Revolusi Mental, Sebuah Literasi untuk Pengguna Sosial Media
Revolusi Mental, Sebuah Literasi
untuk
Pengguna Sosial Media
Penggunaan
sosial media (Sumber: dokumen pribadi)
Jaman semakin berubah, kini koneksi antar manusia yang
melintasi benua terjadi dalam sentuhan jari (touchscreen) dan terasa tanpa batas (borderless) ketika mengakses dunia digital (internet). Berkembangnya dunia internet
membawa perubahan signifikan terhadap kondisi bangsa di dunia. Di Indonesia, penggunaan jaringan internet berkembang pesat. Pada tahun 2015
saja dengan jumlah penduduk kurang lebih 255,5 juta jiwa menunjukan bahwa
pengguna aktif internet sebanyak 88,1 juta jiwa. Sedangkan, sebanyak 79,0 jiwa
aktif di sosial media (sosmed). Menarik, koneksi internet yang ada justru
menunjukan jumlah melebihi jumlah penduduk yaitu sebanyak 318,5 juta koneksi
perangkat mobile. Jadi, setiap
penduduk Indonesia rerata mempunyai 1-2 perangkat gadget. Dan, sebanyak 67 juta jiwa penduduk Indonesia mendapatkan
predikat aktif dalam menggunakan sosial media.
Kondisi
pengguna internet di Indonesia bulan November 2015
(Sumber:
wearesocialsg)
Infografis di atas menggambarkan Indonesia merupakan salah
satu negara dipenuhi dengan penduduk
yang tergila-gila dengan sosial media. Perlu diketahui bahwa Sosial Media (Sosmed) adalah media yang
memungkinkan penggunanya dapat dengan mudah membuat sebuah konten (multimedia)
menggunakan teknologi web 2.0 (user
generated content) dan menyebarkannya secara online seperti: Facebook, Instagram, Twitter, Tumblr, Path, dan Youtube.
Aktivitas sosial media mencapai 79,72 persen, tertinggi di Asia (Global Web
Index Survey, 2015).
Melonjaknya pengguna sosial media menunjukkan bahwa
manusia dan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagai teman sejati.
Gejala tersebut sebagai Sociomateriality. Menurut Wanda J.
Orlikowski (2012) yang dipaparkan
oleh Henry Subiakto (Staf Ahli
Menkominfo RI dan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga) pada sebuah
diskusi publik tentang Bijak Bermedia Sosial di Yogyakarta 27 Mei 2016 menyatakan
bahwa Sociomateriality merupakan manusia dan teknologi komunikasi itu sudah menyatu,
saling berinteraksi. Manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan termasuk ICT,
terjadi mind change (Susan
Grenfields, 2015). Ada generasi digital
native, dan generasi digital
immigrant, mereka sering berbeda dalam cara berpikir dan budayanya.
Teknologi
Komunikasi telah menyatu dengan aktifitas manusia
(Sumber:
Henry Subiakto)
Cyber
Crime
Sayang, sosial media justru memberi peluang timbulnya
kejahatan dunia maya. Apalagi, pemahaman
tentang Literasi Media terhadap masyarakat khususnya pengguna sosial media
masih rendah. Sebagai informasi bahwa Literasi
media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan
mengkonsumsikan isi pesan media. Hal ini perlu dipahami agar tidak terjebak
atau menjadi pelaku kejahatan dunia maya. Banyak tindak kejahatan yang ada di sosial
media, di antaranya:
1.
Cyber Gambling (Perjudian);
2.
Cyber Terrorism (Terorisme);
3.
Cyber Fraud (Penipuan online);
4.
Cyber Sex (Pornografi);
5.
Cyber Narcotism (Narkotika);
6.
Cyber Blackmail (Pemerasan);
7.
Cyber Threatening (Pengancaman;
8.
Cyber Aspersion (Pencemaran nama baik melalui
internet), dan lain-lain.
Perlunya pemahaman pengguna sosial media tentang cyber crime bisa mencegah perbuatan yang dilarang oleh
Undang-undang (UU) Infomrasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ada beberapa pasal UU ITE bisa menjerat
siapapun yang melakukan kejahatan, di antaranya:
- Pasal 27 (illegal
content);
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya IE dan atau DE yang memiliki muatan:
a.
melanggar
kesusilaan;
b.
perjudian;
c.
penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik;
d.
pemerasan
dan/atau pengancaman
2.
