Menjaga Silaturahmi Bukan Karena Materi
Menjaga silaturahmi bukan karena materi (Sumber:
dokumen pribadi)
Anda pasti bangga mempunyai keluarga yang mampu atau
kaya, bukan? Apalagi, jika ada keluarga anda yang menjadi orang penting. Baik dalam
institusi pemerintah maupun swasta. Bahagia anda pasti akan bertambah, karena
bisa menjadi kebanggaan. Tetapi, apa yang banyak orang rasakan, berbeda 360
derajat buat saya. Punya keluarga mampu dan jabatan penting justru semakin menelanjangi
rasa “ketidakmampuan” saya dalam hal materi.
Gaya Borjuis Ala Pekerja Kapal
Dalam falsafah Jawa, saudara berarti sa yang
berarti satu dan udara yang berarti perut. Berarti saudara berarti
satu pertalian keluarga yang tidak bisa dipisahkan karena lahir dari satu rahim
wanita yaitu ibu. Dengan kata lain, apapun yang terjadi terhadap saudara, maka saudara
lainnya sebisa mungkin membantunya.
Jika ada keluarga yang kesusahan dalam hal materi,
maka keluarga yang mampu semestinya memberikan uluran tangan. Bukan malah semakin
membuat susah. Itulah sebabnya, ada pepatah “mangan ra mangan sing penting ngumpul”.
Pepatah tersebut mempunyai pelajaran berharga. Bahwa, apapun yang terjadi
dengan kelluarga, maka harus ditanggung bersama. Mati bareng, hidup pun
bareng.
Jujur, keluarga besar saya di Brebes sebagian besar
sekolah di SMK Pelayaran. Di mana, setelah lulus, maka hampir semuanya bekerja
di kapal tangkap ikan. Baik, kapal tangkap Jepang maupun Korea. Di mana, operasinya hingga ke benua Afrika.
Masalah gaya hidup mereka, gak perlu ditanya. Pakaian
selalu cari yang bermerek. Malu, kalau cari barang KW. Masalah naik pesawat, menjadi
angkutan wajib ketika berangkat kerja. Bahkan, naik pesawat kelas bisnis sudah
menjadi hal yang biasa. Kenapa? karena gaji mereka hitungannya dalam mata uang
luar negeri. Untuk yang pemula saja, jika dirupiahkan hampir mendekati 2 digit. Kalau yang sudah
berpengalaman, maka lebih dari itu.
Banyak yang pulang dari kerja kapal tangkap langsung
membuat rumah mewah ala kampung. Yang tampangnya bak rumah gedongan ala Pondok indah
Jakarta. Bahkan, setelah istirahat di rumah beberapa bulan, bagi yang hobi
kerja di kapal tangkap. Maka, mereka akan berangkat lagi.
Biasanya, keberangkatan kedua hingga ketiga ini
menjadi keberangkatan yang terakhir. Karena, keberangkatan tersebut adalah masa
untuk menumpuk uang demi menikah. Setelah menikah, jika masih kuat kerja di kapal
tangkap, maka 2-3 kali keberangkatan lagi dia akan mendekati pensiun. Alias, “cape”
kerja di kapal. Saatnya untuk berkumpul dengan keluarga.
Bagi yang pintar berbisnis, maka mereka berbisnis.
Meskipun risikonya “bangkrut”, karena mereka tidak siap untuk berbisnis. Bagi,
yang keahliannya hanya kerja di kapal tangkap, ya, selamat menghabiskan uang
tersebut. Setelah habis, maka orang tua atau saudara menjadi tempat pelarian,
buat nyari pinjaman. Entah, saudaranya mampu atau tidak.
Perlu diketahui bahwa durasi keberangkatan kerja kapal
tangkap antara 1-3 tahun. Jika, yang berangkutan hemat, tidak nakal alias tidak
main perempuan, maka sekali pulang akan membawa uang kurang lebih 200-300 juta.
