Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Misteri Ikan Gabus Penunggu Pohon Limaran

 

Misteri ikan gabus jelmaan penunggu pohon Limaran (Sumber: shutterstock)

 

 

Kampung halaman saya bukanlah kampung nelayan. Tetapi, masa kecil saya selalu diselingi dengan tradisi mencari ikan dengan tangan. Orang Jawa menyebutnya dengan Gogoh. Dan, tempat yang menjadi favorit untuk mencari ikan adalah sungai yang tidak jauh dari rumah saya. Jaraknya kurang lebih 500 meter.

 

Mandi di Sungai

 

Jujur, masa kecil tidak terbersit bahwa setiap tempat ada penunggu makhlus halusnya. Yang terpenting adalah bermain dan gembira bersama teman-teman. Mandi di sungai adalah acara yang menyenangkan. Meski, harus melepaskan semua pakaiannya.

Padahal, teman main masa kecil bersama-sama dengan anak cewek lain. Namun, sungguh, saat itu tak terpikirkan untuk melakukan hal yang di luar perkiraan. Masa kecil kami begitu polos dan lugu.  

Habis pulang sekolah, langsung lari. Sampai rumah, ganti baju dan terus berlari menuju sungai. Kita melakukan ritual “gupak” ala kerbau. Kalau bernyali tinggi, maka kita lompat dari pinggir sungai dan “bum” air sungai muncrat ke atas.

Kita berasa orang paling hebat saat itu. Mantra kita pun tak disangka sudah tercatat dalam ingatan masa kecil yaitu Pandilan. Dan, badan pun “byur” langsung jatuh ke sungai. Makin berani, jika terjun dari pohon yang ada di pinggir sungai.

Sungai yang sering buat mainan kita sebanarnya berasal dari pegunungan di kawasan Ketanggungan Brebes Jawa Tengah. Dan, bermuara langsung ke laut Jawa. Masa kecil menyebutnya Sungai Krapyak. Panjang sungai tersebut kurang lebih 50 km dari pegunungan ke laut.

Asal tahu saja, maasyarakat sekitar bahwa Sungai Krapyak ini terkenal angker. Banyak “jejadian” atau siluman yang menghantui kapan saja. Orang tua saat itu selalu mengingatkan anak-anak bahwa untuk berhati-hati jika main di sungai. Tetapi, Namanya anak kecil, bodo amat dengan peringatan orang tua. Terpenting, bisa mandi gratis sepuasnya hingga pulang menjelang maghrib.

Tempat mandi masa kecil sejatinya terletak tidak jauh dengan pekuburan umum yang terkenal wingit atau angker. Di mana, di seberang pekuburan umum tersebut terdapat pasarean. Di pasarean tersebut terdapat makan keramat.

Hingga tulisan ini saya buat, saya tidak tahu kuburan siapa? Namun, pekuburan tersebut selalu menjadi tempat bertapa atau ngalap berkah. Sementara, saya hanya bermain-main di sekitar makam keramat tersebut bersama-sama teman-teman masa kecil.

Bahkan, kami tak melupakan untuk mencari asam yang matang di sekitar makam keramat. Meski, kami harus memanjat pohon asam yang tinggi. Sungguh, masa kecil kami tidak takut hal-hal yang berbau gaib. Kami melakukannya seperti tidak ada apa-apa.

 

Ikan Gabus Jelmaan Makhluk Gaib

 

Saat musim kering, maka hal yang paling mengesankan adalah acara mencari ikan dengan tangan alias gogoh. Saya dan beberapa teman-teman mencari ikan dengan tangan kosong. Karena, kondisi air yang hanya setinggi dengkul.

Ikan betok, keting dan ikan gabus sering kami dapatkan. Lumayan untuk lauk pauk sehari-hari. Bahkan, kalau dapatnya berlimpah, maka separo kami jual ke tetangga. Dan, hasilnya kami bagi bersama-sama teman.

Namun, bukan hanya ikan yang kami dapatkan, kami juga sering mendapatkan belut dan ular koros (sejenis kobra) yang panjangnya hingga 2 meter. Rasa takut akan ular tersebut hingga menjadi fobia saya hingga kini. Padahal, saya sering ketemu ular tanpa sengaja saat itu.

Tempat kami mencari ikan terdapat sebuah pohon “Limaran” yang cabang batangnya tumbuh banyak dan tegak mengitari batang utama. Dan, batang-batang kecil tersebut dipenuhi dengan duri. Pohon Limaran tersebut sungguh besar menjulang, persis di pinggir sungai. Tempat kami biasa mencari ikan. Namun, uniknya, kami tak pernah mendapatkan satu ikan pun dekat pohon Limaran tersebut.

Saat kami melakukan ritual Gogoh, salah satu tetangga kami yang usianya lebih dewasa kepincut untuk nimbrung mencari ikan. Sebut saja Namanya Mas Marsan (bukan nama sebenarnya).

