Drama Emosi dan Air Mata itu Bernama Mudik Lebaran
emosi dan air mata (Sumber: dokumen pribadi)
Ada peribahasa yang
menyatakan bahwa sejauh-jauhnya tupai
melompat pasti akan jatuh juga. Sebuah peribahasa yang menyentuh alam sadar
kita. Di mana kehebatan sang tupai dalam melompat tidak diragukan lagi tetapi
akan menemukan masa kelamnya jatuh ke tanah. Begitu juga manusia, kehebatan
manusia menjelajah hingga ke kutub dunia manapun, mereka akan menemukan rasa
rindu dan kangen akan kampung halaman.
Manusia pada
dasarnya mempunyai sifat fitrah yang
berarti bukan hanya bersih atau suci saat lahir tetapi mereka juga akan kembali
ke dasar di mana mereka dilahirkan. Maksudnya, manusia akan merindukan di mana
mereka dilahirkan untuk menemui orang tua, keluarga dan sahabat-sahabat
kecilnya.
Banyak hal menarik
yang dilakukan manusia untuk menemui titik dasar di mana mereka dilahirkan.
Dan, mereka akan menemuinya pada saat terbaik untuk meluapkan kegembiraan seperti
“anak kecil” di hadapan orang tua yang telah membesarkan jiwanya. Mudik yang berarti “menuju ke udik (kampung
atau desa) bukan sekedar ritual biasa. Tetapi, sebuah ritual indah yang
menguras emosi dan air mata.
Kangen
dan Rindu
Mudik Lebaran atau
Hari Raya Idul Fitri merupakan sebuah pengorbanan besar manusia untuk menemuai
fitrahnya. Sejauh apapun, secanggih apapun, sekaya apapun, sehebat apapun manusia
berkelana hingga ke ujung dunia, maka mudik lebaran merupakan wujud bakti
manusia yang berusaha untuk menemui orang tua yang telah membesarkannya.
Meskipun, orang tua tinggal di gubuk reot sekalipun.
Kadangkala, mudik Lebaran
merupakan sarana mempertemukan dua dunia yang berbeda. Dunia orang tua yang
bergerak dalam lingkup yang kecil di mana mereka mulai memahami hidup ini “amung sadermo nglakoni” (cuma melakukan
yang ringan-ringan saja). Orang tua mulai mencari tempat yang membuat mereka
betah untuk merenda masa tuanya. Dan, kampung halaman merupakan sarana yang
cocok untuk melanjutkan kehidupannya hingga tua.
Sedangkan, sang
anak yang mulai berpikiran maju bergerak tanpa batas melintasi dunia. Mereka
menggapai mimpi semaksimal mungkin hingga ke kutub dunia sekalipun. Kemudian
mereka berhasil menjadi orang besar, sukses dalam usaha atau menjadi pejabat
penting. Namun, sang anak tetaplah sadar betul bahwa kesuksesan, kehebatan,
jabatan yang diembannya merupakan hasil cetak orang tua sejak kecil.
Di sinilah hebatnya
sebuah ritual indah yang bernama Mudik Lebaran. Sang anak yang berasal dari
penjuru dunia manapun bersusah payah hanya
untuk menemui raga orang tua yang kian melemah. Rambut mulai beruban, wajah
mulai banyak keriput atau daya ingat mulai berkurang dan lain-lain. Inilah
salah satu bukti bakti sang anak terhadap orang tua.
Bahkan, ritual
Mudik Lebaran menjadi sarana yang indah untuk menjalin silaturahmi, mengenalkan
lebih jauh keluarga baru atau membangkitkan motivasi orang tua kepada anaknya. Banyak
orang tua yang berpesan kepada anaknya agar selalu ingat Tuhannya.
Mudik Lebaran yang
luar biasa juga menjadi agenda nasional. Betapa hebatnya acara mudik yang melibatkan
banyak personil TNI, Polri dan badan lainnya dengan tujuan jalur mudik aman dan
terkendali. Berbagai sponsor perusahaan pun jor-joran
memberikan kemudahan mendapatkan pelayanan saat mudik. Dari pijat gratis hingga
produk gratis.