Pasal 28 (illegal content) menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian.
3.
menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian/permusuhan
berdasarkan SARA. Ancaman Pidana:
Penjara maksimal 6 tahun
dan/atau denda maksimal 1 M (Pasal 45 ayat (1) dan (2))
4.
Pasal 29 (illegal content) dengan
sengaja dan tanpa hak mengirinkan informasi yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti secara pribadi. Ancaman: pidana penjara maksimal 12 tahun
dan/atau denda maksimal 2 M (Pasal 45
ayat (3))
Status atau konten yang telah diunggah dalam sosial media bisa
berdampak negatif kepada penggunanya. Oleh sebab itu, peribahasa “Jarimu
Harimaumu” berlaku bagi semua pengguna sosial media. Apalagi, status berbau
SARA, provokatif atau HOAX akan menimbulkan keresahan masyarakat. Dan, dampak negative
dari sosial media begitu nyata terjadi di Indonesia.
Masih ingatkah anda dengan Kasus Florence Sihombing yang menyita perhatian publik khususnya
Yogyakarta. Kasus tersebut bermula ketika Florence Sihombing
mengunggah status di Path yang
berisi makian atau ungkapan marahnya dan menjelek-jelekkan warga Yogyakarta pada
Agustus tahun 2014 lalu. Banyak tanggapan dari pengguna status sosial media
tersebut. Bahkan, capture screen
postingan Florence Sihgombing juga disebarkan melalui Twitter dan broadcast
BlackBerry Messenger.
Status Florence Sihombing (Sumber: Merdeka/Path.com)
Selanjutnya, Florence Sihombing dilaporkan oleh berbagai
kelompok masyarakat Yogyakarta ke Polda DIY, dan berlanjut dengan rangkaian
sidang beberapa bulan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Akhirnya, dalam sidang
putusan terakhir, mahasiswi Program Kenotariatan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta dari Medan, Sumatera Utara dijatuhi hukuman dua bulan penjara, masa
percobaan enam bulan serta denda Rp 10 juta subsider
satu bulan penjara oleh majelis hakim. Sebuah kenyataan pahit dari sosial
media.
Pengadilan Florence Sihombing, 31 Maret 2015 (Foto: VOA/Nurhadi).
Lagi, kasus tawuran yang
dipicu karena status di sosial media pernah terjadi di Papua. Tawuran pelajar terjadi di Jalan Nangka D justru
melibatkan 3 sekolah yakni SMK N 1 Aimas, SMA N 2 Aimas dan SMA YPK Bethel
Aimas. Karena status di Facebook yang
diduga dari salah satu pelajar SMKN 1 Aimas mengandung unsur tantangan tawuran yang berisi
tentang unggahan foto Kepsek SMA N 2 Aimas mengakibatkan puluhan siswa SMA N 2
Aimas menanggapinya dan menyambut tantangan itu. Puluhan siswa SMA N 2 Aimas yang
tidak terima karena foto Kepseknya diunggah disertai tantangan tawuran kemudian
menghubungi puluhan siswa SMA YPK Bethel Aimas untuk membantu melakukan
tawuran.
Revolusi Mental untuk Ketahanan
Keluarga
Dua contoh
kejadian nyata yang timbul karena status
di sosial media di atas secara tidak langsung telah memberikan dampak buruk
terhadap keluarga. Setidaknya, nama baik keluarga dipertaruhkan yang
menimbulkan terkucilnya keluarga pelaku di mata masyarakat. Akhirnya, hubungan
keluarga pelaku dengan masyarakat sekitar juga renggang. Bukan hanya itu, berakhirnya
pelaku ke jeruji penjara juga menghambat kelanjutan pendidikan. Padahal,
pendidikan yang baik di masa depan merupakan idaman keluarga.
Belajar banyak dari kasus kurang bijak penggunaan sosial
media, maka perlu adanya gerakan Revolusi Mental dalam Sosial Media. Kementrian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pun
melakukan Gerakan Nasional Revolusi Mental sesuai dengan Intruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2015). Perlu diketahui bahwa Revolusi Mental adalah gerakan
nasional untuk mengubah cara pandang, pola pikir, sikap-sikap, nilai-nilai dan
perilaku Bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari
dan berkepribadian. Revolusi Mental sering disebut Gerakan Hidup Baru Bangsa Indonesia. Dan, Revolusi Mental bertumpu
pada 3 nilai-nilai dasar yaitu: 1. Integritas, 2. Etos kerja dan 3. Gotong
royong.
