Wanita Cantik Penjaga Pintu
Ilustrasi (Sumber:
slideshare.net/diolah)
Tidak terhitung
jumlahnya air mata jatuh membasahi pipiku.
Kata orang, wajahku seperti artis cantik India, Preity Zinta. Makin
cantik saat menangis. Cocok sekali dengan namaku, Zinta Prita Mayasari. Tapi, aku
bukan menangis bahagia. Melainkan, menangisi
kepergian orang yang paling aku sayangi.
Kecantikanku tak
mampu menahan kedua kakiku yang lunglai tak berdaya. Aku bersimpuh di hadapan
tubuh yang kini terbujur kaku. Kain warna hijau yang bertuliskan
“Laailahailallah, Muhammadarrosulullah” memaksaku untuk membuka tirai wajahnya
yang sayu, pucat dan diam membisu. Dan, tiap kali membuka kain yang menutup
wajahnya yang cantik, saat itu juga air mataku tak tertahankan membasahi pipi.
“Ibuuu, mengapa engkau tega
meninggalkan aku” suaraku hampir terdengar seisi
ruangan di mana banyak pelayat berdesak-desakkan memenuhi bagian depan rumahku.
Aku tertunduk lesu kembali menatap
wajahnya yang tertutup kain hijau. Sepertinya tidak mau beranjak dari tempat
itu. Dan, sepertinya air mata sudah habis untuk menandingi kesedihanku.
“Zinta, yang sabar ya. Hentikan
tangismu itu. Biarlah ibumu pulang ke rumah-NYA dengan damai”
kata ibu yang duduk di sampingku.
Wajahnya cantik dan
tak berbeda dengan orang yang terkujur di depanku. Erna, ibu muda cantik yang
merupakan adik ibuku berusaha untuk menenangkan kesedihanku. Dia menghiburku
agar kesedihanku jangan berlarut-larut.
“Zinta, percayalah tangisanmu
tak mampu membawa ibumu hidup kembali. Relakan beliau kembali ke jalan yang
indah. Do’akanlah beliau agar tenang di sisi-NYA” sambung
seorang bapak muda yang berkusmis tipis menyambung pembicaraan kami. Dia adalah
Pak Sandi, istri dari ibu Erna yang tiada lain adalah pamanku.
Aku masih menahan
air mata dan berkali-kali mengusapnya untuk menghilangkan karut marut pikiranku.
Membayangkan kembali hidup seperti anak yatim piatu setelah ayah hilang tanpa
bekas 3 tahun lalu, sejak aku kelas 2 SMA.
Perawakan ayah yang
tinggi dan ganteng telah menghancurkan keceriaanku. Selama ini aku berusaha
tegar hidup tanpa kasih sayang ayah. begitu pun ibu. Sosok ibu yang selalu
tegar dan berusaha tersenyum kapan pun di depanku, anak semata wayang. Ibu yang
selalu berdiri depan pintu menunggu kedatangan ayah. Ibu mulai melupakan keberadaan
ayah tetapi tidak dendam atas kehilangannya. Ibu selalu mendoakan ayah.
Kini, aku harus
kehilangan orang yang paling saya sayangi. Orang yang selalu mengisi ruang
hatiku. Memberikan semangat saat aku mau ujian sekolah. Memberikan motivasi
agar aku menjadi orang yang berguna. Dan, selalu mendorongku suatu saat nanti
bisa bertemu ayah jika Allah Berkehendak.
“Percayalah Zinta. Allah SWT sayang
kita. Suatu saat kita akan dipertemukan. Kapan? Ya, kapan-kapan. Selama jiwa dan
darah kita masih bergerak” kata ibu yang selalu aku balas
dengan anggukan kepala pelan. Aku masih melihat kegelisahan di muka ibu setiap
ibu teringat ayah.
