sudah salah dalam penataan
kota bahkan desain lalu lintas kotanya
sangat buruk.
Penyebab
Kemacetan
Hingga saat ini,
untuk memecah kemacetan Jakarta belum menemukan titik temu. Padahal, Jakarta
mempunyai sejarah bahwa transportasi publik yang maju sudah ada sejak masa
Kolonial Belanda. Jalur kereta pertama di Jakarta yang dahulu masih
bernama Batavia telah dibangun pada
tahun 1869 yang menghubungkan Batavia dan Buitenzorg
(Bogor). Kota-kota lain di Asia
belum berpikir membangun jaringan rel kereta api seperti jaringan kereta di
Tokyo Jepang, Seoul, Beijing, dan Singapura. Namun, sekarang Jakarta justru
terperosok jauh masalah transportasi yang menyebabkan kemacetan parah
dibandingkan kota-kota lain di Asia tersebut.
Sebagai informasi
bahwa berdasarkan
data Statistik Transportasi DKI Jakarta tahun 2015, jumlah kendaraan mencapai
16,07 juta unit. Sedangkan, di sisi lain hanya terbangun 6,95 juta meter jalan
raya. Jika dihitung, setiap kendaraan hanya mendapat ruang sepanjang 0,43
meter, padahal panjang mobil rata-rata 4,5 meter. Inilah penyebab kemacetan
secara hitung-hitungan matematika. Beberapa Gubernur
Jakarta yang menjabat juga belum mampu mengeluarkan kebijakan brilian untuk
memecah kemacetan.
Lantas, masalah apa
yang paling mendasar hingga kemacetan membuat wajah Jakarta penuh noda sebagai
ibukota Negara di mata dunia? Beberapa calon Gubernur Jakarta pada Pilkada DKI
Jakarta beberapa bulan yang lalu juga memberikan berbagai solusi untuk
mengatasi kemacetan. Semuanya penuh teori dan argumentasi agar gagasan tersebut
masuk akal dan bisa diaplikasikan sebaik mungkin. Bukan itu saja, gagasan
tersebut juga bisa membawa konstituen (pemilih) untuk mencoblosnya di kotak
suara. Dan, kini masalah kemacetan Jakarta akan menjadi tanggung jawab besar di
pundak Gubernur Jakarta terpilih Anies Baswedan – Sandiaga Uno untuk 5 tahun ke
depan. Tentunya, masyarakat Jakarta membutuhkan bukti nyata agar kemacetan
Jakarat bisa terurai dengan baik.
Banyak hal yang
menyebabkan kemacetan Jakarta seperti lautan kendaraan yang tidak bebas
berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Menurut Institute for Transportatation and Development Policy (ITDP)
menyatakan bahwa kebijakan subsidi BBM yang belum berpihak kepada angkutan umum
dan hanya menguntungkan kendaran pribadi yang melintas ikut andil sebagai penyebab
kemacetan. Lagi, kelonggaran masalah sistem parkir di ibukota juga menyumbang
kemacetan. Sudah bukan rahasia umum bahwa lahan parkir yang ada di Jakarta masih
digunakan sebagai lahan bisnis karena banyaknya kendaraan pribadi yang parkir
(Kompas.com, 23 Maret 2017).
Lain halnya dengan
apa yang diutarakan oleh pengamat kebijakan publik Andrinov Chaniago dalam
laman Republika.co.id yang dilansir
tanggal 30 Agustus 2017 menyatakan bahwa penyebab kemacetan Jakarta ada 9
macam, yaitu:
1.
Ruas jalan jauh di bawah kebutuhan
normal yang seharusnya 20 persen dari luas Jakarta, nyatanya hanya 6,2 persen.
2.
Moda angkutan umum belum sesuai
dengan kebutuhan di kota besar, seharusnya berupa bus dan kereta yang bisa
mengangkut orang lebih banyal. Nyatanya kurang lebih 16 ribu angkot beroperasi
di Jakarta.
3.
Minimnya jembatan penyeberangan
orang atau terowongan penyeberangan orang.
4.
Kebijakan perumahan perkotaan yang
salah. Rumah susun di Jakarta jumlahnya sangat kecil akibatnya orang menebar ke
daerah pinggir yang mengakibatkan orang lama di jalan.
5.
Banyaknya persimpangan jalan yang
belum memiliki fly over maupun underpass.
6.
Angka urbanisasi dan pertumbuhan di
pinggir Jakarta sangat tinggi yang jumlahnya 4,5 persen per tahun yang
mayoritas bekerja di Jakarta.
7.
Banyaknya titik-titik bottleneck seperti di pintu-pintu jalan
tol.
8.
Kurangnya angkutan massal seperti
bus dan kereta.
