Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puasa Mudik Karena COVID-19

Puasa Mudik karena pandemi COVID-19 (Sumber : dokumen pribadi)





          Siapa yang tidak mau mudik, khususnya mudik Lebaran? Setiap orang punya hak untuk mudik. Mampu merangkai kenangan indah di kampung halaman. Bertemu dan mempererat silaturahmi dengan keluarga besar. Memohon doa terbaik dari orang tua yang telah membesarkan kita semenjak kecil. Namun, saat pandemi Virus Korona atau COVID-19, maka mudik menjadi sebuah anjuran yang dihindari. Bahkan, dilarang untuk dilakukan alias puasa mudik. Bukan, karena melarang setiap orang untuk pulang ke kampung halamannya. Namun, demi kebaikan bersama, yaitu menghindari penyebaran dan perkembangan virus yang mematikan, Virus Korona. 


Mudik Lebih Awal

         Menjelang perayaan Hari Raya Nyepi di Bali tanggal 25 Maret 2020 lalu, keluarga besar saya di Ngawi Jawa Timur menelepon istri saya. Mereka menanyakan kabar kami, karena kondisi di Bali. Pembicaraan yang semula santai mulai makin serius, setelah melebar ke masalah pandemi Viirus Korona. Saya berniat bahwa tahun 2020 tidak mungkin (bahkan tidak bisa) mudik dengan alasan mencegah penyebaran Virus Korona. 

     Saya memahami bahwa penyebaran Virus Korona yang tak kasat mata sangat berpotensi menyebar. Ada dua kemungkinan, saya yang terpapar dari keluarga besar saya di Ngawi atau saya yang menularkan ke keluarga besar saya tersebut. Untuk berjaga-jaga, maka kami memutuskan untuk tidak mudik Lebaran sebelum masalah Virus Korona ini mereda. Apalagi, saya masih mencari tempat perguruan tinggi yang cocok untuk anak saya tahun ini.

       Sebelum kami mengutarakan untuk tidak pulang kampung halaman, keluarga besar saya justru lebih awal menyarankan agar kami tidak usah pulang kampung. Karena, sangat riskan terjadi virus Korona. "Wis, rasah mulih neh. Pokok'e tahun iki gak ono mudik-mudikan. Sing penting bareng-bareng sehat. Rasah dipikir mulih!" (Sudah, tidak usah pulang lagi. Pokoknya tahun ini tidak ada acara mudik. Yang penting sama-sama sehat. Tidak usah berpikir untuk pulang), kalimat yang melegakan dari keluarga saya. 

       Karena, mereka rela tidak bertemu Lebaran nanti demi kesehatan bersama. Padahal, awal tahun 2020, saya sudah mantap untuk pulang kampung ke Ngawi Jawa Timur. Sekalian pulang kampung ke orang tua saya di Brebes Jawa Tengah. Manusia memang pintar membuat rencana, namun Allah SWT Yang Maha Perencana.

       Apa yang saya alami ternyata berbeda jauh dengan apa yang dialami para perantau di Jakarta. Ketika pandemi Virus Korona makin meningkat. Dan, berbagai usaha Pemerintah menganjurkan agar masyarakat melakukan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Bahkan, beberapa daerah melakukan Lockdown secara pribadi. Dengan kata lain, untuk mencegah penyebaran Virus Korona, beberapa daerah melakukan Karantina Wilayah. Penyemprotan Disinfektan di berbagai tempat digencarkan. Masyarakat dilarang mendekati kerumunan massal. Bahkan, pemerintah melarang untuk melakukan perpindahan atau migrasi seperti mudik. Hal ini bertujuan demi kebaikan bersama, yaitu mencegah penyebaran virus Korona lebih massif. Kenyataannya, para perantau justru nekad untuk pulang kampung. 

        Kondisi perkantoran dan pusat perdagangan di Ibukota Jakarta sepi. Apalagi, saya yang berada di Bali. Terbiasa menikmati ratusan bus pariwisata besar hilir mudik di jalanan.  Kini, bagai menjelang Hari Raya Nyepi. Semua destinasi wisata bagai museum yang tak terjamah pengunjung. Kita semua paham bahwa kondisi tersebut berdampak besar terhadap kemerosotan ekonomi.  

       Masyarakat dianjurkan untuk Work From Home (WFH), Stay At Home (SAH), Belajar di rumah dan beribadah di rumah. Hal ini bertujuan agar pasien yang positif terpapar Virus Korona tidak bertambah lagi. Namun, laporan dari gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 yang selalu update, sepertinya tidak diindahkan oleh para perantau, khsusunya perantau di Jakarta. 

