Menangkap Peluang Emas Green Jobs dari Panasnya Surya
Pemanfaatan energi surya sebagai EBT
(Energi Baru Terbarukan) (Sumber: dailysocial.id/08/04/2020)
“Seminggu
yang lalu, dua hari berturut-turut saya melewati dua Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terkenal di Bali. Karena tertarik, maka saya menyempatkan
diri berhenti untuk melihat-lihat. Kedua PLTS tersebut adalah sebagai proyek
percontohan (pilot project) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Pertama, PLTS Baturinggit yang ada di Desa Baturinggit Kecamatan
Kubu Kabupaten Karangasem Bali. PLTS tersebut mempunyai kapasitas 1 MWp di atas
lahan seluas 1,2 hektar dengan kondisi suhu sekitar 30 derajat Celcius. Kedua,
PLTS di Desa Kayubihi Kabupaten Bangli Bali. PLTS tersebut menghasilkan
kapasitas yang sama seperti PLTS Baturinggit sebesar 1 MWp. Dibangun di atas
tanah seluas 2 hektar dengan kondisi suhu sekitar 25 derajat Celcius”.
Keberadaan kedua PLTS
tersebut menggugah pikiran saya bahwa betapa pentingnya sebuah energi yang
ramah lingkungan. Bukan hanya terhindar dari timbulnya polusi udara dan menjadikan
bangsa Indonesia lebih bersih. Tetapi, bisa menjaga kondisi lingkungan menjadi lebih
baik. Bagaimana hebatnya global warming (pemanasan global) mengancam
kehidupan kita. Oleh sebab itu, melakukan konversi atau mencari energi yang ramah
lingkungan baru adalah sebuah keharusan.
EBT (Energi Baru Terbarukan)
Memang, Pemerintah telah dan
masih melakukan terobosan seperti Program Indonesia Biru. Di mana, energi yang
digunakan masyarakat harus minim menghasilkan polusi udara. Namun, dampak yang
dihasilkan oleh energi fosil tetaplah memberi sumbangsih terhadap polusi udara
dan dampak negatif lingkungan.
Apalagi, ketergantungan
masyarakat akan energi fosil masih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan konsumsi
BBM kendaraan bermotor yang makin meningkat. Seiring dengan meningkatnya
kuantitas kepemilikan kendaraan bermotor. Padahal, cadangan energi fosil
bangsa Indonesia makin lama makin habis.
Perlu diketahui bahwa menurut
berita yang dilansir oleh liputan6.com (21/10/2020) dalam sebuah Webinar
Potret Energi Indonesia di acara Tempo Energy Day 2020. Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif mengatakan tentang cadangan minyak bumi
Indonesia tinggal 3,77 miliar barel. Cadangan tersebut akan habis dalam waktu 9
tahun. Cadangan gas bumi saat ini masih ada 77,3 trilliun cubic feet.
Diperkirakan akan habis dalam waktu 22 tahun mendatang. Sedangkan, cadangan
batu bara sebanyak 37,6 miliar ton. Dan, diperkirakan akan habis dalam waktu 65
tahun.
Melihat kondisi cadangan
energi tersebut, maka satu-satunya jalan adalah mencari energi baru selain
energi fosil. Energi baru yang ramah lingkungan dan bisa diperbarui. Maka,
pencarian EBT (Energi Baru Terbarukan) menjadi tanggung jawab semua kalangan.
Bahkan, penciptaan EBT (Energi Baru
Terbarukan) bisa menjadi Green Jobs bagi kalangan anak muda Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah
negara tropis. Di mana, bisa menerima pancaran sinar matahari (surya) sepanjang
tahun. Kandungan sinar surya yang berlimpah tersebut menjadi berkah masyarakat.
Oleh Sebab itu, memanfaatkan sinar surya menjadi EBT (Energi Baru Terbarukan) adalah solusi
terbaik.
