Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pro dan Kontra “Pecingan”, Salam Tempel Khas Brebes dalam Tradisi Lebaran



Salam tempel Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran diBrebes 
dikenal dengan nama Pecingan (Sumber: dagelan.co)



Hari Raya Idul Firi adalah hari raya kemenangan yang di dalamnya berbagi kebahagiaan. Berkumpul dengan keluarga saat hari raya adalah dambaan setiap orang meskipun ladang mencari rejeki jauh di kutub bumi sekalipun. Pulang kampung atau biasa disebut mudik merupakan fenomena menjelang hari raya Lebaran. Setiap orang mempunyai tujuan yang sama, bertemu orang tua atau sanak keluarga.
Dan, Hari Raya idul  Fitri menjadi ajang yang tepat untuk berbagai rejeki bagi keluarga dan saudara. Salah satu cara berbagi rejeki buat keluarga adalah dengan memberikan sejumlah uang yang lebih dikenal dengan nama “salam tempel”. Sedangkan, salam tempel khas Brebes, kampung halaman saya lebih familiar dengan sebutan Pecingan.   
Pecingan bisa menjadi sarana untuk menunjukkan kesuksesan seseorang mencari rejeki di tanah seberang. Dengan pecingan, maka seseorang bisa dihargai di lingkungan keluarganya. Besaran pecingan ditentukan seberapa besar kesuksesan yang diraih oleh seseorang. Bahkan, pecingan juga dipengaruhi oleh kebiasaan yang beredar dalam suatu keluarga.

Pro Pecingan
Meskipun Pecingan sebagai aplikasi diri untuk saling berbagi, tetapi pada faktanya Pecingan juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat khususnya di Brebes Jawa Tengah. Masyarakat yang pro terhadap tradisi pecingan biasanya beranggapan bahwa memberi pecingan kepada orang lain khususnya saudara sebagai bukti untuk berbagai rejeki di hari raya layaknya etnis Tionghoa berbagi angpao kepada keluarga dan saudaranya.
Mereka beranggapan bahwa pecingan tidak dilakukan setiap hari.  Toh, hanya dilakukan setahun sekali di hari raya. Bahkan, dengan pecingan bisa merekatkan hubungan persaudaraan. Pecingan menjadi ajang untuk saling mengenal antar anggota keluarga. Bahkan, bagi anggota keluarga yang baru dalam lingkup keluarga besar.
Saat pecingan diberikan kepada orang lain maka biasanya akan muncul doa-doa atau harapan dari orang yang diberi. Ini menjadi pemantik semangat bagi anda yang hidup merantau dan jauh dari keluarga. Bahkan, pecingan bisa menjadi lahan untuk berbagi rejeki bagi orang lain atau anggota keluarga yang hidup dalam kondisi belum beruntung seperti anda.


Pecingan, melengkapi kegembiraan di Hari 
Raya Idul Fitri (Sumber: okezone)


Pecingan dalam tradisi masyarakat Brebes menjadi prioritas saat pulang ke kampung halaman. Apalagi, jika anda mendulang kesuksesan yang luar biasa di perantauan maka besaran pecingan membuat keluarga atau saudara tersenyum lebar. Ada anggapan masyarakat bahwa memberi lebih baik dari pada menerima. Itulah sebabnya, pecingan menjadi tradisi para perantau saat pulang kampung.      
Memberikan Pecingan menjadi sebuah kebanggaan para perantau saat hari raya. Mereka bisa menyisihkan sebagian hartanya layaknya menyisihkan kewajiban zakat. Itulah sebabnya, dana untuk pecingan sudah diatur sedemikian rupa dari besaran dan jumlah orang yang akan diberi. Jangan, kaget jika tempat penukaran uang seperti di Bank Indonesia atau jasa penukar uang di pinggir-pinggir jalan menjelang hari raya banyak diburu orang.
Para perantau menukar sejumlah uang hingga ratusan juta dengan tujuan untuk dijadikan sebagai pecingan. Senyum mereka selalu merekah tatkala bisa menukarkan uangnya dengan uang pecahan kecil. Di sisi lain, Bak cendawan di musim hujan, jasa penukar uang menjadi lahan yang subur untuk mendulang rejeki.
Konsumen yang menukarkan uang ke pecahan kecil pun beragam, dari orang biasa hingga orang yang bermobil mewah. Tujuan mereka hanya satu, bisa memberikan pecingan ke keluarga, saudara dan kerabatnya. Jika, uangnya berlebih dan yang pemberi pecingan adalah seorang pejabat daerah maka acara open house menjadi lahan untuk mengenalkan ke masyarakat. 
Masyarakat bisa mengenal pejabat tertentu dan masyarakat pun bisa merasa dekat dengan pejabatnya sambil mendapatkan pecingan dengan jumlah tertentu. Kondisi ini menjadi hubungan saling menguntungkan, bukan? 