Karena, ditambah dengan failitas atau tunjangan lainnya.
Namun, bagi yang boros atau nakal, maka ia hanya
membawa uang ke kampung kurang lebih 50-100 juta, bahkan bisa kurang. Jika masa
kerja selama 3 tahun saja, maka setahun mendapatkan uang 15-35 juta. Jika
dibagi per bulan, maka ia mendapatkan uang kurang lebih 1,5 -3 juta per bulan. Besaran
gaji ini sebenarnya hamper sama dengan gaji UMR di Kabupaten badung Bali. Bedanya,
gaji mereka dikumpulkan selama durasi kerja dan tidak “direcokin” keluarga.
Celakanya, meski mereka sudah mampu, kebanyakan
keluarga saya berorientasi tentang uang atau materi. Mereka tidak pernah
berpikir masa depan mereka seperti apa. Yang penting, cari uang
sebanyak-banyaknya, menikah, habis itu nganggur di rumah. Kalau, masih ada uang
ya, bisnis saja. Masalah untung, belakangan.
Mereka “belum” terbiasa mempunyai keahlian lain yang
bisa dikerjakan di darat. Ingat di darat, bukan di laut. Bahkan, kalau mereka
pintar menatap masa depan, seharusnya mereka bersekolah (kuliah) lagi. Karena,
di saat uang banyak, maka kuliah lagi lebih mudah. Sayangnya, pikiran mereka
hanya “bagaimana menumpuk materi sebanyak mungkin, setelah itu, habiskan!”
Itulah yang membuat saya, setelah lulus SMP tidak
terrgiur untuk sekolah pelayaran. Yang obsesi banyak lulusannya adalah kerja di
kapal tangkap. Saya belajar memahami tentang kehidupan di kapal tangkap. Tak
seindah apa yang dibayangkan banyak orang. Memang indah, ketika mereka membawa
uang banyak ke kampung halaman. Tetapi, di balik itu, sungguh “tersiksa” dalam
pekerjaannya. Jika anda yang sudah berkeluarga, maka kerja di kapal tangkap
bukanlah pilihan terbaik. Godaan banyak sekali.
Kurang lebih 5 orang dari keluarga Brebes yang sempat
atau masih kerja di kapal tangkap. Fakta, sebagian kecil berhasil. Karena,
bingung setelah tidak bekerja lagi di kapal tangkap. “Mungkin”, sebagian besar uangnya
habis di perantauan. Buat apa? Banyak cara untuk menghasbiskan uang tersebut. Menjaga
gengsi dan tak tahan godaan nakal adalah salah duanya. Kakak kandung saya saja
lulusan D3 dari Sekolah Perikanan di Jakarta tidak menghasbiskan waktu setelah
lulus untuk bekerja di kapal tangkap.
Di mana, peluang kerja yang menghasilkan banyak uang
adalah kerja di kapal tangkap sebagai mualim kapal. Kenyataannya, dia justru
tak bertahan lama kerja di kapal. Malah, melanjutkan pendididkan S1 dan S2.
Sekarang, kakak saya berprofesi sebagai guru sekolah
pelayaran. Bahkan, jabatan dia sebentar lagi menjadi kepala sekolah. Yang hingga
kini tak pernah tanya kabar saya. “Peduli setan, mau mati atau enggak urusan
elu”, mungkin pikirnya. Saya pun tidak pernah merasa bangga mempunyai
saudara yang mempunyai jabatan penting. This is my live, saya jalani
sendiri, berjuang dan berkeluh kesah sendiri.
Kadang saya malu dan risih, jika saya pulang ke kampung
halaman saya di Brebes. Karena, Sebagian besar keluarga saya sedang dan sudah
membangun rumah. Bahkan, kakak saya sendiri mempunyai rumah ala Pondok Indah
Jakarta di Palabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat.