Tapi, kini harapan
ibu untuk bertemu ayah tinggal kenangan. Dan, mungkin ibulah yang duluan menuju
Sang Maha Pencipta. Dan, tubuh yang terbujur kaku selalu memaksaku untuk menjerit
lagi. Kata bibiku, aku mengalami pingsan di rumah sakit selama 5 jam karena
lenganku banyak mengeluarkan darah akibat sabetan golok yang panjangnya sebesar
lengan dewasa.
Jika ingat kejadian
itu, aku benar-benar trauma. Semalam, sehabis sholat maghrib, aku harus
berjuang mati-matian memperebutkan tas yang saya pakai. Berusaha untuk
mempertahankan barang berharga berupa emas dan uang yang barusan di beli dari
sebuah toko emas sebagai rasa suka cita menyambut hari raya Idul Fitri nanti.
Nasib naas menimpa
ibu, saat ibu ikut membantu perkelahian aku dengan 2 orang perampok bersepeda
motor. Ibu harus meregang nyawa saat 3
kali bacokan golok mengenai kepala bagian depannya. Ibu ambruk seketika.
Aku berusaha
menyerang kedua perampok membabi buta dengan helm yang aku kenakan. Tetapi, aku
harus menanggung rasa sakit yang luar biasa saat darah segar mengucur deras
dari lengan kananku karena terkena sabetan golok. Perampok melarkan diri gagal
mendapatkan incarannya dan aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu sudah ada di rumah sakit.
Orang-orang yang
berada di tempat kejadian perampokan sekitar pasar besar Ngawi menjadi penolong
ketika saya ambruk tak berdaya dan ibu meregang nyawa seketika. Andaikata waktu
itu ibu tak berbelok arah untuk berbelanja di pasar besar Ngawi, mungkin nasib
aku tidak seperti ini. Karena, kami yang mengendarai sepeda motor sebenarnya
hendak pulang langsung ke rumah. Tetapi, ibu mendadak untuk berbelanja sesuatu
di pasar besar Ngawi dan perampok telah membututi kami sejak dari toko emas.
“Zinta,
kita belum sempat belanja kue lebaran. tak lengkap rasanya jika ketidakhadiran
ayah selama hampir 3 tahun tanpa membeli kue nastar kesukaan ayah” kata ibu.
“Kan,
nggak perlu beli lagi ibu. Di rumah masih ada kue lain ” kataku.
“Benar
Zinta. Tetapi, dengan membeli kue nastar kesukaan ayah, semoga ayah tetap hadir
saat lebaran nanti”
“Emang
ayah sekarang di mana bu”
“Ibu
juga tidak tahu. Ibu sudah beberapa kali mencari ayah, tetapi tidak menemukan
jejak. Tetapi, dulu ayah pernah pergi ke Malang”
“Jadi
ayah ke Malang bu”
“Dulu
Zinta, tiga tahun lalu. Tapi sekarang, ibu tidak tahu sama sekali. Ibu sudah
mencoba mencari jejaknya tapi tidak menemukannya. Ibu sudah putus asa” katanya
lirih. Tidak terasa air mata membasahi pipi ibu. Aku berusaha mengusapnya. Dan,
usapan air mata itu ternyata saat terakhir aku begitu memanjakan ibu. Orang yang paling berharga mengisi hidupku
kini terbujur kaku tak berdaya menunggu saat pemandian jenazah dan pemakaman.
***
Satu
tahun kemudian.
Alhamdulillah, aku
diterima kuliah di sebuah universitas swasta di Surabaya. Berbekal harta
peninggalan almarhum ibu, aku beranikan menimba ilmu di ibukota Jawa Timur
tersebut. Aku menyadari bahwa akulah yang membuat masa depanku.
Meninggalkan rumah
di kampung halaman yang kini sunyi terasa berat. Memang, kini aku hidup sendiri
di rumah karena tidak ada lagi teman yang bisa menemani. Untuk mengusir
kesediahnku sepeninggal ibu, maka kuliah adalah jalan terbaik. Bisa bertemu
teman-teman baru yang bisa diajak untuk bertukar cerita.
