Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perkawinan Nyentana, Saat Wanita Melamar Pria

 

Pernikahan Nyentana
Pernikahan nyentana (Sumber: @debydwie_/instagram)

 

 

          Pernikahan atau perkawinan adalah bukti nyata, ketika rasa cinta dan sayang dua insan manusia dipersatukan. Perkawinan juga menjadi langkah awal sepasang manusia menyatakan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

          Namun, sebelum perkawinan terjadi, maka kedua insan manusia yang sedang dimabuk cinta akan mengukur, menjaga dan memperkenalkan pribadi masing-masing bernama pacaran. Dalam agama saya Islam dikenal dengan nama ta’aruf.

          Setelah kedua insan manusia cocok untuk dipersatukan, maka salah satu pasangan yaitu sang pria akan mempersiapkan diri untuk melamar sang kekasihnya. Dengan disaksikan kedua keluarga besar tersebut. Seringkali, acara lamaran dilakukan dengan mewah. Hal ini menunjukan keseriusan sepasang pria dan wanita untuk menyiapkan diri dalam sebuah perkawinan yang sakral.

 

PERKAWINAN YANG SAH

 

          Sebagai informasi, hukum agama menjadi salah satu faktor sahnya sebuah perkawinan. Dalam agama Islam saja, sebuah perkawinan akan dianggap sah menurut agama, jika telah terpenuhinya syarat sebuah perkawinan. Seperti, kehadiran kedua mempelai pria dan wanita, penghulu perkawinan dan saksi perkawinan.

          Sedangkan, dalam agama Hindu Bali, sebuah perkawinan dianggap sah jika dilakukan secara upacara keagamaan yang bernama mekala-kalaan. Di mana, kehadiran Pinandita dalam memimpin upacara keagamaan tersebut sangatlah penting.  

          Tentu, perkawinan secara upacara keagamaan tersebut ingin diakui secara hukum negara. Maka, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (telah direvisi dengan UU No. 24 Tahun 2013) menyatakan bahwa perkawinan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana (Catatan Sipil) paling lambat 60 hari sejak hari tanggal perkawinan.

          Lagi, menurut Pasal 67 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Menyatakan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan dengan memenuhi syarat, yaitu 1) surat keterangan telah terjadi perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan; 2) KTP suami dan isteri; 3) Pas photo suami dan isteri; dan 4) kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri.

          Sebelum terjadinya sebuah perkawinan, sang pria melamar sang wanita adalah hal yang biasa. Dengan kata lain, sudah kodratnya. Karena, nantinya sang pria yang akan bertanggung jawab atas keluarganya. Namun, pernahkah anda mendengar bahwa WANITA MELAMAR PRIA? Proses menarik tersebut hanya ada di pulau dewata Bali. Seperti apa sih prosesnya? Yuk, baca artikel ini hingga selesai ya.

         

WANITA MELAMAR PRIA

          Menurut putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 200K/Sip/1958 menegaskan bahwa menurut hukum adat Bali, dalam hal seorang ayah mempunyai seorang anak laki-laki, maka anak laki-laki inilah satu-satunya ahli waris. Putusan ini memberikan pemahaman jelas bahwa laki-laki adalah pihak yang berkuasa dalam hal waris.

          Merujuk pada tulisan blog Yuli Utomo tentang Perkawinan menurut Hukum Adat Bali adalah: 1) mapadik alias meminang atau meminta; 2) ngerorod, rangkat, atau kawin lari; 3) nyentana, nyeburin atau selarian; 4) melegandang, perkawinan secara paksa tanpa cinta. 

          Saya tinggal di Bali hampir 13 tahun. Budaya Bali benar-benar mengagumkan. Hal inilah yang menarik para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Namun, ada hal yang membuat saya tertarik dan tergelitik untuk memahaminya.

          Di mana, dalam perkawinan biasa, umumnya sang pria melamar seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun dalam PERKAWINAN NYENTANA memberikan bukti nyata bahwa GADIS BALI melamar JEJAKA BALI dalam tatanan agama Hindu. Si Wanitalah yang melamar Si Pria untuk dijadikan suaminya. Selanjutnya, si pria diajak tinggal di rumah si wanita. Selanjutnya, keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan keturunan keluarga istrinya.

          Jika merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online dan menurut para ahli Bahasa. Maka, definisi dari kata "SENTANA" mempunyai arti kata Sentana (sen-ta-na) (Jawa) berarti kaum kerabat raja (orang bangsawan).

          Berdasarkan hasil pengamatan dan bincang-bincang dengan banyak orang Bali, motif utama perkawinan nyentana adalah untuk menghilangkan kekhawatiran dengan tidak adanya keturunan selanjutnya.