Percaya atau tidak, sinar
surya adalah satu-satunya sumber energi yang tidak akan habis (sustainable
energy). Bukan itu saja, jumlah sinar surya yang sangat berlimpah bisa
diperoleh dengan gratis. Serta, cara mendapatkannya tidak mengorbankan energi
fosil seperti pemanfaatan batu bara. Di mana, pemanfaatan batu bara tersebut
bisa menimbulkan polusi udara dan dampak buruk terhadap lingkungan.
Anda pernah melihat film dokumenter
karya dari Watchdoc yang berjudul “Sexy Killer”, bukan? Di mana,
meskipun batu bara sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Tetapi, di sisi
lain, batu bara sangat berbahaya bagi lingkungan. Salah satunya adalah polusi
udara dan galian tambang raksasa yang sangat berbahaya bagi keselamatan manusia.
Menangkap Peluang Emas
Anugerh besar, ketika melihat
kondisi sinar surya yang berlimpah. Hambatan yang terjadi pada pemanfaatan
energi surya, hanyalah ketika pancaran sinar surya terhalang oleh awan atau
mendung. Maka, banyak pihak yang mengambil peluang emas memanfaatkan energi
surya secara swadaya. Dengan tujuan untuk menghemat pengeluaran rutin. Seperti,
biaya yang dikeluarkan dalam pemakaian energi listrik dari perusahaan setrum
negara PLN.
Faktanya, energi surya
telah dimanfaatkan banyak kalangan dalam berbagai kebutuhan. Inovasi pemanfaatan energi
surya dalam dunia pertanian, contohnya penggunaan pompa air irigasi. Pompa air
tenaga surya tersebut menjadi solusi pengairan atau irigasi para petani. Pompa tenaga
surya tidak memerlukan pasokan listrik dari PLN atau perusahaan listrik
lainnya.
Pompa air irigasi dengan tenaga surya (Sumber: 8villages.com/24/10/20119)
Memang, terobosan inovasi
di bidang pertanian sedang digembor-gemborkan Pemerintah. Tentu, anda ingat
berita viral tentang pernyataan Gubernur Jawa Barat. Masalah pelaksanaan
Program 5.000 Petani Milenial. Pemerintah Jawa Barat akan memberi dukungan
tanah garapan di desa-desa Jawa Barat sebanyak 2.000 hektar. Bukan hanya tanah
garapan, dukungan lainnya juga diberikan oleh Pemerintah Jawa Barat.
Dengan sistem Pertanian
Infus dalam sebuah Green House, 5.000 Petani Milenial itu akan terjun ke
desa-desa, untuk mengembangkan sistem pertanian kekinian. Gubernur Jawa Barat
berharap akan lahir banyak Petani Milenial (kalangan anak muda). Petani yang
lahir dari desa, tetapi berpenghasilan kota. Bahkan, memilih gadis desa untuk
dinikahi adalah pilihan yang baik. Hal ini menunjukan bahwa pertanian bukanlah
hal yang perlu dihindari lagi oleh kalangan anak muda.
Inovasi tenaga surya juga
muncul dari kalangan siswa SMKN (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri) 1 Pungging,
Mojokerto Jawa Timur. Berita dari detik.com (30/01/2018) melansir bahwa siswa SMKN tersebut mampu menciptakan alat penyemprot tanaman elektrik
dengan tenaga surya. Dengan menggunakan baterai yang mampu menyimpan daya
hingga 8 Ah (Ampere hour). Maka, dalam kondisi penuh, bisa digunakan untuk
menyemprot hingga durasi 2-3 jam.
Alat penyemprot tanaman dengan tenaga
surya karya siswa siswa SMKN (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri) 1 Pungging,
Mojokerto Jawa Timur (Sumber: detik.com/30/01/2018)
Bahkan, di era digital
sekarang ini, pemanfaatan EBT sinar surya menjadi ladang bisnis yang
menggiurkan. Salah satu ladang bisnis yang bisa digunakan kalangan anak muda
adalah pendirian Start-Up (perusahaan rintisan) dalam bidang Green
Technology (teknologi hijau).