9.
Buruknya tata ruang dan kesalahan
pemberian ijin bangunan seperti mall dan ruko.
Pembuatan jalan layang membuat pertemuan jalan yang tidak sebidang dengan jalan lain mampu mengurangi tingkat kemacetan Jakarta (Sumber: dokumen pribadi)
Lompatan
Jakarta
Semua masalah
kemacetan di atas perlu penanganan secara serius dari berbagai pihak, khususnya
Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Masyarakat
juga dituntut ikut bekerja bersama untuk mendukung dan merealisasikan program
pemerintah dalam mengatasi kemacetan. Tetapi, yang paling penting adalah
kesadaran yang tinggi untuk bekerja bersama mengurai kemacetan. Karena dukungan yang kuat dari masyarakat
mampu #UbahJakarta menjadi kota yang layak huni dan mudah untuk
berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Banyak solusi yang
bisa menjadi oase untuk mengurangi
bahkan menghilangkan tragedi kemacetan. Menurut laman Info Indonesia memberikan masukan tentang solusi mengatasi kemacetan
Jakarta dengan beberapa cara, yaitu:
1.
Waktu lampu merah hendaknya 90-120
menit, di mana lalpu merah terlalu cepat bisa menyebabkan antrian kendaraan
semakin mengular.
2.
Mendenda angkutan umum secara tegas yang
ngetem sembarangan.
3.
Mengatur pedagang kaki lima agar
tidak luber ke jalan karena bisa mengganggu antrian kendaraan yang lewat.
4.
Antrian pembayaran jalan tol sebaiknya
di pintu keluar untuk mencegah antrian kemacetan seperti yang terlihat setiap
masuk pintu tol.
5.
Bangun rel kereta api terkanan
(cepat) di jalan tol karena tidak perlu melakukan pembebasan lahan.
6.
Adakan bis-bis besar kembali saat
pengadan busway, sebagai contoh bahwa
11 bis jurusan Kampung Melayu – Blok M tidak beroperasi sejak tahun 2009 sejak
operasi busway bisa dihidupkan
kembali.
7.
Adakan rumah susun sewa (Rusunawa)
di pusat-pusat perkantoran untuk menghemat waktu kerja. Dengan tempat tinggal
yang dekat maka para pekerja kantor tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi,
tetapi cukup dengan berjalan kaki.
8.
Perlebar titik-ttik macet di Jakarta
dan beri jalan layang atau terowongan. Dengan adanya perlintasan jalan yang
tidak sebidang maka kemacetan bisa diatasi
9.
Tambah rangkaian kereta api sebagai
transportasi publik massal.
10. Adakan transportasi air seperti pemanfaatan
Kali Banjir Kanal dan lain-lain.
11. Pengadaan Mass
Rapid Transit (MRT) terintegrasi yang mampu mengangkut ratusan ribu
penumpang setiap jamnya.
Dari beberapa
solusi mengatasi kemacetan di atas, pengadaan Mass Rapid Transit (MRT) terintegrasi atau lebih familiar disebuat
sebagai MRT Jakarta adalah cara cerdas dan sebagai lompatan
Jakarta untuk menjadi lebih baik di masa depan, terutama memecah tingkat
kemacetan yang semakin tidak terkendali. Namun, ada catatan penting yang perlu
digarisbawahi adalah perlunya kesadaran
masyarakat yang tinggi untuk migrasi ke transportasi publik terintegrasi.
Ini adalah sebuah tindakan nyata untuk bekerja bersama #UbahJakarta menjadi kota yang lebih baik. Langkah awal untuk
meningkatkan integrasi transportasi,
Pemda DKI Jakarta telah membangun konektivitas antarmoda dengan
menempatkan bus-bus pengumpan seperti dari Stasiun Tebet menuju Sudirman dengan
memotong kawasan Kuningan. Ini merupakan terobosan untuk mempercepat waktu
tempuh perpindahan lokasi penumpang.
MRT Jakarta sebagai
transportasi massal untuk mengurangi tingkat kemacetan Jakarta yang tinggi (Sumber: kaorinusantara.or.id)
MRT Jakarta merupakan transportasi massal yang bisa menjadi pemecahan
terbaik untuk mengatasi kemacetan. Bayangkan, ketika saya menyelusuri jalanan
Jakarta siang hari untuk melakukan KIR kendaraan usaha dari Rawa Buntu
Cengkareng Jakarta Barat ke kawasan Cilincing Jakarta Utara membutuhkan waktu
tempuh kurang lebih 5 jam. Jalanan
Jakarta yang dipenuhi dengan kendaraan pribadi, angkot yang ngetem sembarangan,
berbagai proyek jalan raya dan lain-lain adalah segelintir bukti nyata bahwa
kemacetan Jakarta membutuhkan transportasi massal dengan konektivitas yang
tinggi. Dan, saat melewati jalan MH Thamrin sedang ada pengerjaan kontruksi
proyek besar untuk akses MRTJakarta yang akan diselesaikan pada tahun 2018 nanti.