          Perlu diketahui bahwa adat perkawinan di Bali pada umumnya menganut sistem garis patrilineal atau Purusa. Di mana, hubungan seseorang terhadap keluarga bertumpu pada garis ayah. Hal ini memberikan pemahaman bahwa hubungan keluarga tidak memperhitungkan garis ibu. Itulah sebabnya, anak laki-laki lebih penting dibandingkan anak perempuan, karena laki-laki memikul tanggung jawab.

          Jangan kaget, jika keluarga yang memiliki anak laki-laki adalah sebuah kebanggaan keluarga dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Kondisi ini bukan berarti mempunyai anak perempuan adalah sebuah aib. Tetapi, menurut saya, nilai kebanggaan orang tua adalah yang membedakannya.  

          Menurut Muhammad Yasin, S.H., M.H. dalam laman Hukumonline.com menyatakan:


“Adat Bali pada umumnya patrilineal. Menurut Ter Haar, hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan bapaknya, dan dapat melanjutkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika, tidak ada anak laki-laki, maka dapatlah seorang anak laki-laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya atas nama dia jika si bapak meninggal. Sebagai gantinya dapatlah si bapak mengangkat anaknya perempuan menjadi sentana. Anak perempuan itu diberikan hak-hak dan kewajiban sebagaimana seorang anak laki-laki tertua”.

 

          Maka, jika sebuah keluarga tidak mempunyai anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan, maka hal yang akan dilakukan adalah mencari SENTANA atau NYENTANA. Ketika, anak wanitanya hendak mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan.

          PERKAWINAN NYENTANA menyebabkan perubahan status purusa dari pihak wanita dan pradana dari pihak laki-laki. Hal ini memberikan arti bahwa wanita akan bertindak seperti pria, dan sebaliknya pria akan bertindak seperti wanita. Sekali lagi menegaskan, WANITA BALI yang melamar PRIA BALI. Selanjutnya, pihak pria akan ikut dalam keluarga wanitanya, dan tinggal di rumah isterinya. Yang menarik dalam kasus ini adalah semua keturunannya mengambil garis keturunan wanita. Sang pria tidak mempunyai kekuatan apapun.

          Menurut pengamatan saya, ketika pria dilamar wanita dalam prosesi perkawinan nyentana. Maka, pria tersebut tidak lagi mempunyai hak waris di keluarganya. Dengan kata lain, pria lepas dari penguasaan harta atau warisan. Itulah sebabnya, ketika pria mau diajak untuk perkawinan sentana, mayoritas pihak wanita berasal dari keluarga yang berkecukupan. Karena, sang wanita nantinya akan menafkahi prianya. Sekali lagi, dalam hal ini, wanita akan bertindak seperti ayah dalam sebuah keluarga.

 

PERUBAHAN STATUS

 

          Sebenarnya, perkawinan nyentana ditentang oleh masyarakat Bali. Salah satu hal menarik karena terjadinya perubahan status. Seperti, terjadinya PUTRIKA yang merupakan proses perubahan status dan kedudukan wanita secara adat untuk menjadi pria. Meskipun, secara biologis masih tetap merupakan wanita.

          Dengan adanya proses Putrika, maka wanita Putrika memiliki kedudukan dan kewajiban sebagai berikut:

1.    Sebagai pria dalam keluarga dalam hal menentukan keluarga.

2.    Ahli waris bagi keluarga.

3.    Penerus keturunan keluarga.

4.    Mengurus keluarga.

5.    Menjadi anggota desa adat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.

6.    Meneruskan tradisi yang telah diwariskan keluarga.

7.    Membina keutuhan keluarga.

          Menurut Van Dijk (1991: 35) memberikan penegasan bahwa laki-laki yang mengikatkan diri dalam perkawinan nyentana, akan “dilepaskan dari golongan sanaknya dan dipindahkan ke dalam golongan sanak si perempuan”. Maka, anak yang lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan ibunya. Dengan kata lain, anak hasil perkawinan nyentana akan meneruskan keturunan ibunya.

          Tepat sekali apa yang ditegaskan oleh I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H., M.H., seorang tokoh masyarakat Desa Pakraman Lumbung Gede Tabanan dalam Jurnal Advokasi Vol. 5 No. 1 Maret 2015 yang berjudul “Status Laki-Laki dan Pewarisan Dalam Perkawinan Nyentana”. Banyak kasus di Bali, di mana seorang anak laki-laki kehilangan hak mewarisnya. Karena, melakukan perkawinan yang dinilai bertentangan dengan adat yang berlaku akibat melakukan perkawinan nyentana.

