Mampukah Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Dunia?
Ekonomi syariah memberikan
kesejahteraan bagi siapapun (Sumber: www.ibadah.id)
Saat ekonomi
konvensional belum mampu melakukan penetrasi kepada semua kalangan khususnya
masyarakat Muslim dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam maka
munculnya ekonomi syariah menjadi solusi terbaik bagi siapapun. Lantas
bagaimana dengan ekonomi syariah di negeri ini? Untuk “memasyarakatkan ekonomi
syariah” maka Pemerintah Indonesia sangat serius melakukan terobosan seperti pelaksanaan program GRES
(Gerakan Ekonomi Syariah). Di mana, program GRES merupakan inisiatif dari
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan didukung seluruh pemangku
kepentingan (stakeholder) keuangan
syariah, seperti Bank Indonesia (BI).
GRES
sendiri diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 17
November 2013. GRES diklaim sebagai upaya bersama mempercepat pertumbuhan
industri keuangan syariah dan meningkatkan peranan lembaga keuangan syariah
untuk berkontribusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara inklusif yang
melibatkan otoritas, pelaku industri, lembaga penunjang, dan stakeholders lainnya, baik dari sisi
penyedia atau pengguna jasa keuangan syariah yang sudah ada maupun yang
potensial.
Selanjutnya, “Perkumpulan Masyarakat Ekonomi Syariah” yang disingkat dengan
MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) atau Islamic
Economic Society, dalam bahasa Arab disebut Mujtama’ al-Iqtishad al-Islami didirikan tanggal 26 Maret 2001 dan
dideklarasikan pada tanggal 27 Maret 2001 di Jakarta. Perlu diketahui bahwa kontribusi
MES dalam mensosialisasikan ekonomi syariah sangat diperhitungkan. Bahkan, MES
telah menyelenggarakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Jakarta
pada bulan Mei 2006 bertepatan dengan penyelenggaraan Indonesia Sharia Expo I. MES telah mendedikasikan sebagai mitra
pemerintah (legislatif dan eksekutif), Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dalam mengembangkan ekonomi syariah.
Perkembangan
Ekonomi Syariah
Perkembangan ekonomi syariah di
Indonesia bukanlah tanpa tujuan. Bahkan, menurut kitab suci Al Qur’an sendiri
menegaskan bahwa gaung ekonomi syariah khususnya di Indonesia mempunyai 4 macam
tujuan yang signifikan, yaitu:
1.
Kegiatan
ekonomi atau muamalah untuk
memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas norma-norma moral Islami
(QS. 2:60, 168, 172; 6:142; 7:31, 160; 16:114; 20:81; 23:51; 34:15; 67:15).
2.
Tatanan
ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan
keadilan universal (QS. 49:13).
3.
Distribusi
pendapatan yang seimbang, karena agama Islam mempunyai komitmen yang tinggi
terhadap persaudaraan manusia dan keadilan.
4.
Tatanan
ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks
kesejahteraan social (QS. 7:157).
Selanjutnya,
secara garis besar, sejarah perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dibagi
dalam 3 fase, yaitu:
1. Fase Awal Kemunculan
Fase
ini menggambarakan bahwa diskusi mengenai lembaga keuangan syariah sebagai
salah satu pilar ekonomi masyarakat Indonesia telah dimulai sejak awal tahun
1980-an. Hanya saja, baru di awal periode 1990-an pendirian lembaga keuangan
Islam ini bisa terealisasi, yaitu dengan kehadiran Bank Muamalat Indonesia di
tahun 1992, sebagai lembaga keuangan pertama di Indonesia yang menerapkan
prinsip syariah dalam setiap kegiatan transaksinya. Selanjutnya, lembaga
keuangan syariah lain mulai muncul seperti PT Syarikat Takaful Indonesia
(perusahaan asuransi) di tahun 1994. Dan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) sebagai
lembaga keuangan dan utang-piutang masyarakat menengah-bawah.
2. Fase Pencerahan
Fase
ini menggambarkan tentang harapan masyarakat dan meningkatkan kesadaran umat
Muslim. Tahun 1998, pemerintah mulai memberlakukan sebuah aturan ekonomi
syariah melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yang memberikan arahan kepada
banyak lembaga keuangan konvensional untuk turut menyediakan divisi perbankan
syariah, atau bahkan mengonversi secara total menjadi lembaga keuangan syariah.
Bahkan,
tahun 1999, MUI (Majelis Ulama Indonesia) membentuk sebuah lembaga yang
bertugas untuk mengawasi pelaksanaan dan implementasi ekonomi syariah yang
dinamakan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Lembaga tersebut beranggotakan para ahli hukum Islam dan praktisi ekonomi ini,
bertugas untuk menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip
hukum Islam, untuk kemudian dijadikan pedoman dalam implementasi ekonomi
syariah di Indonesia.
3. Fase Kebangkitan
Fase
ini menggambarkan tentang berdirinya sebuah organisasi yang bertujuan untuk
melaksanakan program ekonomi syariah secara terstruktur dan berkesinambungan.