Perlu diketahui
bahwa pembangunan konstruksi fase 1 proyek Mass
Rapid Transit (MRT) Jakarta dimulai sejak 10 Oktober 2013 telah dibangun
jalur kereta sepanjang 16 kilometer yang meliputi 10 kilometer jalur jalan layang
(elevated section) dan 6 kilometer
jalur jalan bawah tanah (underground).
Fase I tersebut meliputi 7 (Tujuh) stasiun jalan layang terdiri dari Lebak
Bulus (terdapat lokasi depo), Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok
M, dan Sisingamangaraja. Sedangkan, 6 (enam) stasiun jalan bawah tanah dimulai
dari Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan Bundaran
Hotel Indonesia.
Semua
kalangan berharap besar bahwa MRT Jakarta mampu memecah kemacetan Jakarta. Pembangunannya pun terus dikebut agar bisa
digunakan saat perhelatan Asian Games 2018 mendatang. Faktanya, banyak kemajuan yang signifikan pengerjaan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta Fase I
yang menghubungkan kawasan Lebak Bulus hingga Bundaran HI kini secara
keseluruhan telah mencapai 67%. Adapun pengerjaan jalur MRT jalan layang (elevated section) sepanjang 10 km dari
wilayah Lebak Bulus hingga Sisingamangaraja telah mencapai progres 50,71%. Sedangkan,
jalur bawah tanah (underground) sepanjang
6 km telah mencapai progress sekitar 80%. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat di
Infografis berikut ini:
Kemajuan pembangunan Mass Rapid
Transit (MRT) Jakarta dari
Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indoesia (HI)
secara
keseluruhan mencapai 67% (Sumber: dokumen pribadi,
diolah dari data MRT
Jakarta tahun 2017)
Perlu
diketahui bahwa pengerjaan MRT Jakarta dibiayai oleh Pemerintah
Pusat dan Provinsi DKI Jakarta dan didukung dana pinjaman Pemerintah Jepang
melalui Japan International Cooperation
Agency (JICA) dalam bentuk pinjaman
penyediaan dana pembangunan sebesar 125.237.000.000
yen. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai implementing agency telah
menunjuk PT MRT Jakarta sebagai sub
implementing dari program pembangunan MRT Jakarta.
Selanjutnya, menurut data MRT Jakarta menyatakan bahwa dalam
pengerjaan proyek prestigious tersebut
melibatkan kontraktor-kontraktor besar dan berpengalaman baik dari Indonesia
maupun Jepang. Kontraktor-kontraktor yang terlibat dalam pengerjaan kontruksi
MRT Jakarta fase I di antaranya:
1.
CP101 – CP102 dikerjakan oleh Tokyu
– Wijaya Karya Joint Operation (TWJO)
untuk area Depot dan Stasiun Lebak Bulus, Fatmawati, dan Cipete Raya.
2.
CP103 dikerjakan oleh Obayashi –
Shimizu – Jaya Konstruksi (OSJ) untuk area Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja.
3.
CP104 – CP105 dikerjakan oleh
Shimizu – Obayashi – Wijaya Karya – Jaya
Konstruksi Joint Venture (SOWJ JV) untuk area transisi, Senayan, Istora,
Bendungan Hilir, dan Setiabudi.
4.
CP106 dikerjakan oleh Sumitomo –
Mitsui – Hutama Karya Join Operation (SMCC – HK JO) untuk area Dukuh Atas dan
Bundaran Hotel Indonesia.
5.
Pengerjaan CP107 untuk sistem
perkeretaapian (Railway System) dan
pekerjaan rel (Trackwork) dikerjakan oleh
Metro One Consortium (MOC) yaitu
Mitsui & Co. – Tokyo Engineering Corporation – Kobe Steel, Ltd – Inti Karya
Persada Tehnik). Sedangkan, pengerjaan CP108 untuk Rolling Stock dikerjakan oleh Sumitomo Corporation.
Yang menarik dari
proyek MRT Jakarta adalah pengerjaan terowongan bawah tanah yang dibuat 360
derajat. Seperti, terowongan yang
dilalui oleh kereta peluru (Shinkansen) di Jepang. Karena, pengerjaan
terowongan tersebut diadopsi dari teknologi Jepang. Tentunya, kontraktor
Indonesia juga ikut andil dalam pengerjaan kontruksi bawah tanah tersebut.