Tahun pertama,
kulewati masa kuliah dengan sukacita karena biaya kuliah dan kebutuhan hidup
sehari-hari masih bisa di-cover oleh
bekal dari rumah. Aku berusaha untuk menghemat pengeluaran karena saya merasa
tidak ada seorang pun yang bisa membantu kekuranganku. Kecuali aku sendiri.
Aku bekerja
sampingan menjadi guru privat yang berpindah dari rumah ke rumah mengajarkan
anak orang lain. Tetapi, pendapatanku masih belum mencukupi kebutuhan hidupku.
Tanpa disangka,
pergaulan yang ada di sekelilingku membuatku risih. Gaya borju dan glamour teman
kuliah yang tinggal dalam satu komplek kost-kostan membuatku tanda tanya. Teman
cewek kuliahku selalu berpakaian mewah dan setiap senja berganti malam mulai
sulit untuk ketemuan. Dan, aku pun menjadi penjaga kost-kostan saat senja
berganti malam itu.
Tanpa sengaja di
suatu senja, aku sempat melihat dari balik tirai jendela di mana teman kuliahku
Winda dan Yesi memakai baju seksi dengan dandanan yang menor dan lipstik tebal
memasuki sebuah mobil mewah. Aku tanpa berpikir negatif karena mereka memang
melakukan profesi samingan sebagai penyanyi kafe di sela-sela tugas kuliah.
Mereka berdua hidup
berkecukupan dan selalu mentraktir aku di restoran mewah.
“Gila, dapat duit dari mana kalian ya” kataku
setiap ngumpul di sebuah kafe.
Aku jadi penasaran.
Kebetulan, kebutuhan kuliah mulai mencekik leher. Jalan satu-satunya, aku bisa
minta bantuan pada temanku yang tidak
pernah merasa kekurangan uang.
“Win, Yes, aku penasaran banget
nih. Ngomong-ngomong kalian kerja sampingan di mana lagi, sih. Kok, kayaknya
hepi banget. Aku yang lagi kelimpungan, nih. Mungkin bisa kasih bocoran”
tanyaku saat ngumpul di sebuah kafe sehabis kuliah.
“Mau tahu aja atau mau tahu
banget” kata Winda sambil tersenyum dan mengedipkan
mata kanan ke arah Yesi.
“Ya, Win. Paling-paling Zinta gak bakalan mau
apa yang kita lakuin. Ya kan” kata
Yesi meyakinkan.
“Benar Yes, lagian dia cantik
banget. Nanti jadi saingan dan merampas rejeki kita. Ha ha ha “
jawab Winda.
“Ihh, kalian pelit banget. Bagi rejeki dong Yes. Swear, lagi butuh duit
nih buat kebutuhan kuliah” tanyaku penasaran.
“Sebenarnya saya gak mau
melibatkan kamu Zin, Biarlah kami berdua yang menjalankannya. Tapi, jika kamu
memaksaku untuk memberi tahu maka kamu gak usah kaget ya” mereka
bertiga berangkulan. Tanpa sadar Winda dan Yesi meneteskan air mata. Aku pun
kebingungan dengan keadaan tersebut.
“Sebenarnya ada apa sih Win,
Yes, kok malah kalian menangis” Tanya aku.
“Zinta, kami akan jawab dengan
jujur. Tapi, tolong kamu tidak usah kaget ya” jawab Winda
meyakinkan kembali.
“Kami bekerja sampingan sebagai
call girl, gadis panggilan om-om, Zinta” bisik Yesi di
telingaku.
Bagai disambar
petir, aku terkesiap dan melongo kaget. Tetapi, kusimpan rasa kaget tersebut
untuk menghormati 2 temanku yang sudah jujur berbagi berbagi cerita mengatakan
profesi yang kini dilakoninya.
“Ya, Zin. profesi itu
menggiurkan dan bisa membantu kamu untuk memenuhi kebutuhan kuliah. Kami tidak
memaksamu. Tetapi, jika kamu mau, akan saya pertemukan om-om yang berduit nanti
malam”
jawab Winda sambil mengusap air
mata haru.