Pemerintah juga
bersiap siaga 24 jam selama periode mudik di tiap-tiap titik yang dianggap
rawan kecelakaan dan kejahatan. Perusahaan transportasi baik plat merah maupun swasta berusaha untuk
melayani penumpang sebaik mungkin. Tetapi, pada kenyataannya selalu tiket terjual
habis. Bukan itu saja, berdesak-desakan untuk mendapatkan tempat duduk atau
tiduran selama perjalanan diperjuangkan hingga debu berpadu dengan keringat.
Jatuh korban atau
korban terinjak-injak saat berebutan tempat duduk sering anda lihat dalam acara
mudik seperti di perjalanan kapal laut. Mereka juga harus bersabar menunggu sarana
transportasi yang akan membawanya ke kampung halaman. Berbagai macam drama
mudik Lebaran mempunyai satu muara: bertemu
orang tua, saudara atau teman kecil mereka.
Mudik
ke Ngawi
Sudah lebih sewindu
saya tinggal mencari penghidupan di Kota Denpasar Bali. Tujuan mudik ada dua
tempat yaitu Kota Ngawi Jawa Timur dan Brebes Jawa Tengah. Kota Ngawi Jawa Timur
adalah kampung halaman kedua saya yang tertera dalam kartu identitas (KTP).
Kota kecil di mana saya mulai merenda kehidupan baru. Mulai membuat rumah kecil
nan indah untuk kehidupan masa tua atau pensiun.
Kota Ngawi Jawa Timur, Kampung
halaman kedua yang selalu
membuat kangen untuk mudik Lebaran (Sumber: dokumen
pribadi)
Sedangkan, Brebes
Jawa Tengah adalah kota kecil yang mulai berkembang karena dibangunnya jalur
tol dari Jakarta hingga Surabaya. Kampung halaman pertama yang memberikan
banyak kenangan sejak dilahirkan hingga menginjak remaja. Kampung halaman yang
memberikan kebahagiaan masa kecil di mana teman-teman kecil mulai menimang
cucu-cucu mereka.
Tahun ini, saya
berniat mudik Lebaran dengan menggunakan sepeda motor ke Kota Ngawi Jawa Timur.
Jarak lintasan sekali jalan yang akan ditempuh kurang lebih 700 km. Perjalanan
panjang yang akan menguras tenaga, emosi, pikiran dan biaya. Sebuah jalur mudik
yang dikenal ganas dengan para monster
(truk kontainer dan bus malam raja jalanan) yang beringas di kala malam hari.
Si hitam masuk bengkel dulu untuk
persiapan mudik
Lebaran (Sumber: dokumen pribadi)
Jalur mudik pun
tentu akan melewati penyeberangan di pelabuhan Gilimanuk-Ketapang yang benar-benar akan menguras emosi. Betapa
tidak, jalur antrian masuk kapal penyeberangan pernah mengular hingga 8 km
memenuhi jalur Hutan Bali Barat. Tidak bisa dibayangkan, mulai ngantri sore
hari dan masuk kapal paling cepat menjelang pagi. Jika, jalur yang dilewati
banyak kendala seperti kondisi gelombang laut yang ekstrem maka masuk kapal akan dimulai keesokan harinya.
Saya terbiasa
pulang mudik Lebaran berangkat dari Kota Denpasar sore hari maka sampai di
Pelabuhan Gilimanuk menjelang isya. Jika mudik Lebaran kurang lebih 10 hari
menjelang Hari-H maka berpeluang besar bisa terhindar dari anrian yang krodit
untuk masuk kapal. Tetapi, jika mudik Lebaran kurang lebih H-3 Lebaran antrian
panjang masuk kapal harus diterima dengan senyuman kecut.
Sehabis melewati kurang
lebih 1 jam di kapal penyeberangan, maka perjalanan akan menemui babak baru.
Jalur Banyuwangi hingga Surabaya rerata membutuhkan waktu 7-9 jam tanpa
istirahat tidur. Dengan kata lain, jika anda istirahat normal untuk melepaskan
penat selama perjalanan 15-30 menit lamanya.