Kontra pecingan
Meskipun Pecingan bisa memberikan hal yang baik buat orang lain, tetapi pada kenyataannya pecingan juga menimbulkan kontra di kalangan masyarakat. Tradisi pecingan seperti menjadi sebuah “keharusan” bagi para perantau. Namun, perlu anda ketahui bahwa tidak semuanya perantau mendulang keberhasilan di daerah atau negeri orang.
Banyak perantau yang gagal mendapatkan rupiah. Kehidupan mereka di perantauan justru bagai puasa senin - kamis. Dan, untuk bisa pulang kampung saja, mereka rela melakukan apa saja demi bertemu orang tua dan keluarganya. Bahkan, tidak jarang para perantau yang berhutang pada tetangga atau para  rentenir untuk mendapatkan sejumlah uang. Mereka bela-belain berhutang demi menjaga nama baik dan gengsi di kampung halaman nanti.
Sudah beredar dalam sebuah tradisi khususnya di kampung saya bahwa tidak memberikan Pecingan seperti hilang nama baiknya. Bahkan, beredar anggapan masyarakat di kampung saya, “kerjane adoh-adoh, ndein pecingan nggo sedulure bae ora bisa. Kayong melasna temen ya” (kerjanya jauh-jauh, memberikan pecingan buat saudara saja tidak bisa. Kok, kasihan banget ya).
Rasa sakit dan malu tidak bisa hilang begitu saja. Dan, saya pernah mengalaminya. Saat usaha saya mengalami kebangkrutan, saya menyempatkan pulang ke kampung halaman dan tidak bisa memberikan pecingan buat keluarga. Maka, yang timbul adalah suara sumbang alias nyinyir yang nyasar hingga telinga saya. Rasanya seperti ingin balik lagi ke perantauan, tidak tahan rasa malu di hadapan keluarga dan saudara.
Keluarga dan saudara tidak tahu bagaimana kondisi anda selama setahun, bukan? Untung besarkah? Banyak kebutuhankah? Atau, jangan-jangan pepatah perantau yang sering kita dengar, “pulang malu, nggak pulang rindu” hinggap pada diri anda menjelang hari raya.
Keluarga dan saudara di kampung kan tahunya bahwa anda merantau pasti mendulang keberhasilan dan membawa segepok uang untuk pecingan. Kenyataannya, kehidupan anda sendiri dalam kondisi minus. Ibarat kata, bisa mudik saja syukur. Naiknya saja bis atau kereta ekonomi. Selama perjalanan berhemat sekali untuk tidak membeli makanan. Hanya menjadi penonton saat penumpang lainnya menikmati makanan enak.
Sebagai informasi, para perantau memberikan pecingan kepada keluarga yang dekat dengan orang tua sudah menjadi tradisi di kampung saya.  Sementara, keluarga atau saudara yang hidup di kampung dan dekat dengan orang tua anda justru hidup berkecukupan. Saat anda hidup merantau dan pulang ke kampung halaman kemudian harus memberikan pecingan ke keluarga di kampung halaman terasa tidak adil.
            Maka, saat tidak mempunyai dana yang cukup untuk memberikan pecingan,  saya mengurungkan niatnya untuk pulang kampung halaman. Meskipun, rasa kangen kepada orang tua tidak tertahankan. Sedih, bukan? Tetapi, itulah kenyataan bahwa sebuah tradisi mampu merenggangkan hubungan keluarga. Dan, saya pernah merasakannya, bagaimana rasanya pecingan kadangkala menghalangi untuk berhari raya di kampung halaman.
Kontra pecingan lainnya karena tradisi pecingan juga sering melibatkan jasa penukar uang yang ada di pinggir-pinggir jalan. Mereka menukarkan uangnya dengan mengambil untuk atau jasa penukaran yang bervariasi. Biasanya untuk setiap penukaran uang 100 ribu, diambil jasa penukaran uang sebesar 5 ribu.
Sekarang, berapa keuntungan jasa penukaran uang yang setiap harinya  bisa melepaskan uang nominal kecil hingga ratusan juta rupiah? Kondisi inilah yang banyak mengundang apresiasi dari berbagai kalangan bahwa jasa penukaran uang bisa masuk dalam kategori “riba”. Wallahu a’lam bissawab.     
Lanjut, di kalangan pejabat daerah, pecingan juga kadangkala menjadi ajang politik saat menjelang Pilkada. Acara open house yang dilakukan oleh incumbent atau bakal calon Kepala Daerah bisa menjadi lahan untuk mendulang suara atau simpati masyarakat. Jika tidak jeli, maka pecingan bisa menjadi ajang Money Politic.  


Salah satu acara open house yang dilakukan  
pejabat daerah (Sumber: Tribun Batam)

Jadi, tradisi pecingan menjadi hal yang mengundang kontra saat dilakukan untuk hal-hal yang berujung merugikan baik sang pemberi maupun yang menerima. Seperti, tradisi pecingan di kampung saya yang pada dasarnya tidak menjadi sebuah keharusan  bagi sang perantau. Tetapi, saat pecingan tidak bisa diberikan maka “nama baik” dan rasa malu tidak bisa tertahankan.
Sunguh berbeda dengan lingkungan keluarga saya di Ngawi Jawa Timur dan Solo Jawa Tengah , justru pecingan berlaku bagi anggota keluarga “yang dituakan” atau “merasa tua” dalam silsilah keluarga. Maka, anggota keluarga yang dianggap masih muda meskipun mereka sukses dalam karir atau berhasil dalam pekerjaan tertentu tidak diharuskan untuk memberikan pecingan. Bahkan, anak-anak mereka mendapatkan pecingan dari keluarga yang dianggap tua.
Sejatinya, memberikan pecingan merupakan proses atas  kesadaran diri sendiri. Setiap anggota keluarga saling memahami bahwa tidak selamanya keberhasilan menghinggapi para perantau. Ya, pecingan seharusnya tidak membebani bagi jiwa-jiwa yang ingin merayakan hari kemenangan di kampung halaman.

Pecingan juga hendaknya tidak menghalangi  para perantau untuk sungkem di depan orang tuanya. Karena, sejatinya bukanlah pecingan yang bisa kita harapkan saat hari Lebaran. Tetapi, kehadiran dan kekuatan hubungan silaturahmi adalah yang utama. Hubungan keluarga tidak bisa dibeli dengan uang, tetapi pecingan bisa hilang kapan pun saja. 





Artikel ini juga tayang di Kompasiana

Post a Comment for "Pro dan Kontra “Pecingan”, Salam Tempel Khas Brebes dalam Tradisi Lebaran "