Ekowisata Subak Sembung, Menjaga Budaya dan Alam Melalui Tri Hita Karana
Kampung Berseri
Astra Ekowisata Subak Sembung yang terletak di Kelurahan Peguyangan Kecamatan
Denpasar Utara Kota Denpasar - Bali (Sumber: dokumen pribadi)
Langit
Kota Denpasar berubah drastis dari terang ke temaram. Mendung mencoba
menggelayut setia mengikuti di atas kepala saya. Untungnya, kondisi tersebut
membuat adem perjalanan dengan roda dua sejauh 8 km. Saya pun telah
mempersiapkan diri jas hujan. Jika, sewaktu-waktu air terjun turun dari langit.
Faktanya, saya sungguh beruntung. Hingga di lokasi yang dituju yaitu Kampung Berseri Astra Ekowisata Subak Sembung, hujan masih berbaik hati.
Sepertinya, Tuhan meridhoi apa yang akan saya lakukan di sore hari itu.
Budaya dan Alam
Pucuk
dicinta ulam pun tiba. Kedatangan saya di
Kampung Berseri Astra Ekowisata Subak Sembung disambut dengan ritual ngaben
(kremasi adat Bali). Ratusan pelayat dengan memakai pakaian adat Bali memenuhi
hampir kawasan setra (makam) tempat jenazah akan dikremasi. Sebagai
informasi, setra tersebut berada persis di depan pintu masuk kawasan
Ekowisata Subak Sembung. Ekowisata Subak
Sembung sendiri berada di Kelurahan Peguyangan Kecamatan Denpasar Utara Kota
Denpasar - Bali.
Pintu masuk
Ekowisata Subak Sembung (Sumber: dokumen pribadi)
Menyusuri
jalan setapak yang sudah dipaving serasa memberikan pengalaman baru.
Berjalan dengan ditemani aliran air sungai yang konsiten di sebelah kirinya.
Serta, pemandangan alam berupa lansekap lahan pertanian di kiri dan kanan
merupakan pengalaman pertama di Kota Denpasar.
Kesan
pertama yang dapat saya peroleh adalah sehat. Kenyamanan kondisi Ekowisata
Subak Sembung untuk melakukan aktifitas olahraga. Apalagi, bertahannya lahan terbuka
hijau yang berada di Subak Sembung membuat udara tetap bersih. Kondisi inilah
yang membuat masyarakat memanfaatkan Subak Sembung menjadi Jogging Track (jalur
untuk lari) baik pagi maupun sore.
Bukan hanya sehat yang diperoleh, tetapi
pemandangan alam membuat banyak inspirasi. Banyak pengunjung yang melakukan
aksi selfie atau wefie di lokasi tersebut. Jujur, suasana di
sekitarnya benar-benar mendukung dan instagrammable.
Bukan hanya itu, keberadaan Ekowisata Subak Sembung bisa menjadi pendidikan
(edukasi) bagi pengunjung. Bahwa, kelestarian budaya dan alam sesuai dengan
konsep Tri Hita Karana harus terjaga kelestariannya.
Ekowisata Subak
Sembung menjadi tempat yang asik untuk Jogging Track dan aksi selfie
atau wefie (Sumber: dokumen pribadi)
Menikmati
pesona Ekowisata Subak Sembung terasa ada yang kurang. Ya, tanpa
informasi mendalam dari pihak yang berkompeten. Bapak Wayan Suwirya Dinata
selaku pengelola Ekowisata Subak Sembung dan Bapak Made Darayasa selaku Pekaseh
(pengelola) Subak Sembung. Jujur, tidak mudah untuk mendapatkan informasi
mendalam dari kedua narasumber tersebut.
Menikmati aliran
sungai yang tetap deras dan pemandangan alam yang memberikan banyak inspirasi (Sumber: dokumen
pribadi)
Duet Inspirasi
Selama
menapaki jalan setapak dan menikmati pesona alam di sekitar Ekowisata Subak
Sembung, saya bertanya dengan orang-orang yang saya temui. Beberapa orang
memberi saran agar saya menemuinya di rumah. Timbul dalam pikiran saya bahwa
kedua sosok tersebut tidak mungkin bergelut dengan lahan pertanian.
Namun,
kenyataan merubah 360 derajat. Setelah bertanya dengan 4 orang laki-laki yang
sedang menikmati kudapan di pinggir jalan setapak, saya harus disarankan untuk menemui
Bapak Made Darayasa yang sedang asik mengurus tanaman cabenya. Sebelumnya, saya
harus menuruni jalan setapak menurun, berbelok ke kanan, kemudian berbelok
kiri. Jarak yang saya tempuh kurang lebih 300 meter.
