Sawah, Sungai dan Kuburan, Tempat Bermain Waktu Kecil di Bulan Ramadhan
Masa kecil sungguh menyenangkan
(Sumber: loop.co.id)
Hidup di kampung
halaman, Brebes Jawa Tengah benar-benar menyenangkan. Apalagi, kehidupan masa
kecil saat bulan Ramadhan. Jika bulan Ramadhan datang maka minggu pertama
adalah masa libur sekolah. Sebagai anak
kecil, maka menyambut bulan Ramadhan dengan suka cita adalah hal wajar.
Bukan, karena
pahala yang berlipat ganda. Bukan karena memahami benar malam Lailatul
Qodar sebagai malam yang
lebih baik dari 1000 bulan. Tetapi, masa yang bebas dari pelajaran sekolah.
Tetapi, ciri khas
libur 1 minggu di awal bulan Ramadhan adalah masa yang selalu menggembirakan.
Karena, saya akan lebih bebas pergi ke sawah, jalan-jalan ke sungai yang
jaraknya hanya 1,5 km dari rumah dan pergi ke pesarean atau kuburan untuk mencari asam yang setengah matang.
Dalam bahasa anak kecil waktu itu disebut sebagai Asam “mladaki”.
“Nguli”
Panen Padi
Keluarga saya
bukanlah orang kaya atau juragan yang
mempunyai berhektar-hektar sawah. Bapak saya hanyalah seorang petani dan mandor
berhektar-hektar sawah milik tetangga satu gang yang letak sawahnya terletak
kurang lebih 25 km dari kampung halaman. Bapak selalu bekerja keras untuk
membuat rumah baru yang lebih layak.
Ya, rumah keluarga
saya hanyalah rumah berdinding bambu yang dicat pakai batu kapur warna putih.
Ketika dimakan usia maka cat kapur tersebut semakin lama akan mengelupas. Dan,
makin lama timbul lubang sehingga saya bisa melihat ke luar rumah dari
lubang-lubang dinding tersebut. Begitu sebaliknya.
Setelah pensiun menjadi
mandor, Bapak berusaha untuk menyewa tanah
sebagai tempat kesibukan keluarga. Tapi, entah nasib yang selalu sial
maka saat keluarga mempunyai sawah
sendiri justru kerugian yang selalu didapat. Karena Banjirlah, dimakan werenglah, harga gak cocoklah dan sebagainya.
Maka, menjadi buruh
panen padi (derep) menjadi kegiatan
rutin saat bulan Ramdhan. Karena, biasanya bulan Ramadhan adalah saat panen
raya. Dan, saya menghabisi masa kecil dengan membantu orang tua memanen padi
milik orang lain alias menjadi kuli panen padi.
Sebenarnya, orang
tua tidak memaksakan saya untuk membantu mereka. Tetapi, rasa kepedulian
seorang anak Sekolah Dasar (SD) justru lebih besar daripada hanya berpangku
tangan di rumah. Tidak tega rasanya melihat orang tua berpanas-panasan di sawah
mencari nafkah buat anak.
Sengatan
sinar matahari di sawah, merontokkan padi yang telah dipotong pada sebatang kayu
yang didesain sebagai alat perontok, mengemas dan mengangkatnya ke rumah sang
juragan yang jaraknya kurang lebih 5 km membuat badan benar-benar capai “tujuh
turunan”.
Harus melewati
pematang sawah atau galengan seperti
jalan kerbau. Uniknya, saya tak ada pikiran sama sekali untuk membatalkan
puasa. Salah satu cara terbaik untuk mempertahankan puasa adalah menenggelamkan
badan di air sawah. Dan, badan menjadi segar kembali.
Membantu orang tua memanen padi
(Sumber: sumampir.penadesa.or.id)
Bagaimana
dengan upah padi? Jaman kecil dulu berlaku sistem 5 bagian. Maksudnya, 1 bagian
buat kuli panen padi dan 5 bagian bagi sang juragan pemilik sawah. Jadi kalau
ingin mendapatkan padi basah satu karung maka perlu mendapatkan padi basah
sebanyak 6 karung. Luasan sawah yang dipanen kurang lebih 400m2.
Dan,
masa kecil yang tidak pernah saya lupakan hingga kini adalah berbuka puasa
dengan timun suri berbalut gula dan es batu. Rasa lelah sehabis panen padi
milik orang lain langsung hilang seketika. Bukan itu saja, melihat ruang tamu
yang dipenuhi dengan padi basah sebagai hasil jerih payah “nguli” panen padi
menjadi sebuah kebanggaan dan bekal untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri
(Lebaran).