     Larangan Pemerintah untuk melakukan perpindahan atau migrasi melalui aktifitas mudik ke kampung halaman ternyata dilanggar. Ribuan perantau dari Jakarta melakukan Ritual Mudik Dini ke kampung halamannya di Wonogiri Jawa Tengah. Mereka "mungkin" berpikir bahwa daripada tidak bisa bekerja di ibukota selama darurat Virus Korona, lebih baik pulang ke kampung halaman. Kebutuhan hidup dirasa lebih murah, bisa bertemu dengan keluiarga besar lebih awal dan lama. Serta, biaya mudik yang lebih murah (tidak kena tuslah). 

       Tetapi, gelombang mudik lebih awal tersebut sangatlah berisiko. Bahwa, kedatangan mereka yang berkerumun selama puluhan jam di dalam bus sangat rentan terpapar virus Korona antar penumpang. Belum lagi, kondisi mereka yang lelah justru akan semakin rentan tertular virus  Korona saat di kampung halamannya. Itulah sebabnya, kedatangan ribuan pemudik yang tidak mampu melakukan Puasa Mudik harus melewati rangkaian screening dari Pemerintah Daerah setempat. Dari cek suhu, semprotan disinfektan hingga isolasi mandiri selama 14 hari. 

      Dari berbagai rangkaian screening Pemerintah Daerah Wonogiri, maka mendapatkan satu orang yang positif Virus Korona. Yaitu, seorang supir bus yang pernah mengantarkan penumpang ke Bogor Jawa Barat. Dengan demikian, tentu semua penumnpang yang pernah dibawa dia akan dilakukan penanganann secara ketat. Bahkan, dilakukan rangkaian pelacakan, siapa saja yang pernah berinteraksi dengan dia. 

Puasa Mudik

      Kejadian positifnya Virus Korona pada rangkaian mudik menjadi pelajaran berharga bagi siapapun. Bahwa, aktifitas perpindahan antar kota, antar provinsi, serta antar negara mempunyai potensi menyebarnya virus Korona. Itulah sebabnya, Pemerintah menganjurkan bahwa masyarakat dianjurkan untuk melakukan PHBS. Dari berita di media TV, konferensi pers gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 yang diutarakan oleh Juru Bicaranya Achmad Yurianto memberikan informasi baru. Beliau menyatakan bahwa kebiasaan cuci tangan dengan sabun sangat baik untuk mencegah menyebarnya Virus Korona. Karena, dari tangan membuat setiap orang akan menyentuh mulut, hidung dan mata. Namun, dengan mencuci tangan dengan air yang mengalir dan sabun akan mencegah terpaparnya Virus Korona.

       Silahkan anda bayangkan? Dengan naik bus yang berkapasitas kurang lebih 50 orang. Daya tahan tubuh setiap penumpang yang berasal dari kawasan zona merah seperti Jakarta berbeda-beda. Perjalanan berjam-jam yang melelahkan tersebut sangat berpotensi Virus Korona akan saling terpapar satu dengan yang lainnya. Anda tidak akan tahu, penumpang mana yang telah terpapar Virus Korona. Apalagi, banyak artis yang positif Virus Korona, tetapi tidak menunjukan gejala-gejala. Sebuah fakta yang sangat mengejutkan agar masyarakat jangan sekali-kali merasa "kebal" atau "menyepelekan" Virus Korona. 

        Saya sendiri merasakan apa yang dirasakan para perantau yang pulang ke Wonogiri. Tidak ada pekerjaan, sementara persediaan materi yang ada "mungkin" makin menipis. Dari pada susah di perantauan, lebih baik pulang ke kampung halaman. Namun, mereka sungguh "tidak" tahu dampak besar apa yang akan terjadi. Bahwa, penyebaran Virus Korona sungguh luar biasa. Perpindahan tempat akan semakin memperluas penyebaran Virus Korona. Dengan demikian, akan semakin bertambahnya ODP, PDP dan pasien positif Virus Korona. 

       Sungguh, seandainya para perantau tersebut mematuhi anjuran Pemerintah untuk tidak mudik lebih awal. Maka, setidaknya tidak akan bertambah orang yang terpapar Virus Korona. Namun, mereka lebih mementingkan mudik daripada dampak Virus Korona. Mereka tidak kuat untuk Puasa Mudik. 

       Tentu, dari sisi ekonomi, kita tidak boleh menyalahkan mereka. 'Mungkin" mereka tidak merasakan jaminan hidup atau tidak betah untuk berdiam diri selama mereka tinggal di rumah. Hal inilah yang membutuhkan kerjasama semua kalangan masyarakat. Jadi, selama mereka tinggal di rumah, mereka tetap enjoy karena kebutuhan tetap ada. 


1 comment for "Puasa Mudik Karena COVID-19"

DWI RATNAWATI March 29, 2020 at 5:37 AM Delete Comment
saat ini memang tak perlu memikirkan mudik. yang penting menjaga kesehatan bersama dari penyebaran virus korona.