Perkawinan Nyentana, Saat Wanita Melamar Pria
Pernikahan
atau perkawinan adalah bukti nyata, ketika rasa cinta dan sayang dua insan
manusia dipersatukan. Perkawinan juga menjadi langkah awal sepasang manusia
menyatakan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Namun,
sebelum perkawinan terjadi, maka kedua insan manusia yang sedang dimabuk cinta
akan mengukur, menjaga dan memperkenalkan pribadi masing-masing bernama pacaran.
Dalam agama saya Islam dikenal dengan nama ta’aruf.
Setelah
kedua insan manusia cocok untuk dipersatukan, maka salah satu pasangan yaitu sang
pria akan mempersiapkan diri untuk melamar sang kekasihnya. Dengan disaksikan
kedua keluarga besar tersebut. Seringkali, acara lamaran dilakukan dengan
mewah. Hal ini menunjukan keseriusan sepasang pria dan wanita untuk menyiapkan
diri dalam sebuah perkawinan yang sakral.
PERKAWINAN YANG SAH
Sebagai
informasi, hukum agama menjadi salah satu faktor sahnya sebuah perkawinan.
Dalam agama Islam saja, sebuah perkawinan akan dianggap sah menurut agama, jika
telah terpenuhinya syarat sebuah perkawinan. Seperti, kehadiran kedua mempelai pria
dan wanita, penghulu perkawinan dan saksi perkawinan.
Sedangkan,
dalam agama Hindu Bali, sebuah perkawinan dianggap sah jika dilakukan secara
upacara keagamaan yang bernama mekala-kalaan. Di mana, kehadiran Pinandita
dalam memimpin upacara keagamaan tersebut sangatlah penting.
Tentu,
perkawinan secara upacara keagamaan tersebut ingin diakui secara hukum negara. Maka,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (telah
direvisi dengan UU No. 24 Tahun 2013) menyatakan bahwa perkawinan yang sah
berdasarkan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan kepada instansi
pelaksana (Catatan Sipil) paling lambat 60 hari sejak hari tanggal perkawinan.
Lagi,
menurut Pasal 67 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Menyatakan bahwa pencatatan
perkawinan dilakukan dengan memenuhi syarat, yaitu 1) surat keterangan telah
terjadi perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan Penghayat
Kepercayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan; 2) KTP suami
dan isteri; 3) Pas photo suami dan isteri; dan 4) kutipan Akta Kelahiran suami
dan isteri.
Sebelum
terjadinya sebuah perkawinan, sang pria melamar sang wanita adalah hal yang biasa.
Dengan kata lain, sudah kodratnya. Karena, nantinya sang pria yang akan
bertanggung jawab atas keluarganya. Namun, pernahkah anda mendengar bahwa
WANITA MELAMAR PRIA? Proses menarik tersebut hanya ada di pulau dewata Bali.
Seperti apa sih prosesnya? Yuk, baca artikel ini hingga selesai ya.
WANITA MELAMAR PRIA
Menurut
putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 200K/Sip/1958 menegaskan bahwa menurut hukum
adat Bali, dalam hal seorang ayah mempunyai seorang anak laki-laki, maka anak
laki-laki inilah satu-satunya ahli waris. Putusan ini memberikan pemahaman jelas
bahwa laki-laki adalah pihak yang berkuasa dalam hal waris.
Merujuk
pada tulisan blog Yuli Utomo tentang Perkawinan menurut Hukum Adat Bali adalah:
1) mapadik alias meminang atau meminta; 2) ngerorod, rangkat,
atau kawin lari; 3) nyentana, nyeburin atau selarian; 4) melegandang,
perkawinan secara paksa tanpa cinta.
Saya
tinggal di Bali hampir 13 tahun. Budaya Bali benar-benar mengagumkan. Hal
inilah yang menarik para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Namun, ada
hal yang membuat saya tertarik dan tergelitik untuk memahaminya.
Di
mana, dalam perkawinan biasa, umumnya sang pria melamar seorang gadis untuk
dijadikan istrinya. Namun dalam PERKAWINAN NYENTANA memberikan bukti nyata bahwa
GADIS BALI melamar JEJAKA BALI dalam tatanan agama Hindu. Si Wanitalah yang
melamar Si Pria untuk dijadikan suaminya. Selanjutnya, si pria diajak tinggal
di rumah si wanita. Selanjutnya, keturunannya akan menjadi milik dan
melanjutkan keturunan keluarga istrinya.
Jika
merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online dan menurut para ahli Bahasa.
Maka, definisi dari kata "SENTANA" mempunyai arti kata Sentana (sen-ta-na)
(Jawa) berarti kaum kerabat raja (orang bangsawan).