Saya
menyapa Bapak Made Darayasa ketika sedang asik “bermain cantik” dengan tanaman
cabenya. Kedatangan saya menggangu waktu bermainnya. Namun, maksud baik saya
mendapatkan penerimaan yang sangat ramah. Bahkan, membuat kami berdua bak teman
yang lama baru bertemu. Bapak Made Darayasa memberikan rekomendasi untuk
mendapatkan informasi tentang Ekowisata Subak Sembung kepada pengelola, Bapak
Wayan Suwirya Dinata. Yang lebih mengagetkan lagi bahwa yang bersangkutan
sedang berada di kebunnya yang jaraknya kurang lebih 75 meter. Dan, orang yang
kami tuju sedang asik memanen bayam di kebun miliknya.
Kami
bertiga duduk santai di sebuah gubuk sawah. Gubuk sederhana yang di belakangnya
berdiri tegak kincir angin. Yang setiap saat berbunyi bak suara traktor saat
membajak sawah, begitu konsisten dan indah. Tidak sungkan-sungkan, kami
bertiga duduk berjejer di gubuk itu yang terbuat dari kayu. Sambil menikmati indahnya
bentangan sawah dengan aneka rupa tanaman.
Saya duduk diapit
oleh 2 narasumber, sebelah kiri (pakai kaos berwarna biru dan kuning) Bapak
Wayan Suwirya Dinata selaku pengelola Ekowisata Subak Sembung. Dan, sebelah
kanan adalah Pekaseh (pengelola) Subak Sembung (Sumber: dokumen pribadi)
Dari
gubuk sederhana itu, banyak hal menarik tentang keberadaan Ekowisata Subak
Sembung. Ternyata, Ekowisata Subak
Sembung dirangkul oleh Astra sekitar tahun 2014 atau sejak berdirinya ekowisata
tersebut. Berdasarkan konsep pengembangan yang mengintegrasikan 4 pilar program
yaitu Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan & Kewirausahaan, maka Astra
tertarik untuk menggandeng Ekowisata Subak Sembung tersebut.
Namun, hal terpenting yang harus dipahami adalah
filosofi Tri Hita Karana. Sesuai dengan ajaran agama Hindu bahwa Tri
Hita Karana mengharuskan adanya keseimbangan hubungan, yaitu 1) Manusia
dengan Manusia; 2) Manusia dengan Alam; dan 3) Manusia dengan Tuhan (Sanghyang
Widi Wasa), Tuhan Yang Maha Esa. Ekowisata Subak Sembung diharapkan bisa
menjaga budaya dan alam sesuai dengan filosofi Tri Hita Karana tersebut.
Perlu diketahui bahwa setiap subak di Bali terdapat Balai Subak. Tempat
yang berfungsi untuk bermusyawarah dan mengambil kebijakan untuk eksistensi
subak. Hubungan Manusia dan Manusia menjadi modal besar untuk menjaga budaya
dan alam. Dan, di samping balai Subak Sembung terdapat pura. Hal ini memberikan
bukti bahwa salah satu dari filosofi Tri Hita Karana, yaitu hubungan
Manusia dan Tuhan tetap terjaga. Bahkan, di beberapa titik jalan setapak yang
saya lalui, saya melihat beberapa pelinggih (tempat persembahyangan)
agama Hindu.
Balai subak dan pelinggih
di Ekowisata Subak Sembung (Sumber: dokumen pribadi)
Dalam hal Pendidikan, Bapak Suwirya Dinata
berharap besar agar anak-anak dari petani yang berada di kawasan Subak Sembung
bisa mendapatkan beasiswa Pendidikan dari Astra. Usulan tersebut pernah diutarakan
dari pengurus Subak Sembung sekitar bulan November 2019 lalu. Yang menarik,
dari pihak Astra merespon bahwa usulan
tersebut merupakan usulan yang bagus dan akan ditindaklanjuti.
Juga, Ekowisata Subak Sembung memberikan kesadaran
kita untuk hidup bersih. Perintah untuk membuang sampah pada tempatnya demi
lingkungan yang bersih dan asri terus digelorakan. Di sepanjang jalan setapak
telah disediakan tong sampah.
Menjaga kebersihan
adalah mutlak (Sumber: dokumen pribadi)
Itulah sebabnya, ada beberapa larangan agar terjaga
keseimbangan alam yang ada di Kawasan Ekowisata Subak Sembung, seperti:
1. Membawa sepeda motor ke
areal Subak Sembung, kecuali petani Subak Sembung.