Kini, karena
tuntutan kebutuhan kuliah, aku memaksakan diri untuk menjadi call girl (gadis panggilan) yang
melayani om-om berduit alias tajir. Sudah 3 bulan, aku melakoni profesi ini.
Awalnya canggung, tapi kelamaan hepi dan bikin betah. Betapa tidak banyak
lelaki hidung belang yang berusaha membookingku
dengan bayaran yang tinggi.
“Andaikata kau mau menjadi
istriku, Zin, aku begitu bahagia” ucap Om Harno setelah
memakai jasaku.
“Maaf om, aku hanyalah wanita
murahan yang tak pantas menjadi istri siapapun, Aku hanya seorang wanita yang
bisa memberikan kebahagiaan dalam waktu sesaat”
jawabku.
“Tidak, Zin. Jika kamu mau
menjadi istriku, biarlah istriku saya ceraikan besok harI”
kata om Harno yang merupakan miliarder pengusaha batubara di Kalimantan Timur.
“Tidak, om. aku hanya mampu memberikan
kepuasan om malam ini dan besok-besok kalau tidak ada yang membookingku”
“Mau gak, kamu saya booking
kamu selama sebulan?” jawab Om Harno kembali.
“Jangan, om biarlah teman saya
Winda dan Yesi juga bisa menemanimu om. Kasihan dia. karena, saya kenal om dari
mereka” jawabku meyakinkan.
Hidupku kini
bertabur dengan gelimang harta. Aku pun tidak sempat lagi menengok keadaan
rumahku di kampung halaman, Ngawi.
Profesi baruku telah membutakan urusan agama. Aku mulai melupakan
masjid, menyimpan rapat-rapat dalam lemari buat Al-Quran yang sering
kulantunkan saat senja berganti malam. Saat aku rindu sosok ibu dan kangen
kehangatan ayah.
Untuk melepaskan
diri dari jeratan profesi baruku sepertinya tak mampu. Bahkan, di malam
Lailatul Qodar Ramadhan ini, aku dibooking
oleh Om Hadi yang katanya seorang pengusaha transportasi dan building material ternama di Surabaya.
Om Hadi, yang
menurut Winda dan Yesi adalah pelanggan yang baik hati. Pelanggan yang selalu
memanjakan mereka. Suka membeli keinginan mereka. Konon, katanya masih hidup
sendiri. Alasannya, agar bisa hidup bebas menikmati dunia.
Om Hadi, nama yang
familiar di telingaku. Ya, seperti nama ayahku yang hilang jejak 3 tahun silam.
Bedanya, ayah dulu hilang tidak membawa apapun. Aku pikir, mungkin ayah sudah
meninggal dunia. Lamunanku mengarah pesan ayah saat meninggalkanku terakhir
kali.
“Zinta, belajar yang rajin ya
nduk, Jadilah manusia yang berguna, sayang ibu dan sayang ayah. Ayah pergi dulu
ya. Ayah pasti kembali” kata ayah waktu itu.
Pukul 9 malam, waktu yang dijanjikan Om Hadi untuk
bertemu aku. Dari pukul 8 aku sudah menunggu Om Hadi di sebuah kamar hotel
bintang lima di Surabaya. Aku menunggu kedatangan Om Hadi yang kata Winda dan
Yesi, orangnya ganteng dan baik hati.
Menunggu satu jam
di kamar hotel sepertinya lama sekali. Ya, saya membayangkan dibawa Om Hadi
dibelikan barang mewah dan dimanja seperti ayah dulu memanjakanku. Saya sering
bolak balik dari ranjang ke pintu untuk menemui pelangganku, Om Hadi. Aku bagai
wanita penjaga pintu malam itu.
2 menit menjelang pukul
9 malam, pintu hotel diketuk. Aku merapikan dandananku. Wajahku yang sudah
tampak cantik pasti akan membuat terpesona Om Hadi. Ya, pasti om Hadi akan
memberikanku uang lebih. Entah kenapa, malam ini sepertinya lain dengan
malam-malam sebelumnya.