          Saya pernah berbincang-bincang lama dengan teman akrab orang Bali tentang perkawinan nyentana ini. Tidak dipungkiri, menurut teman saya tersebut, kasus perkawinan nyentana sering terjadi di Kabupaten Tabanan. Meskipun, di kabupaten lainnya di Bali juga terjadi. Pemahaman tentang perkawinan nyentana pun mulai berkembang. Karena, perkembangan teknologi dan sosial masyarakat.

          Sebagai informasi, ketika sang pria mau dilamar wanita dalam perkawinan nyentana. Maka, pria tidak mempunyai hak penguasaan harta (ahli waris) di keluarga wanita dan lepas hak waris dari keluarganya sendiri. Dengan kata lain, sang pria tidak mendapatkan apa-apa dari keluarga terdahulu, karena sudah lepas dalam ikatan penguasaan harta (hak waris). Maka, pria hanya memiliki harta dari kepemilikan pihak wanita.

          Beruntung sekali, jika wanita yang melamarnya adalah benar-benar sosok penyayang dan mencintai suaminya apa adanya. Ibarat kata, pria cuma ongkang-ongkang kaki di rumah dapat harta banyak. Selanjutnya, sang wanita yang bekerja keras untuk menghidupi keluarga.

          Tetapi, dalam perkawinan nyentana ini ada kasus yang menggelitik. Jika, sang wanita dikaruniai anak laki-laki. Selanjutnya, di kemudian hari berniat jahat. Baik atas kemauan sendiri atau dorongan keluarganya. Maka, sang wanita akan mencari gara-gara atau masalah, agar bisa cerai dengan suaminya. Banyak cara licik yang dilakukan oleh wanita agar bisa cerai dengan suaminya. Sebagai contoh, membuat masalah yang “dibuat-buat”, atau wanita berselingkuh dengan pria idaman lainnya.  

          Dalam kasus ini, sang wanita benar-benar MENANG BANDAR. Pertama, bisa mendapatkan keturunan yang diharapkan, karena dikaruniai anak laki-laki dari suaminya. Kedua, sang wanita bisa mendepak prianya kapan saja, dan pria tanpa membawa anak dan harta sedikit pun. Ngeri, kan?

          Sang pria mau balik lagi ke pihak keluarganya, sudah tidak diakui dalam garis penguasan harta (warisan). Sementara, dari istrinya tidak mendapatkan apa-apa. Kejadian inilah yang menjadikan sang pria tidak ada harga atau martabatnya di mata wanita. Alias, lepas dari keluarga wanita cuma modal kolor doang.

          Belajar dari kasus tersebut, maka era digital yang semakin berkembang, sang pria yang mau diajak perkawinan nyentana semakin pintar dan cerdas. Sebelum perkawinan nyentana, sang pria biasanya membuat sebuah perjanjian terlebih dahulu dengan calon istrinya. Dalam perjanjian yang berkekuatan hukum, seperti dengan akta notaris.

          Sebagai contoh, sang pria akan meminta harta yang diinginkan dari pihak wanita. Hal ini bertujuan untuk menghindari, jika kelak wanita melakukan tindakan jahat tanpa diduga-duga. Maka, sang pria akan menuntut harta yang ada dalam perjanjian resmi tersebut. Sang pria tidak mau jadi bulan-bulanan istrinya. Tindakan ini mirip-mirip perjanjian pra nikah ya?         

          Namun, meskipun perkawinan nyentana banyak menuai pro dan kontra. Tetapi, pada kenyataannya, perkawinan nyentana adalah jalan terbaik yang harus ditempuh oleh masyarakat Bali. Dan, perkawinan nyentana masih ada hingga sekarang.   

          Terpenting, kedua belah pihak melakukan perkawinan nyentana berdasarkan suka sama suka untuk membuat keluarga bahagia. Tidak ada unsur terpaksa dan niat untuk mendapatkan kesempatan di balik kesempitan di kemudian hari.

 

Referensi:

Mr. B. Ter Haar (1991). Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Terj. K. Ng. Soebakti Peosponoto. Jakarta: Pradnya Paramita, Cet-10.

Van Dijk (1991). Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terj. A. Soehardi. Bandung: Vorkink-Van Hoeve Bandung, Cet-3.

Jurnal Advokasi Vol. 5 No.1 Maret 2015 yang berjudul “Status Laki-Laki dan Pewarisan Dalam Perkawinan Nyentana”.


Post a Comment for "Perkawinan Nyentana, Saat Wanita Melamar Pria "