2. Membawa binatang piaraan
ke areal Subak Sembung.
3. Berburu/menembak satwa
di areal Subak Sembung.
4. Meracuni/menyetrum ikan
sepanjang aliran sungai Subak Sembung.
5. Membuang sampah di areal
Subak Sembung.
Larangan yang ada
di Ekowisata Subak Sembung (Sumber: dokumen pribadi)
Menurut pak Suwirya Dinata, keberadaan Ekowisata Subak Sembung mempunyai
nilai penting seperti 1) pusat resapan air terbesar di Kota Denpasar; 2)
sebagai penghijauan; dan 3) belajar mengenal lingkungan dari TK sampai
Mahasiswa. Lingkungan tetap hijau merupakan harapan bersama.
Begitu pentingnya Ekowisata Subak Sembung, Pemerintah Kota Denpasar sangat
antusias merespon keberadaan Subak Sembung. Banyak bantuan yang telah diberikan
untuk membuat Subak Sembung. Agar tetap menjadi ekowisata yang menjaga budaya
dan alam melalui filosofi Tri Hita Karana. Bantuan yang diberikan untuk
memberdayakan Subak Sembung seperti: pembuatan jalan atau paving,
pemberian bibit gratis, pupuk gratis, dan lain-lain.
Jalan setapak yang
telah dipaving (Sumber: dokumen pribadi)
Bapak Wayan Suwirya Dinata berharap besar kepada Pemerintah Kota
Denpasar agar keberadaan Ekowisata Subak Sembung tetap dilestarikan dengan
baik. Kondisi jalan Subak Sembung yang mengalami kerusakan karena usia dan alam
diharapkan bisa diperbaiki kembali. Juga, hal yang penting lain yang
mendapatkan perhatian serius adalah masalah sampah kiriman yang berasal dari kawasan
hulu.
Sampah kiriman tersebut bisa merusak kondisi Ekowisata Subak Sembung
yang selalu konsisten menjaga budaya dan alam. Pihak Ekowisata Subak Sembung
sendiri sudah beberapa kali mensosialisasikan masalah sampah kiriman. Tentu, hal
ini perlu sosialisasi berkelanjutan yang melibatkan semua pihak. Di antaranya,
pihak Pemerintah Kota Denpasar, Pemerintah Daerah lain, pihak banjar baik di
Kawasan Subak Sembung maupun kawasan hulu, pekraman (warga) baik di Kawasan
Subak Sembung dan Kawasan hulu dan pihak lain yang terkait. Salah satu jalan
yang bisa dilakukan adalah pihak kelurahan memberdayakan swakelola sampah.
Bapak Made Darayasa selaku Pekaseh (pengurus) Subak Sembung sejak
bulan Mei 2019. Pekaseh menyatakan bahwa keberadaan Subak Sembung mampu
mempertahankan jiwa gotong royong. Petani sebagai anggota dari Subak Sembung
bersama-sama menjaga kuantitas air demi keseimbangan alam. Dengan tujuan agar
bisa memberdayakan lahan pertanian. Dengan kata lain, tanaman bisa tumbuh subur
tanpa kekurangan air. Serta, hasil panen yang melimpah ruah.
Dengan luasan Subak Sembung 102 hektar dan anggota Subak lebih dari 200
petani mampu menciptakan jiwa wirausaha. Tentu, hal yang utama adalah menjaga
kondisi lahan pertanian. Mayoritas, petani di kawasan Subak Sembung mengolah lahan
pertanian dengan berbagai tanaman atau sayuran seperti bawang merah, cabe, kangkung,
nanas, bayam dan lain-lain.
Tentu, dengan hasil panen yang melimpah dan menguntungkan, mereka akan
terus memberdayakan lahan pertanian. Lagi, membuat beberapa terpal untuk
beternak lele dan pelihara bebek menjadi pilihan yang terbaik. Di sisi lain, banyak petani yang
membuka warung untuk keperluan masyarakat atau pengunjung Ekowisata Subak
Sembung.
Harapan
Baik
Perlu
diketahui bahwa Kota Denpasar mempunyai 41 subak, 9 di antaranya
berada di Denpasar Utara. Luasan subak
652 hektar pada tahun 2018, tetapi pada tahun 2019
menyusut sebesar 74,29 hektar menjadi 577,71 hektar. Info menarik ini saya peroleh juga dari Pekaseh yang prihatin
dengan kondisi Ekowisata Subak Sembung.