Organisasi ini dinamakan Perkumpulan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) atau Islamic Economic Society. Pembentukan
organisasi ini menandakan bahwa masyarakat muslim Indonesia telah menginginkan
adanya sebuah percepatan dalam penerapan dan pengembangan ekonomi syariah.
Akselerasi ekonomi syariah di
Indonesia mempunyai perkembangan yang baik di berbagai bidang. Perkembangan ekonomi syariah bisa dilihat dari sisi
keuangan dan non keuangan. Perkembangan dari Sisi Keuangan bisa dilihat dari fakta sebagai berikut:
1. Di
sektor perbankan,
telah berdiri 12 Bank Umum Syariah (BUS) dengan 2.121 kantor (termasuk Kantor
Cabang Pembantu (KCP), Unit Pelayanan Syariah (UPS), dan Kantor Kas (KK)), 22
Unit Usaha Syariah (UUS) dan 162 Bank Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS) (Data
Statistik Perbankan Syariah Juni 2015).
2. Di
sektor pasar modal,
produk keuangan syariah seperti reksadana dan obligasi syariah juga terus
meningkat. Saat ini terdapat 80 reksadana syariah dengan jumlah dana
kelola 11,79 trilyun rupiah di bulan Mei 2015.
3. Di sektor saham, bulan Maret 2015 jumlah saham
syariah naik menjadi 335 buah. Jumlah ini setara dengan 48 persen dari total
saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Dengan jumlah
mencapai 2.946,89 triliun rupiah.
4. Di
sektor asuransi, dari
data yang dihimpun Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), pangsa pasar
asuransi syariah pada 2015 dari sisi aset menjadi 5,43 persen dari 4,83 persen
pada 2014. Pangsa pasar dari sisi premi mencapai 6,55 persen dari 5,25 persen
pada 2014 dan investasi menjadi 6,19 persen dari 5,44 persen. Pada 2015 pertumbuhan
aset industri asuransi syariah mencapai 18,58 persen, investasi tumbuh 18,57
persen, dan kontribusi tumbuh 13,01 persen.
5. Di
bidang multifinance
pun semakin berkembang dengan meningkatnya minat beberapa perusahaan multifinance dengan pembiayaan secara
syariah (syariah financing).
6. Di
sektor mikro,
perkembangannya cukup menggembirakan. Lembaga keuangan mikro syariah seperti
Baitul Mal wa Tamwil (BMT) terus bertambah, hingga tahun 2015 telah
mencapai aset sebesar Rp 4,7 triliun dan jumlah pembiayaan sebesar Rp 3,6
triliun. Produk-produk keuangan mikro lain semisal micro-insurance dan
mungkin micro-mutual-fund (reksa dana mikro) juga dikembangkan.
Sedangkan, perkembangan ekonomi
syariah dari Sisi Non Keuangan yaitu: perilaku ekonomi secara syariah seperti perilaku konsumsi, giving behavior (kedermawanan), dan
sebagainya tetapi pelan-pelan mulai naik. Hal ini ditandai dengan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perilaku konsumsi yang Islami,
tingkat kedermawanan yang semakin meningkat ditandai oleh meningkatnya dana
zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang berhasil dihimpun oleh badan dan lembaga
pengelola dana-dana tersebut. Serta, industri syariah non keuangan seperti
produk halal, wisata syariah, fashion syariah, dan lain-lain mulai tumbuh
secara signifikan.
Faktor Pendorong
Tidak dipungkiri bahwa
perkembangan ekonomi syariah masih tertinggal dibandingkan dengan bangsa lain.
Namun, jika melihat potensi yang ada maka bangsa Indonesia bisa menjadi pusat
dari ekonomi syariah dunia. Tentunya, siap atau tidaknya bangsa Indonesia untuk
menjadi kiblat dari ekonomi syariah dunia tidak terlepas dari fakto-faktor
pendorong yang mampu membawa bangsa Indonesia menjadi Leader of Sharia Economy.
Adapun, faktor-faktor pendorong yang bisa merubah bangssa
Indonesia untuk tampil terdepan dalam kancah ekonomi syariah di dunia dibagi
dalam 2 kelompok yaitu: faktor eksternal
dan internal. Faktor eksternal
adalah penyebab yang datang dari luar negeri, di antaranya perkembangan ekonomi
syariah di negara-negara lain, baik yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun
tidak. Kesadaran negara-negara selain Indonesia dalam mengembangkan ekonomi
syariah ’mewabah’ ke negara-negara lain dan akhirnya sampai ke Indonesia.