Di mana, pernah menginap semalam di rumahnya, terasa seperti menginap di rumah orang
lain. Tanpa kehangatan layaknya sebuah saudara kandung yang lama tidak bertemu
bertahun-tahun. Sungguh, saya sampai menangis dalam perjalanan saya dari
Palabuhan Ratu ke Jakarta.
Karena, kedatangan saya ke Palabuhan ratu waktu itu,
ingin mengajak saudara kandung untuk menemani saya wisuda di tahun 2013. Karena,
anak dan sitri saya tidak bisa ikut mendampinginya saya. Sejak tahun 2013
hingga sekarang, tiada pernah komunikasi. Dari masalah materi, maka hilanglah
silaturahmi. Ketika, persaudaraan memandang uang, maka “jika abang tak ada uang,
maka abang saya tendang”. Itulah pepatah
yang benar-benar menimpa diri saya.
Cara berpikir mayoritas keluarga Brebes masih
berorientasi tentang materi dan uang. Sebagian besar pikiran mereka mandek di
tempat. Ya, mereka memang mampu membuat rumah, karena tidak mengeluarkan biaya
apapun buat kuliah. Ketika, mereka tidak kerja di kapal tangkap lagi, maka
sebagian besar mereka menghabiskan simpanan uang mereka. Saya mendobrak paradigma itu. Saya berusaha agar
bisa kuliah. Bila perlu bisa kuliah S2. Serta, mempelajari berbagai keahlian.
Saudara Bagai Orang Lain
Saya sudah menulis artikel sebelumnya bahwa sejak SMA,
saya sudah mandiri. Dengan kata lain, sejak SMA saya jauh dari keluarga. Hidup
saya nomaden. Saya hampir menjelajah ddan tinggal di beberapa kota di Pulau Jawa. Mencari
pekerjaan yang cocok untuk masa depan. Meskipun, hasilnya “belum”
menggembirakan. Seperti, keluarga Brebes yang kerja di luar negeri. Di mana,
sekali pulang kerja kapal tangkap, langsung bawa uang ratusan juta.
Namun, yang membuat kebanggaan saya seumur hidup
adalah SAYA KULIAH DENGAN UANG SENDIRI. Sementara, keluarga Brebes lainnya
mengandalkan orang tua. Bahkan, Sebagian besar hanya bersekolah hingga
setingkat SMA.
Yang menjadi perhatian besar saya adalah rasa persaudaraan
saya dengan keluarga Brebes yang bagai orang lain. Ini bisa menjadi pelajaran buat
siapapun. Bahwa, ketika persaudaraan berlandaskan materi atau uang. Maka, tidak akan
langgeng persaudaraan tersebut. Persaudaraan akan terpecah. Inilah yang membuat
saya jarang pulang ke kampung halaman Brebes. Karena, ukuran persaudaraan
mereka ada pada materi atau uang.
Berbeda dengan keluarga besar Ngawi. Mereka, khususnya
kakak ipar, sampai habis-habisan uang dari hasil kerja TKI di Korea. Ratusan juta
rela habis demi menyelamatkan atau menjaga nama baik keluarga. Ketika, rumah
keluarga mau disegel bank, karena permasalahan keluarga. Maka, kakak ipar saya tampil untuk membantu
habis-habisan. “Masalah uang gak usah dipikirkan, yang penting kondisi saudara
nyaman”. Mobil dan simpanan uang sampai ludes.
Melihat keluarga Ngawi yang tidak pernah
memperhitungkan masalah materi, membuat saya mau melakukan hal yang sama. Saya
tidak pernah memperhitungkan, berapa mereka pinjam uang ke saya. Namanya
saudara, prinsip keluarga Ngawi adalah lebih baik sengsara bareng-bareng,
daripada salah satu kaya, yang lain nestapa.
Bahkan, masalah tanah warisan, keluarga Ngawi mau membaginya
secara adil sesuai dengan rembukan keluarga. Dan, istri saya dapat tanah warisan,
yang hingga kini, saya belum bisa membangunnya.
