Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Modal Melamar Pekerjaan, Skill atau Gelar Akademik?


Melamar Pekerjaan (Sumber: qerja.com) 

 

 

Pandemi Virus Corona telah membuat banyak perusahaan tutup. Tidak sedikit karyawan yang dirumahkan. Ada yang dengan alasan menunggu kondisi reda akan direkrut kembali. Atau, secara terang-terangan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 

Apa yang akan dilakukan banyak orang setelah mengalami kondisi “dirumahkan”? Ada yang pasrah karena nasib. Mereka bisa berusaha seadanya, terpenting untuk menyambung hidup. Ada yang melakukan aktivitas untuk memulai wirausaha. Meskipun, dengan modal dan keahlian pas-pasan. Bahkan, ada yang bersemangat untuk mencari atau melamar pekerjaan baru.

 

Ditolak Saat Melamar Pekerjaan

 

Lantas, apa yang menjadi modal untuk melamar pekerjaan? Apakah harus skill atau gelar akademik. Tentu, setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda. Baik, sebelum melangkah lebih jauh, saya akan membagikan 2 ilustrasi nyata. Tentang pengalaman, ketika saya melamar pekerjaan, kekira tahun 2011 lalu. 

Ilustrasi Pertama. 

Sebelumnya, meski belum lulus sarjana, saya pernah bekerja sebagai kepala cabang dalam Retail Division perusahaan distribusi. Pekerjaan itu saya lakoni kurang lebih 10 tahun. 

Setelah mempunyai bekal keahlian dan materi yang cukup. Saya berusaha untuk memulai usaha sendiri. Namun, ternyata usaha saya mengalami masalah. Saya pernah menulis masalah usaha saya pada artikel-artikel sebelumnya. 

Kejatuhan usaha tersebut, memaksa saya untuk melamar pekerjaan. Dengan niat, untuk mencari atau mengumpulkan modal dulu. Beberapa perusahaan ternama pernah saya datangi. Dan, yang menarik adalah lowongan pekerjaan sebagai Kepala Cabang salah satu distributor sebuah provider terkenal yang ada di Bali. 

Wawancara berlangsung santai dan agak lama. Karena, posisi yang ditawarkan tentu mempunyai tanggung jawab yang besar. Saya diwawancarai seorang bapak, yang menurut saya masih berumur 40-an. Saya menjawab semua pertanyaan dia dengan tegas dan santai. Dan, saya pikir dia terpesona atas pengalaman kerja saya. 

Sebelum detik-detik saya diterima, yang biasanya diikuti dengan salaman. Sang pewawancara tersebut minta ijin keluar sebentar. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Sang Bapak tersebut, ternyata masuk ruang wawancara kembali, dengan didampingi seorang ibu cantik. 

Sungguh, saya tidak tahu siapa dia. Tapi, dari gaya komunikasi mereka seperti “suami-istri”. Kemudian, Sang Bapak mewawancarai saya kembali. Sang Ibu berdiri persis di samping sang bapak. Sepertinya, untuk meyakinkan sang ibu bahwa sayalah kandidat yang tepat. 

Saya terdiam kekira 10 menit. Sementara, mereka berdua mengobrol dalam bahasa Bali. Mereka pikir, pasti saya tidak memahami apa yang mereka katakan. Mereka berdiri saling berhadapan sambil bersandar di dinding. 

Sambil “nguping”, saya cermati percakapan mereka. Sebenarnya, Sang Bapak tersebut tertarik meluluskan, karena pengalaman saya. Tetapi, sepertinya sang Ibu meragukan saya. Dikarenakan, saya belum berijazah sarjana. Sebagai informasi, saat saya melamar pekerjaan ini, saya masih kuliah semester III di Universitas Terbuka (UT) Bali. 

Keputusan terakhir, mereka berdua memberikan informasi yang mengagetkan saya. Bahwa, saya belum bisa diterima. Tetapi, sang Bapak dengan nada agak kikuk meminta maaf. Bahwa, keputusan mereka belum bisa menerima saya. Saya pun menerima dengan lapang dada. Karena, itu adalah hak mereka. 