Sedangkan, faktor internal adalah faktor yang
ada pada diri bangsa Indonesia seperti: a) kenyataan bahwa Indonesia
ditakdirkan menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Kondisi
ini menyadarkan sebagian cendikiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya ekonomi
syariah yang dijalankan oleh masyarakat Muslim di Indonesia; b) faktor politis
juga berpengaruh seperti membaiknya komunikasi agama Islam dan negara menjelang
akhir milenium yang membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi dengan
prinsip syariah; c) Meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor
pendorong berkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Apalagi, kelas menengah
Muslim perkotaan yang terdidik dan relijius membawa semangat dan harapan baru
bagi industri keuangan syariah; d) Pengalaman bahwa sistem keuangan syariah
tampak cukup kuat menghadapi krisis global tahun 1997-1998, 2008 dan 2012. Bank
syariah masih dapat berdiri kokoh ketika ”badai” itu menerpa dan merontokkan
industri keuangan di Indonesia; dan e) Rasionalitas bisnis juga ikut andil
membesarkan ekonomi syariah. Banyak pebisnis yang bukan beragama Islam juga
terjun membesarkan ekonomi syariah dengan alasan keuntungan.
Untuk meningkatkan akselerasi ekonomi syariah, Pemerintah juga memberikan berkontribusi
besar. Bank Indonesia (BI) menggandeng 3 Lembaga Islam, yaitu Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Badan Wakaf Indonesia, dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Kerjasama ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) yang dilakukan
di kantor MUI Jakarta pada tanggal 24 Januari 2018 oleh Gubernur BI, Agus D.W.
Martowardojo, Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin, dan Ketua Badan Pelaksana BWI,
Muhammad Nuh, dan ketua Baznas, Bambang Sudibyo.
Menurut Gubernur BI Agus DW Martowardojo menyatakan bahwa
ekonomi dan keuangan syariah menjunjung tinggi prinsip dan nilai-nilai keadilan,
kebersamaan, dan keseimbangan. Prinsip-prinsip tersebut kemudian membentuk
perilaku ekonomi dalam rangka memperkuat struktur ekonomi domestik seperti
mendorong konsumsi terhadap bahan pokok hasil produksi lokal, penguatan basis
produksi secara lebih merata, memperkuat basis konsumsi, anti spekulasi serta
penyediaan fasilitas pendukung yang mendorong efisiensi dan daya saing
nasional. Ekonomi syariah bisa diterima di kalangan manapun.
BI menyepakati komitmen pengembangan ekonomi syariah di
Indonesia dengan tiga lembaga,
yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Wakaf
Indonesia, dan Badan Amil
Zakat Nasional (Baznas) (Sumber: Liputan6.com)
Pihak Bank Indonesia (BI) sendiri memandang bahwa dengan
pengembangan ekonomi syariah akan berdampak pada peningkatan pangsa pasar
keuangan syariah, khususnya perbankan syariah. Saat ini, pangsa pasar perbankan
masih mencapai 5,3 persen terhadap seluruh aset industri perbankan nasional. Dan,
bangsa Indonesia harus mengejar ketertinggalan pangsa pasar perbankan syariah yang
masih tertinggal jauh dibanding negara-negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, seperti Malaysia 23,8 persen, Arab Saudi 51,1 persen, dan Uni
Emirat Arab 19,6 persen. Menurut Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, dengan mengembangkan ekonomi syariah khususnya pada potensi
industri halal, diyakini dapat menopang di berbagai sektor. Sebagai informasi, potensi
volume industri halal global yang diperkirakan dapat mencapai 6,38 triliun
dollar AS pada tahun 2021 mendatang.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo (Sumber: detikcom)
Ekonomi
Syariah sangat diharapkan bangsa Indonesia karena memberikan sumbangan besar bagi
perkembagan ekonomi nasional. Ada 3 hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi
nasional, di antaranya:
1.
Ekonomi
syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman
terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh
lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil.
2.
Ekonomi
syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi
luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya
berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor
dari negara-negara petro-dollar ini
untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
3.
Gerakan
ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat
Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan
keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti
sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
Semua
kalangan berharap bahwa potensi ekonomi syariah bisa dimaksimalkan. Apalagi,
jika bangsa Indonesia ingin menjadi pemain terdepan dalam ekonomi syariah di
dunia maka harus melakukan berbagai cara untuk mewujudkan target tersebut.
Lagi, menurut Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa untuk mendorong
perkembangan ekonomi syariah maka harus menciptakan ruang untuk 'penumpang'.
Maksudnya, bangsa Indonesia jangan menjadi
pasar dan objek pemasaran saja tetapi harus mampu mengembangkannya.
Sebagai contoh,
pesantren merupakan basis awal untuk mengembangkan potensi ekonomi syariah yang
perlu dibentuk asosiasi dari setiap
sektor seperti bisnis travel, restoran hingga logistik yang syariah. Juga,
perlunya pengembangan produk keuangan agar mendorong pertumbuhan ekonomi
syariah yang ditopang dengan edukasi, kampanye dan sosialisasi yang baik ke
masyarakat. Dan, penopang pertumbuhan ekonomi syariah ini harus dilakukan
secara terus-menerus.
Referensi:
Post a Comment for "Mampukah Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Dunia?"