Permasalahan akan
timbul jika rasa kantuk mendera. Jika tidur maka waktu yang dibutuhkan bisa
“ngaret” beberapa jam. Tetapi, jika dipaksakan maka sangat berbahaya dalam
perjalanan. Untuk relaksasi tubuh, anda bisa menyempatkan diri
untuk mampir sebentar di tempat wisata yang berada pada jalur wisata tersebut. Banyak
spot wisata yang bisa anda sambangi.
Berkunjung ke tempat wisata Miniatur
Kabah yang terletak di
Dringu Kabupaten Probolinggo (Sumber: dokumen pribadi)
Dringu Kabupaten Probolinggo (Sumber: dokumen pribadi)
Jalur mudik yang
membutuhkan perhatian khusus bagi
pengendara justru berada pada jalur Surabaya - Ngawi. Jalur ini terkenal
“kejam” karena dikuasai bukan hanya para monster tetapi bus Jawa Timuran yang
terkenal ugal-ugalan seperti Eka,
Mira, Sumber Rahayu, Sumber Selamat, Akas, Restu dan lain-lain.
Apalagi, bus
seperti Mira, Sumber Rahayu dan Sumber Selamat sudah dikenal masyarakat Jawa
Timur sebagai “malaikat pencabut nyawa”. Jika, sang raja jalanan lewat maka
anda lebih baik mengalah. Bis-bis tersebut dengan sesuka hati menyerobot jalur
lain. Kebut-kebutan sudah menjadi makanan sehari-hari karena harus berebut
setoran.
Bagi
anda yang mudik melewati jalur tengkorak Surabaya-Ngawi membutukan perhatian
ekstra tinggi. Pada jalur Wilangan Nganjuk hingga Ngawi masih banyak lubang
jalan atau tambal sulam yang bisa membahayakan nyawa anda sewaktu-waktu. Saya sangat
berhati-hati saat melewati jalur berbahaya. Dan, sudah sering melihat orang
mengalami kecelakaan di jalur tersebut.
Bagi
orang biasa, Mudik Lebaran sepertinya identik dengan pertaruhan nyawa. Mereka
harus siap-siap bertaruh air mata selama proses perjalanan mudik. Mereka ingin
menunjukan kegembiraan di hadapan orang tua dan keluarga bahwa kondisinya
baik-baik saja. Serta, ingn menunjukan bukti sukses dan bahagianya di hadapan
orang tua dan keluarga.
Bisa berkomunikasi dengan orang tua
di sawah selalu
membuat kangen mudik lebaran ( Sumber: dokuemn pribadi)
Banyak
orang tua yang tidak berharap lebih pada anaknya. Kehadiran anak saat Lebaran
bisa menghapus kerinduan yang mereka pendam selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Begitu sebaliknya dengan anak. Sang anak juga ingin bertatap
muka langsung, memeluk raganya bahkan bisa bersimpuh atau bersujud di
hadapannya sebagai rasa bakti dan hormat anak kepada orang tuanya.
Teringat
lagu melankolis pedangdut Evie Tamala yang bercerita tentang kangen atau rindu.
Sepenggal lirik yang membuat kita tergugah untuk bertemu orang tua di saat
Lebaran, “ kangen wong kangen, opo-opo
tambane. Rindu-rindu tambane kudu ketemu” .
Ya, obatnya kangen
dan rindu bukanlah harta atau uang melimpah yang ditransfer melalui rekening
bank oleh sang anak kepada orang tua dari berbagai belahan dunia manapun.
Tetapi, mengobati kangen dan rindu melalui satu solusi yaitu: harus bertemu
muka langsung. Dan, mudik Lebaran merupakan solusi untuk meluapkan rasa rindu
baik anak atau orang tua dalam satu ritual indah yang penuh emosi dan air mata.
Artikel ini juga tayang di Kompasiana
Post a Comment for "Drama Emosi dan Air Mata itu Bernama Mudik Lebaran"