Sesuai dengan apa yang
didorong oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perusahaan teknologi ternama,
komunitas ilmiah, para pembuat kebijakan dan lembaga keuangan dunia. Dalam
pertemuan dunia yang dihadiri lebih dari 2.000 orang yaitu UN
Science-Policy-Business Forum di Nairobi, Kenya tanggal 9 Maret 2019 lalu.
Forum PBB tersebut
meluncurkan inisiatif agar memanfaatkan data yang melimpah (big data),
mesin analisis (machine learning), dan membina perusahaan rintisan (Start-Up)
di bidang teknologi hijau (green technology start-ups). Hal tersebut
dilakukan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan
sosial dengan cara yang lebih hijau, lebih bersih dan lebih efisien (Hijauku.com/10/03/2019).
Menarik, meskipun
terobosan inovasi EBT (Energi Baru Terbarukan) dari energi surya sangat
berlimpah. Namun, kenyataanya, perusahaan Start-Up yang bergerak dalam
pemanfaatan energi surya masih terbilang sedikit. Salah satu pemain yang
memanfaatkan energi surya, seperti Xurya.
Start-Up yang berdiri sejak 2018 dengan produk andalannya panel surya
atap.
Lagi, ada perusahaan Start-Up
Warung Energi yang memulai bisnis EBT ke semua kalangan dengan harga
terjangkau. Kehadiran Warung Energi menjadi solusi energi sekitar 350 watt
hingga 2.000 watt bagi rumah-rumah, yang belum terjangkau listrik PLN.
Selain Xurya dan Warung
Energi, ada perusahaan Start-Up yang bermain dalam pemanfaatan EBT
energi surya. Seperti Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy,
Syalendra Power dan New Energy Nexus Indonesia. Tentu, kita berharap
akan muncul semakin banyak perusahaan Start-Up yang peduli terhadap
lingkungan. Untuk menciptakan inovasi bidang
Green Tecchnology, khususnya energi surya yang sangat berlimpah.
Sebagai informasi bahwa
Pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025 mendatang. Menurut
portal Dailysocial.id (08/04/2020) menyatakan bahwa Bangsa Indonesia
sendiri telah memiliki beberapa pembangkit listrik non-fosil, mulai dari
tenaga air, bio energi, surya, angin, hingga geothermal. Sayang, bauran
energi primer pembangkit listrik masih didominasi oleh batu bara (60,50%) dan
gas (23,11%) hingga tahun 2019. Kapasitas pembengkit listrik EBT sendiri hanya mampu
menyumbang 10.157 Megawatt.
Kondisi tersebut memacu
banyak kalangan, khususnya anak muda agar mampu menghadirkan terobosan inovasi
EBT dalam perusahaan Start-Up. Berdasarkan data pada halaman Startup
Ranking tahun 2019, bangsa Indonesia mempunyai 2.193 Start-Up. Bangsa
Indonesia sebagai negara dengan jumlah Start-Up terbanyak ke-5 di dunia,
setelah Amerika Serikat, India, Inggris Raya, dan Kanada.
Apalagi, Menkominfo
Indonesia dalam acara World Economic Forum 2020 mengatakan bahwa
Indonesia mempunyai 4 unicorn (valuasi lebih dari US$ 1 miliar) dan satu
decacorn (valuasi lebih dari US$ 10 miliar). Perusahaan aplikasi
transportasi online Gojek mempunyai valuasi perusahaan sekitar US$ 11 miliar.
Sedangkan, Tokopedia US$ 7 miliar, Traveloka US$ 4,5 miliar, OVO US$ 2,9
miliar, dan Bukalapak US$ 2,5 miliar. Ada tambahan Start-Up Unicorn
baru, yaitu JD.id. Maka, bangsa Indonesia telah memiliki 5 Start-Up
unicorn dan 1 decacorn.
Sayang, Start-Up
Unicorn dan Decacorn tersebut, mayoritas bergerak dalam bidang transportasi
online, e-commerce dan Financial Technology (Fintech). Maka,
munculnya Start-Up dalam EBT, khususnya pemanfaatan energi surya adalah
mimpi besar bangsa Indonesia.