Ilustrasi Kedua 

Sebenarnya, ilustrasi kedua hampir sama dengan ilustrasi di atas. Kasus kedua adalah melamar pekerjaan sebagai kepala cabang sebuah perusahan ternama di Bali. Bahkan, saya harus 3 kali melewati wawancara yang melelahkan setelah menunggu kurang lebih setengah bulan. 

Wawancara terakhir dengan “Big Boss” yang mempunyai jaringan perusahaan besar di Bali. Seperti ilustrasi di atas, “Big Boss” ini terang-terangan meragukan pengalaman kerja saya. Mungkin, dengan maksud untuk membuat saya down. Sejauh mana nyali saya. Uniknya, semakin digedor nyali saya, semakin enjoy untuk menjawab pertanyaannya. 

Dia meyakinkan saya, apakah mampu untuk menghandle usaha rental ratusan mobil. Di akhir wawancara, keputusan terjadi “floating decision” atau keputusan mengambang.

 

“Nanti, kalau perusahaan ini benar-benar membutuhkan keahlian anda, maka saya akan menginformasi anda kembali. Terima kasih atas kedatangannya”

 

Itulah sekilas kalimat yang keluar, sebelum saya meninggalkan ruang wawancara. Saya pun tidak berharap besar tentang “angin Surga” tersebut. Anggap saja, saya ditolak. Dan, saya pun melamar kerja kembali sebagai Marketing Manager sebuah perusahaan kontraktor. Akhirnya, saya benar-benar diterima. 

Uniknya, setelah saya bekerja di perusahaan kontraktor tersebut, undangan kerja dari ilustrasi kedua justru datang tiba-tiba. Saya diterima dan disuruh untuk hadir ke kantornya. Ibarat “Nasi Sudah Menjadi Bubur”. Dengan tegas jabatan sebagai Kepala Cabang tersebut saya tolak.    

Dari dua ilustrasi di atas, jelas banget bahwa penolakan saya dalam melamar pekerjaan, karena gelar akademik yang tidak mendukung. Pewawancara menjadi ragu atas keahlian saya. Itu hak mereka, karena setiap perusahaan mempunyai Standar Operational Procedure (SOP) masing-masing dalam mencari kandidat yang cocok.

 

Skill Plus Gelar Akademik

 

Lantas, apakah orang yang mempunyai segudang pengalaman, tetapi gelar akademiknya kecil akan tersisih? Tidak juga. Sekali lagi saya katakan bahwa tergantung diri kita dan perusahaan yang membutuhkan. 

Memang, tidak dipungkiri, banyak lulusan sarjana yang melamar pekerjaan, berbeda dengan jurusan sewaktu kuliah. Tidak sedikit kok, yang kerja di bank tetapi lulusan insinyur. Atau, kerja di perusahan teknik tetapi lulusan sarjana ekonomi. 

Menurut saya Love What You Do, lakukan apa yang anda cintai atau sukai. Sebaiknya, jika anda ingin berkarir di Level Managerial hingga direksi, maka anda mesti memiliki minimal gelar sarjana. 

Bila perlu, anda bisa menambah pengetahuan berbagai keahlian lain. Seperti pintar berbahasa Inggris, Mandarin atau berbagai program computer. Juga, bisa menambah keahlian seiring dengan perkembangan dunia digital. 

Beberapa tahun belakangan, saya beberapa kali mengikuti meeting (pertemuan) tentang IT. Yang membahas tentang ilmu-ilmu terkini. Dan, saya yakin ilmu tersebut hanya bisa diperoleh saat kuliah atau pelatihan berbayar. Namun, saya bisa menghadiri berbagai ilmu IT dengan gratis. 

Apalagi, presentasinya dibawakan oleh orang asing dan lokal dalam Bahasa Inggris. Presentasi berjam-jam seperti Coding, Artifial Intelligence (AI), Hospitality Management System (HMS), Internet Of Thing (IOT), Big Data Analysis dan lain-lain pernah saya hadiri. 