Hal yang menarik lainnya dari keluarga Brebes adalah rajin
pamer materi di media sosial. Rajin dan eksis memposting kondisi mereka di
media sosial secara vulgar. Mereka tidak memahami bahwa media sosial adalah
ranah publik.
Memamerkan kondisi atau materi mereka, sangat rawan dan
merangsang tindak kejahatan. Percaya atau tidak, saya memantau postingan
keluarga Brebes secara ketat. Yang membuat saya mengelus dada. Saya merasa
malu, karena saya sendiri aktif untuk mengkampanyekan bijak bermedia sosial. Bahkan,
menjadi salah satu perwakilan Bali. Yang ikut menandatangani Deklarasi Netizen di Gedung MPR
Jakarta.
Sementara, kelurga dekat saja, seenak “wudelnya” memposting
secara vulgar di media sosial. Kondisi inilah yang ingin saya ajarkan ke keluarga
besar saya di Brebes. Agar, jangan sembarangan posting di media sosial. Ada aturan
dan tata kramanya.
Namun, jika mengingat bahwa keluarga Brebes selalu berorientasi
tentang uang. Maka, niat untuk ke Brebes perlahan hilang. Apalagi, kondisi keuangan saya yang belum stabil. Maka, niat pulang kampung ke Brebes selalu tertunda. Sudah hampir
5 tahun, saya tidak pulang ke Brebes. Padahal, yang membuat kangen saya adalah “ingin
memohon maaf di hadapan bapak dan ibu”. Tidak ada selain itu.
Saya merasa bahwa keluarga Brebes, terasa seperti orang
lain. Ibarat film India “kabhi kushi kabhi gam”. Orang lain terasa saudara
dekat, dan saudara dekat terasa seperti orang lain. Jika, saya pulang ke Brebes,
maka pertanyaan pertama bukanlah kondisi atau pengalaman saya selama menempuh perjalanan
panjang. Tapi, yang selalu mereka tanyakan adalah masalah minta UANG. Kecuali,
bapak dan ibu.
Lucunya lagi, mereka yang banyak uang, karena keluarganya
kerja di kapal tangkap, malah hendak pinjam uang ke saya. Padahal, kondisi saya sendiri sedang pas-pasan. Untuk balik lagi ke Ngawi dan Bali saja sudah “ngos-ngosan”.
Itulah sebabnya, seumur hidup saya pernah sekali pinjam uang sama saudara kandung di
tahun 2015. Yang besaran pinjamannya tidak sampai besaran UMR.
Uang pinjaman itu digunakan untuk biaya masuk SMA anak saya.
Uang tersebut bukanlah pemberian gratis dari saudara kandung. Tetapi, pinjaman uang yang
mesti dibayar kembali. Yang hingga kini, belum bisa saya dilunasi. Namun, Namanya
hutang, maka saya tidak melihat saudara kandung. Hutang tersebut akan saya bayar.
Padahal, uang itu bagi keluarga Ngawi, menjadi sebuah
pemberian “yang tidak perlu dibayar”. “Halah, ra usah dibayar. Wong sedulur
ae kok dipikir” (Halah, gak usah dibayar, orang Namanya saudara kok
dipikir).
Keluarga Ngawi sangat memahami benar kondisi semua anggota keluarga. Berbeda
dengan keluarga Brebes, keluarga Ngawi justru selalu membuat saya kangen. Ketika
saya pulang, mereka sangat bahagia. Karena, silaturahmi adalah yang utama. Mereka
berpikir, kalau saya tidak bisa membantu mereka dengan uang, maka bantulah dengan
tenaga. Kondisi inilah yang membuat saya
ingin pulang kampung ke Ngawi, bukan ke Brebes. Yang membuat kangen untuk
pulang ke Brebes hanyalah ingin memohon maaf sama Bapak dan Ibu.
Semoga cerita ini menjadi pelajaran Bersama.
Post a Comment for "Menjaga Silaturahmi Bukan Karena Materi"