Mampukah Memberi Akses Kerja Bagi Anak Tuna Grahita?
Bapak
Tofik Ardiyanto, pengajar SLB C Jalan Maruti
Denpasar (Sumber: dokumen pribadi)
“Mengajar dari hati
dan sabar akan membuat emosi menjadi hilang”.
Pernyataan yang
bisa menjadi renungan siapapun. Ya,
mengajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
seperti Tuna Grahita (IQ rendah) tidaklah
mudah. Namun, tidak bagi Bapak Tofik Andriyanto (41 tahun). Ramah dan murah
senyum saat saya menemuinya. Ia mengenakan pakaian adat Bali tepat hari Kamis
sesuai peraturan Gubernur Bali. Pria asli Solo Jawa Tengah dengan 1 anak perempuan
yang masih duduk di SD memberikan paparan tentang pola pendidikan anak Tuna Grahita.
Mendidik anak Tuna
Grahita hingga 18 tahun lamanya, dengan
keikhlasan dan kesabaran. Bahkan, 10 tahun “save the children”, mencoba
memberi akses kerja bagi anak Tuna Grahita
di Bali. Bekerja di SLB C yang beralamatkan di jalan Maruti Denpasar menjadi
tempat pengabdiannya.
Kepedulian
Gubernur Bali
SLB C Jalan Maruti
merupakan pindahan dari SLB C Kampung Jawa Denpasar. Mulai bulan April 2019
pindah ke jalan Maruti. Saat SLB masih berada di Kampung Jawa, sejak tahun 2003
ada wacana “dipindah” ke SLB daerah Jimbaran Badung. Pemindahan itu gagal.
Kemudian, mau dipindahkan ke SLB Tohpati tahun 2013, gagal lagi. Wacana tersebut membuat wali murid gelisah. Dampaknya,
banyak anak SLB yang putus sekolah dengan alasan jarak yang terlalu jauh.
Setelah berkunjung
ke SLB Kampung Jawa. Gubernur Bali Wayan Koster mengusulkan pindah ke Jalan
Maruti (eks RS. Indra). Ada 24 Rombongan Belajar (Rombel) atau kelas. Setiap
kelas secara ideal diisi dengan 5 orang anak. Namun, pada kenyataannya diisi
dengan 8-12 orang. Dengan alasan kekurangan tenaga pengajar atau pendidik. Sementara,
pengajar yang ada di SLB C Jalan Maruti berjumlah 14 orang. Jadi, masih
kekurangan tenaga pengajar.
Perlu diketahui
bahwa jumlah siswa SLB jalan Maruti adalah SD (93 orang, SMP (25 orang) dan SMA
(25 orang). SLB C Jalan Maruti menganut 5 hari kerja. Waktu belajar untuk SD
dimulai dari pukul 08.00 sampai 11.30 WITA. Siswa kelas SMP belajar dari pukul 08.00 sampai
13,30 WITA. Dan, siswa SMA belajar dari pukul 08.00 sampai 14.00 WITA. Sedangkan,
untuk pengajar mempunyai jam kerja dari pukul 08.00 sampai 15.30 WITA.
Tahun 2019, penerimaan
siswa baru atau SD SLB C Jalan Maruti mencapai rekor, yaitu sebanyak 50 siswa
Tuna Grahita yang mendaftar. Tentu, siswa Tuna Grahita yang diterima di SLB
Jalan Maruti berdasarkan IQ (Intelegence Quotient). Sebagai informasi,
SLB C terbagi menjadi 2, yaitu: SLB C dengan anak ber-IQ 50-70 dan SLB C1
dengan anak ber-IQ 20-50.
Rata-rata anak yang
masuk SLB C Jalan Maruti berumur 10-12 orang. Padahal, Bapak Tofik Andriyanto
berharap anak yang bersekolah di SLB C seharusnya “lebih awal lebih bagus”.
Menurut Tofik Andriyanto, banyak orang
tua yang menyembunyikan kondisi anaknya karena pengaruh psikologi. Bahkan,
tidak sedikit orang tua yang “merasa malu” untuk menyekolahkan anaknya ke SLB C
karena pengaruh sosial masyarakat. Padahal, apapun kondisi anak adalah amanat
Tuhan Yang Maha Esa. Harus ditangani seperti anak normal pada umumnya. Bahkan,
ABK sebagai “anak emas” yang membutuhkan penanganan khusus.
Tidak sedikit anak
yang sekolah di SLB C merupakan rekomendasi dari guru saat anak yang
bersangkutan sekolah di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau TK (Taman Kanak-Kanak).