Mencari
Ikan
Libur minggu
pertama di bulan Ramadhan juga menjadi kesempatan terbaik buat hangout khas anak desa. Bukan nongkrong
di warung makan seperti sekarang atau jalan-jalan ke mall gaya anak Jaman Now. Yang membuat heran saya
hingga sekarang adalah teman sepermainan yang berasal dari satu gang yang
memanjang dari arah barat ke timur yang panjangnya kurang lebih 1 km.
Di pertengahan gang
desa tersebut terbelah sungai kecil atau selokan. Nah, masa kecil saya justru
dihabiskan dengan teman-teman satu gang yang letaknya di sebelah timur selokan
tadi. Sementara saya tinggal di sebelah barat selokan tersebut.
Ada kesan waktu
kecil bahwa anak-anak yang terletak di sebelah barat selokan, jangkauan mainnya
hanya sekitar satu gang saja. Bisa dibilang kurang gaul atau banyak dikekang
orang tuanya karena mayoritas orang berkecukupan meskipun keluarga saya termasuk
keluarga biasa. Dan, sepertinya pesan para orang tua ke anaknya, “Tong, ari dolanan aja mana-mana ya”
(Nak, kalo bermain jangan ke mana-mana ya) benar-benar dipatuhi anak-anak gang
barat selokan waktu itu.
Lain dengan
anak-anak timur selokan yang terkesan anak “petualang”, mereka jangkauan
mainnya hingga ke gang sebelahnya. Bahkan, hingga ke sungai dekat kuburan yang
letaknya urang lebih 1,5 km dari batas kampung.
Nah,
karena jiwa saya suka “ngebolang” maka saya berusaha untuk merapat ke anak-anak
timur selokan yang notabene teman sekolah SD. Dari pergaulan inilah, jangkauan
main masa kecil sungguh luar biasa.
Kami suka
berpetualang mencari penghasilan khas anak kecil. Ya, suka menjelajah setiap
sudut sungai untuk mencari ikan. Cara
mencari ikannya pun lebih ekstrem,
bukan pakai pancing tapi langsung menangkap dengan tangan. Oarang desa lebih
mengenal sebagai “gogoh”.
Mencari ikan dengan tangan yang di
kampong saya
dikenal dengan nama “gogoh” (Sumber: video.com)
Jika sungai timur
desa dalam keadaan agak surut, maka saya dan teman-teman melakukan “gogoh” dari
arah selatan ke utara sungai sejauh kurang lebih 1km. Pengalaman “kepatil”
tangannya oleh sirip ikan bukanlah hal yang aneh.
Saya pernah
mengalami tangan membiru karena kepatil
sejenis ikan lele. Orang desa lebih mengenal dengan nama ikan Sembilang.
Sakitnya membuat meringis kesakitan hingga pulang ke rumah. Jadi, saya hanya
menjadi penonton teman-teman yang sedang mencari ikan.
Bahkan saya pernah
mengalami untuk mencari ikan ke sungai yang jaraknya lebih ke timur dari
kampung. Jaraknya kurang lebih 5 km. Saya dan teman-teman bukan hanya mencari
ikan tetapi mencari kerang sungai yang dikenal dengan nama “Cecelewek”. Saya harus pulang ke rumah menjelang Maghrib.
Sebenarnya orang
tua mau memarahi saya, tetapi karena bawaan saya berupa ikan dan cecelewek hampir satu kantong kresek
maka saya menerima pujian dari orang tua. “Dih,
bocah ka pinter nemen ya ari luruh iwak” (Wah, anak kok pinter banget ya
kalau mencari ikan).
Saya tidak
menyalahkan orang tua karena waktu kecil tentang mitos siluman sungai,
genderuwo, wewe gombel (kalong wewe)
dan kuntilanak masih sangat kuat dalam masyarakat. Orang tua mengkhawatirkan
jika ada hal-hal yang tidak diinginkan berhubungan dengan makhluk astral tersebut. Dan, sudah banyak
kejadian yang “dipercaya” berhubungan dengan makhluk-makhluk tersebut. Wallahu a’lam bissawab.
Asam
“Mladaki”
Sungai di timur
kampung saya membelah dari selatan ke utara. Dan, di sebelah barat sungai
tersebut terdapat pemakaman atau kuburan desa yang luasnya kurang lebih 2
hektar. Dan, di seberang pemakaman tersebut (timur sungai) terdapat pesarean atau lebih dikenal sebagai
tempat semedi atau menenangkan diri.
Di bagian utara pesarean seluas kurang lebih 2.500m2
terdapat dua makam. Saya sendiri tidak mengenal nama makam tersebut. Namun,
menurut orang-orang desa bahwa makam tersebut adalah makam keramat. Namun, bagi
saya dan teman-teman, tempat ini tidak memberikan aura seram atau angker saat
siang hari. Kalau malam justru memberikan kesan angker yang luar biasa.