Apalagi, profesi saya sebagai blogger adalah mengulas berbagai hal unik. Dari hotel, gadget hingga illegal loging. Maka, saya dituntut untuk rajin membaca dan mencermati berbagai kejadian atau berita yang sedang terjadi. 

Untungnya, dalam dunia blogger tidak dituntut untuk mempunyai standar gelar akademik. Namun, banyak blogger yang berprofesi sebagai dosen atau bekerja di perusahaan ternama. Yang mempunyai gelar akademik minimal sarjana. 

Dengan kata lain, pengalaman adalah sebuah kewajiban buat diri anda. Jika, ingin melamar pekerjaan sesuai dengan keinginan perusahaan. Tetapi, di sisi lain, gelar akademik juga sangat dibutuhkan. 

Apalagi, jika anda ingin berprofesi di ASN, menjadi dosen atau guru. Maka, gelar akademik adalah sebuah keharusan. Saya sendiri mempunyai keinginan untuk mengambil S2. Sebagai “pegangan” untuk menghadapi era globalisasi. 

Memang, gelar akademik tidaklah “pasti” dapat pekerjaan yang cocok dengan diri anda. Namun, dengan gelar akademik menjadi modal besar, agar bisa berkompetisi di dunia internasional. 

Saya tidak menyalahkan perusahaan yang menolak surat lamaran saya. Mungkin, mereka menginginkan mempunyai karyawan yang mempunyai gelar akademik minimal sarjana. Mereka mempunyai alasan yang kuat.

 

Jadi, jika ada orang yang mengatakan “modal apa untuk melamar pekerjaan. Apakah, skill atau gelar akademik?”. Jawabannya, ada pada diri anda dan perusahaan yang merekrutnya. Tergantung posisi jabatan yang ditawarkan. Kalau posisi atau jabatan yang ditawarkan kelas Managerial hingga direksi, maka skill dan gelar akademik sangatlah dibutuhkan.

 

Sejak dini, jangan pernah lupakan untuk mempunyai gelar minimal sarjana. Juga, diimbangi dengan berbagai keahlian yang signifikan dengan perkembangan era digital. Seperti keahlian menulis (Content Writer) yang saya lakukan. 

Keahlian menulis sebuah konten adalah pekerjaan yang terlihat gampang atau mudah. Tetapi, tidak semudah membalikan telapak tangan. Banyak orang yang gagal atau ragu saat memulainya. 

Menulis membutuhkan keyakinan dan keseriusan dalam belajar. Ibarat pepatah, keberhasilan itu adalah NEED TIME, NEED PROCESS AND NEED SACRIFICE (butuh waktu, butuh proses dan butuh pengorbanan). 

Perlu diketahui bahwa keahlian yang berhubungan dengan ranah digital dan IT, akan berharga mahal di masa depan. Saran buat saya dan anda, mari belajar tentang hal yang berhubungan dengan dunia tersebut. Percaya atau tidak, orang yang ahli dalam Content Writer, Content Creator, Animasi, Programmer, Coding, Cloud Computing, AI, Big Data Analysis, dan lain-lain akan survive di era digital. 

Jika anda tekun dalam memahami hal yang berhubungan dengan ranah digital. Percayalah, anda akan dilirik banyak perusahaan. Karena, perusahaan sangat membutuhkan. Saya adalah lulusan ILMU ADMINISTRASI NEGARA. 

Tetapi, ilmu tersebut terpendam. Saya akan menggunakannya sewaktu-waktu, jika dibutuhkan. Seperti membuat tulisan yang berbau politik, hukum, pemerintahan, kebijakan publik dan lain-lain.    

Kini, saya justru menggeluti dunia digital. Menjadi seorang Blogger, Content Writer, Content Creator. Dan, alhamdulillah, dengan dunia baru tersebut telah membuat banyak keuntungan. Baik menambah pertemanan dengan orang ternama, teman blogger lintas nusantara dan tentu uang. Bagaimana dengan anda?


Post a Comment for "Modal Melamar Pekerjaan, Skill atau Gelar Akademik?"