Memang, dalam
perjalanannya bisnis Start-Up mengalami banyak hambatan. Biasanya, 90% Start-Up akan mengalami
kegagalan di awal. Dan, setengah dari sisanya akan mengalami kegagalan dalam waktu 5
tahun. Mengapa? Ada 2 alasan penting kegagalan Start-Up, yaitu: 1) kurang
atau tidak adanya kebutuhan pasar; dan 2) kehabisan dana.
Di sisi lain, pengembangan
EBT dari tenaga surya juga masih mengalami hambatan. Salah satunya adalah harga
panel surya yang masih tergolong mahal di Indonesia, Dibandingkan dengan harga
panel surya di negeri Tirai Bambu Tiongkok. Menurut lansiran dari detik.com
(28/7/2020) menyebutkan bahwa harga panel surya per 1Wp (Watt Peak) di
Indonesia, sesuai apa yang dikatakan oleh Direktur Jenderal Energi Baru,
Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) F.X Sutijastoto. Di mana, harga
panel di Indonesia lebih mahal dibandingkan harga di Tiongkok.
Harga per 1Wp
sebesar US$ 1. Dibandingkan harga di
Tiongkok yang hanya 20-30 sen per 1 Wp. Hal tersebut dikarenakan salah satunya
adalah bahan baku pabrikan-pabrikan panel surya di Indonesia, seperti solar
cell masih impor dalam skala kecil. Sehingga, biayanya menjadi mahal.
Maklum, pabrikan di Indonesia kapasitasnya masih sekitar 40 MWp. Sedangkan,
kapasitas pabrikan di Tiongkok hingga 1.000 MWp.
Untuk meyakinkan harga
panel surya tersebut, saya langsung browsing harga panel surya di salah
satu market place perusahaan Start-Up unicorn. Sebuah Solar Panel atau Panel Surya SolarLand 150
Wp/12Volt DC Polykristalin USA Grade dijual dengan harga Rp1.950.000,-.
Jika, US$1 dirupiahkan dengan kurs Rp 13.000,- maka menghasilkan US$150. Jika,
dibagi lagi dengan besaran 150 Wp, maka menghasilkan US$1. Benar sekali, harga tersebut
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen
EBTKE) F.X Sutijastoto.
Namun, meskipun banyak
perusahaan Start-Up yang didominasi bisnis transportasi online, e-commerce,
dan Fintech mengalami kegagalan, karena pangsa pasar dan dana. Justru, membangun Strat-Up EBT
dengan memanfaatkan energi surya menjadi peluang emas kalangan anak muda.
Pemain di bisnis EBT energi surya masih terbuka lebar. Karena, persaingan masih
tergolong kecil. Dan, masih banyak pangsa pasar masyarakat Indonesia yang membutuhkan energi
listrik, dengan harga yang murah dan mudah dijangkau.
Masalah mahalnya
investasi bisnis tenaga surya menjadi tantangan yang harus dihadapi. Pangsa
pasarnya sudah jelas. Masyarakat membutuhkan energi listrik secara
berkelanjutan. Kalangan anak muda tinggal menciptakan inovasi terbaru. Agar,
biaya yang dikeluarkan dalam bisnis energi surya bisa diminimalisir. Tentu,
pelaku bisnis Start-Up harus rajin melakukan kolaborasi dan pameran dengan berbagai pihak. Agar, bisa mendapatkan suntikan dana dari investor. Dan, bisa melakukan ekspansi bisninya. Juga, Pemerintah perlu memberikan
dukungan maksimal.
Ketika, sinergi bagus
tercipta dari kalangan anak muda, Pemerintah dan investor yang percaya dan
peduli akan Green Technology. Maka, akselerasi inovasi EBT tidak bisa
dikekang. Oleh sebab itu, berbagai hambatan yang ada sejak awal bagai riak
gelombang. Inilah, saatnya kalangan anak muda Indonesia berkontribusi terhadap
kondisi energi dan lingkungan. Ingat, banyak peluang emas Green Jobs
dari pemanfaatan energi surya kita yang melimpah ruah.
Post a Comment for "Menangkap Peluang Emas Green Jobs dari Panasnya Surya "