Berdasarkan
hasil pengamatan dan bincang-bincang dengan banyak orang Bali, motif utama perkawinan
nyentana adalah untuk menghilangkan kekhawatiran dengan tidak adanya keturunan
selanjutnya.
Perlu
diketahui bahwa adat perkawinan di Bali pada umumnya menganut sistem garis patrilineal
atau Purusa. Di mana, hubungan seseorang terhadap keluarga bertumpu pada
garis ayah. Hal ini memberikan pemahaman bahwa hubungan keluarga tidak
memperhitungkan garis ibu. Itulah sebabnya, anak laki-laki lebih penting
dibandingkan anak perempuan, karena laki-laki memikul tanggung jawab.
Jangan
kaget, jika keluarga yang memiliki anak laki-laki adalah sebuah kebanggaan
keluarga dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Kondisi ini bukan berarti mempunyai
anak perempuan adalah sebuah aib. Tetapi, menurut saya, nilai kebanggaan orang
tua adalah yang membedakannya.
Menurut
Muhammad Yasin, S.H., M.H. dalam laman Hukumonline.com menyatakan:
“Adat Bali pada umumnya patrilineal. Menurut Ter Haar, hanya anak
laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan bapaknya, dan dapat melanjutkan
kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika, tidak ada anak laki-laki, maka dapatlah
seorang anak laki-laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh
jandanya atas nama dia jika si bapak meninggal. Sebagai gantinya dapatlah si
bapak mengangkat anaknya perempuan menjadi sentana. Anak perempuan itu
diberikan hak-hak dan kewajiban sebagaimana seorang anak laki-laki tertua”.
Maka,
jika sebuah keluarga tidak mempunyai anak laki-laki untuk melanjutkan garis
keturunan, maka hal yang akan dilakukan adalah mencari SENTANA atau NYENTANA.
Ketika, anak wanitanya hendak mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan.
PERKAWINAN
NYENTANA menyebabkan perubahan status purusa dari pihak wanita dan pradana
dari pihak laki-laki. Hal ini memberikan arti bahwa wanita akan bertindak
seperti pria, dan sebaliknya pria akan bertindak seperti wanita. Sekali lagi
menegaskan, WANITA BALI yang melamar PRIA BALI. Selanjutnya, pihak pria akan
ikut dalam keluarga wanitanya, dan tinggal di rumah isterinya. Yang menarik
dalam kasus ini adalah semua keturunannya mengambil garis keturunan wanita.
Sang pria tidak mempunyai kekuatan apapun.
Menurut
pengamatan saya, ketika pria dilamar wanita dalam prosesi perkawinan nyentana.
Maka, pria tersebut tidak lagi mempunyai hak waris di keluarganya. Dengan kata
lain, pria lepas dari penguasaan harta atau warisan. Itulah sebabnya, ketika
pria mau diajak untuk perkawinan sentana, mayoritas pihak wanita berasal dari
keluarga yang berkecukupan. Karena, sang wanita nantinya akan menafkahi prianya.
Sekali lagi, dalam hal ini, wanita akan bertindak seperti ayah dalam sebuah
keluarga.
PERUBAHAN STATUS
Sebenarnya,
perkawinan nyentana ditentang oleh masyarakat Bali. Salah satu hal menarik
karena terjadinya perubahan status. Seperti, terjadinya PUTRIKA yang merupakan
proses perubahan status dan kedudukan wanita secara adat untuk menjadi pria.
Meskipun, secara biologis masih tetap merupakan wanita.
Dengan
adanya proses Putrika, maka wanita Putrika memiliki kedudukan dan kewajiban
sebagai berikut:
1. Sebagai
pria dalam keluarga dalam hal menentukan keluarga.
2. Ahli
waris bagi keluarga.
3. Penerus
keturunan keluarga.
4. Mengurus
keluarga.
5. Menjadi
anggota desa adat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
6. Meneruskan
tradisi yang telah diwariskan keluarga.
7. Membina
keutuhan keluarga.
Menurut
Van Dijk (1991: 35) memberikan penegasan bahwa laki-laki yang
mengikatkan diri dalam perkawinan nyentana, akan “dilepaskan dari golongan
sanaknya dan dipindahkan ke dalam golongan sanak si perempuan”. Maka, anak yang
lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan
ibunya. Dengan kata lain, anak hasil perkawinan nyentana akan meneruskan keturunan
ibunya.
Tepat
sekali apa yang ditegaskan oleh I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H., M.H., seorang
tokoh masyarakat Desa Pakraman Lumbung Gede Tabanan dalam Jurnal Advokasi
Vol. 5 No. 1 Maret 2015 yang berjudul “Status Laki-Laki dan Pewarisan Dalam
Perkawinan Nyentana”. Banyak kasus di Bali, di mana seorang anak laki-laki
kehilangan hak mewarisnya. Karena, melakukan perkawinan yang dinilai
bertentangan dengan adat yang berlaku akibat melakukan perkawinan nyentana.