Dan, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar anak bisa bersekolah di SLB C
adalah Akta Kelahiran, Kartu Keluarga dan Surat Rekomendasi atau hasil tes
psikologi dari Rumah Sakit.
Waktu pendidikan
yang ditempuh oleh anak SLB C tidak berbeda jauh dengan kelas normal atau reguler,
yaitu SD 6 TAHUN, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun.
Tetapi, kurikulum jelas berbeda. Bapak Tofik Andriyanto menyatakan bahwa “grade”
kurikulum sekolah normal diturunkan untuk sekolah SLB C. Sebagai contoh,
pelajaran yang seharusnya untuk kelas 1 sekolah normal diperuntukan untuk kelas
6 SLB C.
Kepedulian orang
tua siswa SLB C Jalan Maruti sangat tinggi. Mayoritas, mereka dengan setia
menunggu anaknya pulang sekolah. Meskipun, tempat tinggalnya begitu jauh
seperti Sibang (Badung), Darmasaba (Badung), Denpasar Utara, Denpasar Barat dan
lain-lain. Jika, sudah menginjak SMA SLB C, ada beberapa orang tua yang
memberikan kesempatan anaknya untuk pulang sendiri.
Akses
Dunia Kerja
Pelajaran-pelajaran
penting yang diberikan untuk anak SLB C adalah pelajaran Bina Diri atau
kemandirian. Anak-anak SLB C diharapkan bisa meningkatkan kemandirian seperti terbiasa
makan, gosok gigi sendiri dan lain-lain. Fokus atau target pengajar untuk
anak-anak SLB C dengan penyandang Tuna Grahita adalah mampu membaca tulis dan
mengenal angka-angka. Serta, bisa meningkatkan ketrampilan atau olahraga.
Bidang seni, anak
SLB C Jalan Maruti mendapatkan akses di depan publik. Perlu diketahui bahwa
salah satu pengajar yang bernama Bapak
Gusti Nyoman Munang dipercaya untuk meningkatkan ketrampilan anak SLB C. Anak
SLB C dipercaya untuk tampil “megamel” atau menabuh gamelan Bali di acara
pembukaan Festval Kesenian Bali (FKB) Bali khusus disabilitas. Acara berlangsung tanggal 4-6 Oktober 2019 di Art
Center Denpasar Bali.
Bapak Gusti Nyoman Munang, pengajar
“megamel”
anak SLB C Jalan Maruti (Sumber: dokumen pribadi)
Karena, kempampuan
IQ setiap anak SLB C berbeda-beda maka menurut Bapak Tofik Andriayanto, ada
anak yang sudah lulus SMA SLB C yang belum mampu baca tulis. Namun, mereka bisa
mandiri.
Tipe anak Tuna
Grahita adalah mudah jenuh. Dengan kata lain, orang normal jika memberikan tugas
harus “follow up” sampai selesai. Sebagai contoh, anda memberikan perintah anak
SLB C untuk mengambilkan sesuatu maka biarkan mereka bisa melakukannya hingga
tuntas. Jika, mereka ditambah dengan perintah lain maka perintah yang lama “otomatis”
akan terlupakan.
Itulah
sebabnya, akses anak Tuna Grahita lulusan SLB C ke dunia kerja belum banyak dibutuhkan.
Contohnya, Ari dan Rudi hanya menjadi tenaga kebersihan di lingkungan SLB C Jalan
Maruti. Bersyukur, ada keberhasilan SLB C Jalan Maruti menjadi tenaga Cleaning Service di restoran siap saji
MCD Jalan Kebo Iwa Denpasar. Dan, satu orang menjadi tenaga kebersihan di lingkungan
Pemerintah Provinsi Bali yaitu SLB Badung.
Di akhir pertemuan,
Bapak Tofik Andriyanto berpesan kepada masyarakat yang mempunyai anak ABK agar
tidak perlu malu-malu untuk menyekolahkan ke SLB C. Bagi masyarakat luas agar lebih
memahami bahwa penanganan anak ABK membutuhkan penanganan khusus. Sedangkan, pesan
buat Pemerintah agar menambah tenaga pengajar atau pendidik. Apalagi, ada
wacana dari pemerintah bahwa semua SLB Ketunaan akan digabung menjadi satu
(terpadu). Sebuah harapan yang mesti diwujudkan.
1 comment for "Mampukah Memberi Akses Kerja Bagi Anak Tuna Grahita? "