Mengapa bangsa Indonesia perlu
Revolusi Mental?
Salah satu alasan Bangsa Indonesia membutuhkan Revolusi Mental adalah bangsa
Indonesia sudah terlalu lama praktek-praktek dalam berbangsa dan bernegara
dilakukuan dengan cara-cara tidak jujur, tidak memegang etika dan moral, tidak
bertanggung jawab, tidak dapat diandalkan dan tidak dipercaya. Dengan kata
lain, kita kehilangan nilai-nilai integritas. Dalam pemakaian media digital
khususnya social media pun demikian. Perlu adanya literasi media yang
memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang dampak positif dan negatif
tentang penggunaan media sosial. Semua elemen masyarakat dan stakeholders juga harus peduli tentang pemanfaatan
media digital.
Seminar
mengupas tentang pentingnya bijak bermedia sosial
yang dilakukan oleh Relawan Teknologi Informasi dan
Komunikasi/RTIK (Sumber: dokumen pribadi)
Betapa pentingnya Literasi Media agar pengguna gadget bijak dalam menggunakan sosial
media menjadi ampuh untuk membina ketahanan keluarga. Keluarga yang berkualitas
bagi bangsa seperti yang tertuang dalam UU No. 52 Tahun 2009 Pasal 48 ayat (1) yang
berbunyi, “Kebijakan pembangunan
keluarga melalui pembinaan
ketahanan dan kesejahteraan keluarga: a. Peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses
informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan,
pengasuhan dan perkembangan
anak; b. Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi,
pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga”.
Kita menyadari bahwa Ketahanan
Keluarga bisa diakibatkan dari tindak kejahatan yang ditimbulkan dari
pelanggaran dunia maya. Oleh sebab itu, sebagai tindakan “preventif”, maka
Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencegah kejahatan dunia maya
(Cyber Crime). Peraturan
perundang-undangan yang ada, seperti:
a.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
b.
UU
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
c.
UU
No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
d.
UU
No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
e.
UU
No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang;
f.
UU
No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme; dan
g.
UU No. 11 Tahun 2011 tentang ITE.
Ketahanan keluarga merupakan salah satu modal besar untuk
membangun bangsa karena generasi bangsa
yang berkualitas lahir di dalamnya. Menjaga ketahanan keluarga merupakan tugas
bersama. Di era digital yang berkembang pesat, pemahaman tentang Literasi Media
dalam wadah Revolusi Mental kepada generasi bangsa khususnya pengguna sosial
media merupakan sebuah keniscayaan. Ketika peribahasa “Jarimu Harimaumu”
sangatlah ampuh berdampak kepada ketahann keluarga, maka bijak dalam
menggunakan sosial media adalah cara terbaik untuk memberikan dampak positif bagi
masyarakat. Di mana, dampak positif tersebut mampu membangkitkan integritas,
etos kerja dan gotong royong. Oleh sebab itu, bijak dalam sosial media
merupakan implementasi kerja nyata
dari Revolusi Mental. Dirgahayu RI ke-72, Kerja Sama Membangun
Bangsa.
Referensi:
Buku “Panduan Umum Gerakan Nasional
Revolusi Mental” oleh Kementian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Kemenko PMK) tahun 2017.
Paparan
“Bermedia Sosial Secara Cerdas, Kreatif dan Produktif” oleh: Prof. Dr. Henry
Subiakto (Staf Ahli Menkominfo RI dan Guru Besar Komunikasi Universitas
Airlangga).
Paparan
“Kebijakan Penanggulangan Kejahatan di Dunia
Cyber” oleh Ismail Cawidu (Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) yang disampaikan dalam acara Sosialisasi Bijak Bermedia Sosial di Yogyakarta, 27 Mei 2016.
Note: Artikel ini juga bisa anda baca di Kompasiana.
2 comments for "Revolusi Mental, Sebuah Literasi untuk Pengguna Sosial Media "