Untuk melihat proyek terowongan MRT Jakarta, anda bisa lihat dalam tayangan
video berikut ini:
Terintegrasi
MRT
Jakarta tidak akan berfungsi maksimal tanpa adanya konsep integrasi dengan
pendukung lainnya. Seperti stasiun jalan layang Sisingamangaraja yang
terintegrasi dengan gedung Kantor Sekretariat ASEAN. Oleh sebab itu, pekerja kantor yang ada di
gedung tersebut dengan mudah mengakses transportasi publik.
Stasiun jalan layang terakhir, Stasiun Sisingamangaraja terintegrasi dalam kompleks Gedung Sekretariat ASEAN. Gedung ini akan menjadi landmark dari area stasiun. Desainnya mengangkat tema ASEAN, multikultural, persatuan dalam keberagaman (Sumber: MRT Jakarta)
Selanjutnya, MRT Jakarta
mengembangkan konsep Transit Oriented Development (TOD) di beberapa
stasiunnya. Ada 4 (empat) stasiun yang masuk ke dalam rencana induk
pengembangan tersebut, yaitu: 1) Stasiun Cipete Raya dan 2) Stasiun Istora yang
akan bekerja sama dengan pemilik lahan property; 3) Stasiun Blok M yang
terintegrasi dengan terminal bus, pusat hiburan, dan taman kota; dan 4) Stasiun Dukuh Atas yang beririsan dengan
layanan transportasi publik lainnya, yaitu jalur komuter (commuterline),
kereta Bandara Soekarno-Hatta, halte bus Transjakarta, stasiun Light
Rail Transit (LRT), dan circular pedestrian bridge agar
pejalan kaki dapat terhubung dengan seluruh moda terpadu tersebut. Untuk lebih
jelasnya, bisa lihat gambar berikut:
Konsep Transit
Oriented Development (TOD) membuat transportasi publik
terintegrasi dengan pendukung lainnya (Sumber: MRT Jakarta)
MRT Jakarta
dirancang sebagai sarana transportasi massal yang terintegrasi. Masyarakat
diharapkan bisa melakukan migrasi (perpindahan) penggunaan moda transportasi
dari kendaraan pribadi ke transportasi publik.
Dengan kesadaran tinggi dan bekerja sama untuk menggunakan trasnportasi
publik dengan meluncurnya MRT Jakarta di tahun
2018 mendatang maka masalah kemacetan Jakarta lambat laun akan terselesaikan.
Namun, perlu diperhatikan bahwa selama pengerjaan proyek MRT berlangsung,
masyarakat juga diharapkan untuk memanfaatkan sebaik-baiknya transportasi
publik yang ada seperti Transjakarta, Commuter Line, dan lain-lain.
Perlunya
pemahaman secara komprehensif bahwa
dengan penggunakan kendaraan pribadi secara masif akan berakibat tingkat kemacetan
yang tidak akan pernah terurai. Bukan hanya itu, polusi kendaraan bermotor pun
akan merusak kondisi udara Jakarta yang berada jauh di atas ambang batas udara
normal. Pemerintah juga perlu adanya regulasi ketat tentang penjualan kendaraan
bermotor. Dengan DP murah maka akan merangsang setiap orang untuk memiliki
kendaraan pribadi.
Kaum akademisi
juga perlu memberikan masukan yang baik dalam pemanfaatan transportasi publik
bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Lanjut, perlu adanya pemahaman yang searah antara Pemerintah dengan
korporasi otomotif. Karena, MRT tidak akan berjalan maksimal jika gimmick untuk memiliki kendaraan pribadi
selalu merangsang mata konsumen. Oleh
sebab itu, penerapan pajak yang tinggi dan progresif merupakan salah satu cara
untuk menekan setiap orang untuk memiliki kendaraan pribadi.
Selanjutnya,
pihak birokrasi juga harus memberikan contoh yang baik dengan menjalankan praktek
atas kebijakan Pemerintah. Tidak elok rupanya saat sang pembuat kebijakan
mengeluarkan regulasi tentang ajakan
pemanfaatan transportasi publik,
tetapi mereka sendiri justru memakai kendaraan pribadi. Jadi, kunci utama untuk mensukseskan
migrasi ke transportasi publik terintegrasi adalah sinergitas antara pembuat
kebijakan (Pemerintah), korporasi, akademisi dan seluruh lapisan masyarakat.
Bekerja sama #UbahJakarta secara serius untuk membuat lompatan besar dengan
menggunakan transportasi massal. Kalau kondisi tersebut benar-benar
terjadi, mengatasi kemacetan Jakarta bukan hanya dalam lembaran blue print gagasan.
Post a Comment for " "