Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Klenik di Ajang MotoGP Mandalika

 

Pawang hujan di ajang MotoGP Mandalika
Aksi pawang hujan di ajang MotoGP Mandalika Lombok Indonesia (Sumber: Bola.com)

 

          Sebelum ajang MotoGP dimulai, saya rajin banget mengamati postingan dari Instagram pribadi Menparekraf RI Bapak Sandiaga Salahudin Uno. Di mana, statement (pernyataan) beliau adalah akan dilakukan Teknik Modifikasi Cuaca (TMC). Dengan tujuan, agar ajang MotoGP yang sudah digelar beberapa hari di sirkuit Mandalika ini tidak diliputi hujan.

          Namun, sepertinya panitia ajang MotoGP Mandalika tersebut ketar-ketir, jika hanya dilakukan TMC. Maka, perhelatan MotoGP pun tidak lepas dari prosesi “klenik” (magic), yang merupakan peninggalan nenek moyang alias kearifan lokal. Meskipun, teknologi berkembang sangat cepat. Kontribusi sang pawang hujan masih sangat dibutuhkan. Apakah, bangsa Indonesia tidak percaya dengan adanya teknologi?

          Saya berpendapat tentu sangat percaya teknologi, tetapi rasa kekhawatiran yang tinggi akan terjadinya hujan lebat. Seperti, ajang balap motor sebelumnya, maka mau tidak mau tindakan yang berbau klenik pun dilibatkan.

          Ya, meskipun ajang MotoGP bertaraf internasional, namun aksi Rara Isti Wulandari sang pawang hujan dari Bali pun beraksi untuk menyingkirkan hujan. Dengan seperangkat sesaji, sang pawang hujan tersebut beraksi bak super hero. Untuk mengusir mendung yang menggelayuti sirkuit Manddalika.

          Selanjutnya, berharap besar agar hujan tidak membasahi kawasan sirkuit Mandalika. Kenyataannya? Yang nonton MotoGP baik langsung maupun lewat TV pasti paham jawabannya.


Postingan akun MotoGP tentang pawang hujan

Postingan akun resmi MotoGP yang menunjukan aksi pawang hujan, saat hujan turun (Sumber: Twitter MotoGP/screenshot)

         

 

Pawang Hujan Rara Ayu Wulandari di ajang MotoGP Manddalika

Rara Isti Wulandari, sang pawang hujan sedang beraksi melakukan ritual untuk mengusir mendung (Sumber: Bola.com)

 

         

          Hari ini, saya bersyukur sempat berbincang-bincang dengan mantan chef hotel berbintang yang tinggal di kawasan Gianyar Bali. Dia chef ternama yang sudah pensiun, dan pernah bertugas di sebuah hotel berbintang di Lombok.

          Pernah pengalaman barbeque di halaman terbuka hotel dalam kondisi mendung. Pihak hotel pun pernah mengundang sang pawang hujan dengan pembayaran di muka 50%. Tentu, pihak hotel berharap agar mendung tersingkap dan menjauh dari acara hotel tersebut. Nyatanya, hujan turun dengan derasnya. Lucunya, sang pawang hujan melarikan diri tanpa permisi.

          Dari pengalaman nahas tersebut, maka sang chef ternama yang saya ajak bincang-bincang memberikan masukan. Agar, jika kondisi mendung, maka pihak hotel lebih baik menggunakan piranti lampu laser. Konon, alat tersebut manjur. Mendung pun minggir tak membasahi kawaasan acara di lapangan terbuka hotel.

 

“Orang Lombok sakti-sakti mas. Jika, kita pakai pawang hujan. Memang mendung menjauh. Tetapi, kita tidak tahu di luar sana juga ada acara yang menggunakan pawang hujan juga. Dampaknya, mendung pun tarik-menarik sesuai kesaktian sang pawang hujan. Tetapi, jika pakai laser, pawang hujan di luar sana tidak mampu mengalahkan teknologi”.

 

          Itulah sebabnya, kita seringkali melihat pawang hujan yang gagal total. Meski, sudah terkenal kesaktiannya. Karena, di lain tempat mungkin ada pawang hujan yang saling beradu kesaktian. Konon, menurut sang chef, jika memakai teknologi laser. Pawang hujan tidak mampu melawannya. Wallahu a’lam bissawab.

          Namun, hal terpenting yang perlu kita ketahui bahwa penggunaan sinar laser justru berdampak buruk bagi kondisi lingkungan. Sebelum pandemi, penggunaan laser sedang marak di Bali. Entah buat mengusir hujan untuk acara perusahaan, hajatan orang atau lainnya.

          Bahkan, lampu laser digunakan untuk menghalau hujan agar tidak merusak proses pengerjaan proyek besar. Dampak lampu laser tersebut membuat kondisi udara terasa panas. Karena, adanya pantulan sinar ke bumi lagi dari lampu laser tersebut. Kondisinya bak global warming, suhu udara menjadi naik dan badan mudah berkeringat.

          Menurut saya, apapun kondisi cuaca, kita tidak bisa melawan kehendak Allah. Meskipun, dengan Teknik Modifikasi Cuaca (TMC) seperti apa yang diungkapkan oleh Menparekraf RI. Atau, dengan menggunakan jasa pawang hujan. Jika Allah berkehendak hujan, segala teknik tersebut tidak ada gunanya. Jadi, apapun kondisi yang terjadi, harus diterima dengan baik.

          Uniknya, dengan kehadiran pawang hujan yang ada di ajang MotoGP Mandalika, membuat bangsa kita “seperti” tidak percaya teknologi. Anda pasti tahu bahwa para pembalap yang ikut even tersebut mayoritas dari luar negeri (bule).

          Menarik, aksi pawang hujan pun menjadi bahan hiburan dari salah satu pembalap yaitu Fabio Quartararo yang juara di podium posisi II. Ia sambil tertawa menirukan apa yang dilakukan oleh pawang hujan dengan memainkan mangkok. Dan, video tersebut trending di Twitter.


Pembalap Fabio Quartararo menirukan aksi pawang hujan (Sumber: Twitter MotoGP/screenshot)

 

          Dan, orang luar negeri mayoritas tidak percaya hal yang berbau tahayul atau tidak masuk logika. Mereka lebih mengedepankan hal-hal yang berbau ilmiah atau teknologi. Meskipun, orang bule akan percaya dengan tahayul jika terbukti nyata. Kalau tidak terbukti? Ya, akan menjadi tertawaan mereka dalam hati. Mungkin mereka akan berkata:

 

“Bro-bro, jaman udah canggih masih pakai ilmu-ilmu begituan. Nggak update banget sih”.     

 

          Saya berharap, semoga aksi pawang hujan hanya menjadi hiburan semata, khususnya buat para bule. Mereka menganggap bahwa aksi pawang hujan memang sebagai kearifan lokal bangsa Indonesia yang perlu diketahui mereka. Sayangnya, aksi pawang hujan telah menjadi bahan nyinyiran para netizen +62 di medsos. Banyak ragam alasan yang mereka lontarkan. Dan, semuanya menjadi hiburan semata. Jangan terlalu diambil hati. Yuk, kita ngopi! 


Post a Comment for "Klenik di Ajang MotoGP Mandalika "