Subak
Sembung sendiri merupakan subak terluas di Denpasar Utara. Menurut Pekaseh, luasan Subak Sembung mengalami
penyusutan, dari 115 hektar akhir tahun 2014 menjadi 102 hektar pada akhir tahun
2019. Dengan demikian, selama 5 tahun Subak Sembung berkurang 13 hektar. Jika
dirata-ratakan, maka per tahun berkurang 2,6 hektar. Andaikata,
digunakan untuk membangun rumah ukuran tipe 60, maka telah terjadi alih fungsi
lahan pertanian menjadi kurang lebih 433 rumah per tahunnya. Atau, setiap bulan
muncul kekira 22 rumah yang telah merubah alih fungsi lahan.
Menurut Pekaseh, berubahnya alih fungsi lahan dari lahan
pertanian menjadi kawasan perumahan berpotensi besar mengecilnya luasan Subak
Sembung. Benar apa yang dikatakan oleh Kepala Dinas Pertanian Kota Denpasar
Bapak I Gede Ambara Putra. Seperti
yang dilansir oleh salah satu media online Bali.
"Hasil digitasi dan survei lapangan lahan pertanian (sawah)
yang akurat dilakukan oleh tim di empat wilayah kecamatan Kota Denpasar mencapai
1.939,4 hektar. Menyusutnya lahan pertanian dari
tahun 2018 luasnya 2.170 hektar menjadi 1.939,4 hektar disebabkan alih fungsi
lahan pertanian di
Kota Denpasar tak
terbendung” (Kepala Distan Kota Denpasar, I Gede Ambara Putra)
Bapak Wayan Suwirya Dinata dan Bapak Made Darayasa berharap besar ada Peraturan
Daerah (Perda) yang benar-benar jelas dan tegas terhadap eksistensi subak.
Dengan kata lain, peraturan tersebut secara transparan menjelaskan tentang
lahan-lahan yang termasuk kawasan hijau dan kawasan yang bisa dibangun menjadi kawasan
perumahan.
Bahkan, menurut Pak Wayan Suwirya Dinata, untuk menjaga eksistensi Subak
Sembung, maka bagi penduduk asli bisa membuat bangunan di kawasan Subak Sembung
tanpa mengubah alih fungsi lahan. Tetapi, larangan membuat bangunan ditujukan
bagi pendatang atau pembeli lahan yang hendak membangun di kawasan Subak
Sembung.
Selama menyusuri jalanan setapak Ekowisata Subak Sembung, maka faktor air
adalah penting untuk menjaga budaya dan alam. Kuantitas air yang berkecukupan
menjadi berkah bagi Ekowisata Subak Sembung. Sumber mata air yang berasal dari
Blumbungan, Tanah Putih, Mambal Badung mampu memberdayakan petani melalui
manfaat lahan pertanian khususnya bagi masyarakat Kelurahan Peguyangan.
Sesuai dengan
harapan Astra bahwa perlunya kolaborasi masyarakat dan perusahaan untuk
mewujudkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas dan produktif, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat di wilayah Kampung Berseri Astra.
Kampung Berseri Astra Ekowisata Subak Sembung mampu mewujudkan harapan besar
tersebut.
Harapan besar
Astra yang mampu diwujudkan Ekowisata Subak Sembung (Sumber: dokumen pribadi)
Kebersamaan dengan dua narasumber yang masih merasa orang baru dalam mengelola
Ekowisata Subak Sembung harus berakhir. Sosok Pak Wayan
Suwirya Dinata dan Bapak Made Darayasa sungguh menjadi pelajaran berharga.
Menjelang saya pamit, mereka berharap
besar agar pihak Astra bisa membantu apa yang dibutuhkan untuk ketahanan Ekowisata
Subak Sembung.
Juga, perlunya koordinasi yang baik jika ingin melakukan program apapun untuk Ekowisata Subak Sembung. Dukungan material jika dibutuhkan untuk perbaikan fasilitas Subak Sembung sangatlah diharapkan. Karena, kerjasama itu meski terjalin terus baik sekarang dan nanti.
Juga, perlunya koordinasi yang baik jika ingin melakukan program apapun untuk Ekowisata Subak Sembung. Dukungan material jika dibutuhkan untuk perbaikan fasilitas Subak Sembung sangatlah diharapkan. Karena, kerjasama itu meski terjalin terus baik sekarang dan nanti.
2 comments for "Ekowisata Subak Sembung, Menjaga Budaya dan Alam Melalui Tri Hita Karana"