Aku benar-benar
ingin cepat bertemu dengan Om Hadi. Tepat, di malam ganjil di bulan Ramadhan adalah
saat yang baik turunnya Lailatul Qadar. Tetapi, aku justru bersiap-siap membuat
dosa. Dosa, yang membuatku ketagihan dengan limpahan harta duniawi.
Tepat pukul 9 malam,
pintu hotel berbunyi. Aku sigap menuju pintu dan membuka pintu hotel dengan
manja. Saat kami bertemu muka, justru
muka kaget dan pucat menghinggapi kami berdua. Om Hadi, yang kuharapkan malam
ini memberikan kebahagian lebih justru membuat jantungku berdegup kencang.
“Ayahhh”
kataku berucap tanpa sadar.
Aku malu tidak
kepalang. Bukannya aku merangkul dengan manja, tetapi justru menangis berlari
ke tempat tidur. Om Hadi pun terpaku diam di pintu tak berkata sepatah katapun.
Kini, orang yang
berada di pintu diam membisu. Aku menangis sejadi-jadinya menutupi wajahku
dengan bantal. Tanpa kusadari, Om Hadi adalah ayahku yang telah hilang selama
lebih dari 3 tahun lamanya. Dan, kini bertemu dalam kondisi hendak membuat
dosa. Ya, Allah … aku malu sekali. Malu pada-MU, malu sama ayah, malu pada masa
depanku.
Om Hadi pun kaget
bukan kepalang. Tiada disangka, cewek bookingan
yang akan memberikan kebahagiaan justru anak kandung sendiri yang 3 tahun
tidak pernah bertemu muka. Dan, kini ia mau berbuat dosa. Ya, Allah. Dosa apa
lagi yang hendak diperbuat.
Sebuah adegan
sinetron, tanpa malu-malu, bapak dan anak yang tidak lama bertemu kini saling
berangkulan erat.
“Ayah, maafkan Zinta yang telah
berbuat dosa begini. Aku kangen kasih sayang ayah. Ayah, ibu telah tiada. Dan,
ayah kini telah kembali di hadapanku” jawab aku sambil
terisak-isak bagai anak kecil.
“Sama nduk. ayah juga minta
maaf. Ayah berdosa sama ibu, sama kamu. Maafkan ayah. Ayah juga malu sama kamu”
jawab
Om Hadi sambil mengusap air mata Zinta.
“Ayah, Zinta ingin ayah kembali
menemaniku”
“Pasti, nduk!”
“Sudahi perbuatan ini ayah.
Zinta sudah punya segalanya dan mau berhenti dari profesi ini. Ayah adalah
sosok yang Zinta rindukan!”
“Ayah berjanji tidak akan
meninggalkan kamu lagi nduk. Pulanglah ke rumah ayah yang baru. Besok kita ke Ngawi
untuk ziarah di makam ibumu” jawab Om Hadi.
‘Alhamdulilah nduk. Mimpi apa
ayah semalam. Bisa ketemu dengan bidadariku kembali”
jawab om Hadi sambil mengusap air mataku dan mulai tersenyum manis memandangku.
“Zinta juga tidak menyangka,
bisa ketemu ayah yang lama kurindukan” jawabku.
Bapak dan anak kini
saling berangkulan kembali. Bukan antara pelanggan dan gadis panggilan. Tetapi, antara anak dan ayahnya yang hilang 3
tahun lamanya. Malam Lailatul Qodar telah memberikan hikmah mempertemukan dua
insan yang saling merindukan. Dan, mereka kembali ke jalan yang benar dan
saling menyayangi. Wanita penjaga pintu telah bertemu dengan ayah yang menjadi
pelanggan saat menjalani profesi lamanya. Sbuah hikmah di bulan Ramadhan, saat
malam Lailatul Qodar menjadi harapan banyak manusia.
Baca Juga
Cerita Fiksi ini juga tayang di Kompasiana
Post a Comment for "Wanita Cantik Penjaga Pintu"