Uniknya, pesarean tersebut justru menjadi tempat hangout atau bermain bagi anak-anak
desa. Saya sering belajar untuk persiapan Lomba Cerdas Cermat SD tentang P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan GBHN (Garis-garis Besar
Haluan Negara) di sini. Kebertulan, saya adalah wakil SD hingga Lomba Cerdas
Cermat P4 dan GBHN tingkat Kecamatan. Karena, saya sering main di pesarean maka sering buat guyonan bahwa
tim Cerdas Cermat kami sebagai “Anak Pesarean”.
Di pesarean yang luas ini juga, saya sering
menghabiskan waktu sore hari untuk latihan senam lantai. Waktu kecil, kelihaian
jungkir balik ala pesenam lantai di ajang Olimpiade menjadi sebuah prestige. Karena, tidak ada sasana untuk belajar senam
lantai dan tidak ada guru private
yang mau mengajari. Maka, belajar senam lantai beralaskan tanah pesarean menjadi proses pembelajaran senam lantai secara
otodidak.
Di bagian tenggara
dan barat pesarean terdapat pohon asam besar yang dikenal sebagai pohon asam yang
berbuah besaar-besar. Ketika musim buah tiba, maka pemandangan buah asam akan
menjadi hal yang menakjubkan. Saat orang tua tidak ada panenan padi milik orang
lain maka saya dan teman-teman sering mengadu nyali untuk mendapatkan asam
setengah matang yang dikenal dengan nama “asam mladaki”.
Asam ini bukanlah
asam matang yang tampak kecoklatan, tetapi asam yang tampak kuning layu. Cara
ntuk mengetahui bahwa asam tersebut asam “mladaki” adalah dengan menggoreskan
kuku pada kulit asam. Jika, kulit asam berwarna coklat tua maka asam siap-siap
dieksekusi. Sebagai informasi bahwa pohon asam tersebut bisa dipanen oleh siapa
saja, Jadi, tidak ada larangan dari siapapun termasuk juru kunci makam.
Saat bulan Ramadhan
paling seru berburu asam “mladaki” bersama teman-teman. Perlu nyali yang tinggi
karena saya harus memanjat pohon asam hingga ketinggian 50 meter. Dan, perlu
kelihaian kuku jempol untuk “kerok” kulit asam, apakah berwarna coklat tua atau
tidak. Karena, hanya kulit yang coklat tua yang bisa saya dan teman-teman ambil.
Rasa asam “mladaki”
memang bikin sensasi. Bukan sekedar rasa asam tetapi bercampur dengan rasa
pulen. Kadangkala, saya dan teman-yeman berlomba untuk mendapatkan asam “mladaki”
terpanjang. Sebuah tantangan yang tidak perlu membutuhkan hadiah. Dianggap
sebagai anak hebat jka mampu memanjat pohon asam tertinggi dan paling ujung
hingga ranting dahan melengkung ke bawah.
Menggoreskan atau kerok kuku di
kulit asam untuk
mengetahui asam setengah matang atau “mladaki”
(Sumber:
pertanianku.com)
Ya,
saat itu saya dan teman-teman tidak punya rasa takut sedikitpun. Semakin tinggi
memanjat pohon maka sensasi “anak pesarean” semakin hebat. Dan, saya pernah
merasakan hal itu. Ini dibuktikan saat saya dan teman-teman berantem dengan anak-anak gang tetangga
karena dilecehkan nama orang tuanya.
Saya juga pernah
berbuka puasa hanya dengan makan asam “mladaki” karena ngiler banget. Saya tidak mau makan
kolak timun suri dan pisang. Tetapi, asam “mladaki” menjadi menu utama. Saking
ketagihan, perut saya merasa mulas hingga malam hari dan merasa demam.
Saat demam, mitos
orang desa kala itu masih dikaitkan dengan hal gaib. Kata Bapak, “Kyeh, paling-paling kesambet sing tunggu pesarean” (Ini mungkin kena pengaruh dari makhluk
gaib penunggu pesarean). Saya pun terdiam
saat diobati sambil berharap kesembuhan dan bisa melakukan puasa keesokan
harinya.
Hingga sekarang
kalau ingat puasa masa kecil jadi tertawa sendiri. Berasa aneh dan lucu. Yang
bikin nggak percaya, “kok bisa seberani itu yah”. Berbeda dengan anak-anak Jaman Now kan?
Artikel ini juga tayang di Kompasiana
Post a Comment for "Sawah, Sungai dan Kuburan, Tempat Bermain Waktu Kecil di Bulan Ramadhan "