Saya
pernah berbincang-bincang lama dengan teman akrab orang Bali tentang perkawinan
nyentana ini. Tidak dipungkiri, menurut teman saya tersebut, kasus perkawinan nyentana
sering terjadi di Kabupaten Tabanan. Meskipun, di kabupaten lainnya di Bali
juga terjadi. Pemahaman tentang perkawinan nyentana pun mulai berkembang. Karena,
perkembangan teknologi dan sosial masyarakat.
Sebagai
informasi, ketika sang pria mau dilamar wanita dalam perkawinan nyentana. Maka,
pria tidak mempunyai hak penguasaan harta (ahli waris) di keluarga wanita dan
lepas hak waris dari keluarganya sendiri. Dengan kata lain, sang pria tidak
mendapatkan apa-apa dari keluarga terdahulu, karena sudah lepas dalam ikatan
penguasaan harta (hak waris). Maka, pria hanya memiliki harta dari kepemilikan pihak
wanita.
Beruntung
sekali, jika wanita yang melamarnya adalah benar-benar sosok penyayang dan
mencintai suaminya apa adanya. Ibarat kata, pria cuma ongkang-ongkang
kaki di rumah dapat harta banyak. Selanjutnya, sang wanita yang bekerja keras
untuk menghidupi keluarga.
Tetapi,
dalam perkawinan nyentana ini ada kasus yang menggelitik. Jika, sang wanita dikaruniai
anak laki-laki. Selanjutnya, di kemudian hari berniat jahat. Baik atas kemauan
sendiri atau dorongan keluarganya. Maka, sang wanita akan mencari gara-gara atau
masalah, agar bisa cerai dengan suaminya. Banyak cara licik yang dilakukan oleh
wanita agar bisa cerai dengan suaminya. Sebagai contoh, membuat masalah yang “dibuat-buat”,
atau wanita berselingkuh dengan pria idaman lainnya.
Dalam
kasus ini, sang wanita benar-benar MENANG BANDAR. Pertama, bisa mendapatkan
keturunan yang diharapkan, karena dikaruniai anak laki-laki dari suaminya. Kedua,
sang wanita bisa mendepak prianya kapan saja, dan pria tanpa membawa anak dan harta
sedikit pun. Ngeri, kan?
Sang
pria mau balik lagi ke pihak keluarganya, sudah tidak diakui dalam garis
penguasan harta (warisan). Sementara, dari istrinya tidak mendapatkan apa-apa.
Kejadian inilah yang menjadikan sang pria tidak ada harga atau martabatnya di
mata wanita. Alias, lepas dari keluarga wanita cuma modal kolor doang.
Belajar
dari kasus tersebut, maka era digital yang semakin berkembang, sang pria yang
mau diajak perkawinan nyentana semakin pintar dan cerdas. Sebelum perkawinan
nyentana, sang pria biasanya membuat sebuah perjanjian terlebih dahulu dengan
calon istrinya. Dalam perjanjian yang berkekuatan hukum, seperti dengan akta
notaris.
Sebagai
contoh, sang pria akan meminta harta yang diinginkan dari pihak wanita. Hal ini
bertujuan untuk menghindari, jika kelak wanita melakukan tindakan jahat tanpa
diduga-duga. Maka, sang pria akan menuntut harta yang ada dalam perjanjian resmi
tersebut. Sang pria tidak mau jadi bulan-bulanan istrinya. Tindakan ini
mirip-mirip perjanjian pra nikah ya?
Namun,
meskipun perkawinan nyentana banyak menuai pro dan kontra. Tetapi, pada
kenyataannya, perkawinan nyentana adalah jalan terbaik yang harus ditempuh oleh
masyarakat Bali. Dan, perkawinan nyentana masih ada hingga sekarang.
Terpenting,
kedua belah pihak melakukan perkawinan nyentana berdasarkan suka sama suka
untuk membuat keluarga bahagia. Tidak ada unsur terpaksa dan niat untuk mendapatkan
kesempatan di balik kesempitan di kemudian hari.
Referensi:
Mr. B. Ter Haar (1991). Asas-Asas dan
Susunan Hukum Adat. Terj. K. Ng. Soebakti Peosponoto. Jakarta:
Pradnya Paramita, Cet-10.
Van Dijk (1991). Pengantar Hukum Adat
Indonesia. Terj. A. Soehardi. Bandung: Vorkink-Van Hoeve Bandung, Cet-3.
Jurnal Advokasi Vol. 5 No.1 Maret 2015
yang berjudul “Status Laki-Laki dan Pewarisan Dalam Perkawinan Nyentana”.
Post a Comment for "Perkawinan Nyentana, Saat Wanita Melamar Pria "