Dia begitu antusias menemani kami mencari ikan. Padahal, kami sudah berpindah tempat. Tetapi dia masih mencari ikan di sekitar pohon Limaran yang besar itu. Tak disangka, tak dinyana, dia mendapatkan ikan gabus besar di situ. Yang jika ditimbang beratnya lebih dari 1 kg. Kami yang sudah berpindah jauh kaget. Karena, Mas Marsan bisa mendapatkan ikan besar.

Selesai acara mencari ikan, Mas Marsan pun membawa ikan gabus tersebut dengan senyum bangga.

 

Wah, mas Marsan olihe iwak grojo gede nemen. Berarti bakal wareg seumah” (Wah, Mas Marsan dapat ikan gabus besar banget. Berarti bakal kenyang semua serumah) goda saya pada Mas Marsan.

 

Sore harinya, kami dikejutkan berita yang tidak mengenakan. Saya mendapat kabar bahwa Mas Marsan mendadak sakit keras. Badannya mendadak demam tinggi. Padahal, ikan gabus hasil tangkapannya belum sempat dimasak.

Setelah mengundang “orang pintar”, ternyata biang sakit mendadak Mas Marsan, karena telah menangkap ikan gabus tersebut. Menurut orang pintar, ikan gabus tersebut adalah jelmaan dari penunggu pohon Limaran pinggir sungai. Tempat kami mencari ikan.

Berita sakitnya Mas Marsan pun cepat menyebar. Namanya hidup di kampung. Maka, kejadian yang menimpa tetangga mudah diserap oleh masyarakat sekampung.

Akhirnya, sesuai anjuran orang pintar. Maklum, saat itu (tahun 80-an) orang masih percaya orang pintar. Ikan gabus hasil tangkapan Mas Marsan dikembalikan ke tempat semula. Di mana, ikan gabus tersebut ditangkap. Dan, orang pintar pun melakukan ritual khusus untuk meminta maaf atas kelancangan tingkah laku manusia.

Sehari, setelah ritual minta maaf, Mas Marsan pun berangsur sehat kembali. Warga sekitar pun mengingatkan bahwa jika menangkap ikan gabus di sekitar pohon Limaran tersebut, tidak usah dibawa pulang. Takut hasil jelmaan dari penunggu sekitar sungai tersebut.

 

Pusaran Air

 

Sehabis kejadian yang menimpa Mas Marsan, masa kecil kami pun tak takut lagi. Kami masih tetap mencari ikan, di sekitar sungai tersebut. Saat kondisi sungai mulai surut.

Kejadian selanjutnya justru semakin tragis. Teman masa kecil kami justru menemukan seperti “kedung” tempat pusaran air sungai. Yang disinyalir sebagai tempat bersemayamnya siluman buaya putih.

Untungnya, sebelum kejadian lebih fatal, ada bapak yang berada di sekitar tempat kami mencari ikan, dengan tegas mengingatkan.

 

“Tong, luruh iwake aja nang kono. Ana kedunge. Mbokat ana apa-apa. Ayo mentas, balik bae. Medeni” (Nak, mencari ikannya jangan di situ. Ada pusaran airnya. Takut ada apa-apa. Ayo naik, pulang aja. Menakutkan) kata bapak yang sedang berada di sawahnya dekat dengan sungai.

 

Tumben, kami pun takut sekali. Dan, buru-buru mentas dari sungai. Dan, ambil baju masing-masing dan berlari menuju titik aman, dekat jembatan bambu tak jauh dari pekuburan umum. Hingga lupa membawa ikan hasil tangkapan.

 

“Untunge mentas. Wedi mbokat ana siluman baya” (Untungnya naik. Takut ada siluman buaya) kata teman saya sedikit gemeteran.

‘Wis lah yu balik bae. Wedi mbokat ana apa-apa” (Sudahlah pulang saja. Takut ada apa-apa) kata saya.

“Iwake pimen. Ketinggalan nang kali” (Ikannya gimana? Ketinggalan di sungai) kata teman saya satunya.

“Sing penting slamet. Yuh lah balik. Wedi balik nang kali maning” (Yang penting selamat. Yuk pulang. Takut balik lagi ke sungai) kata saya menimpali.

 

Saat itu, kami pun tidak sempat membawa hasil tangkapan ikan. Karena, rasa takut yang tidak terhingga dengan adanya berita siluman. Apalagi, kejadian yang pernah menimpa Mas Marsan tentang ikan gabus “jadi-jadian” membuat kami makin takut.

Kami pun pulang menjelang maghrib, tak membawa ikan satu pun. Yang penting terhindar dari gangguan makhlus halus. Pelajaran penting buat kita bahwa setiap tempat di bumi ini pasti ada penunggunya (makhlus halus). Terpenting, kita meski minta ijin dan berdoa saat menjamah lokasi tersebut.

Namun, Namanya anak kecil. Maka, keberadaan makhlus halus seakan tidak ada. Bagaimana dengan masa kecil anda?   


Post a Comment for "Misteri Ikan Gabus Penunggu Pohon Limaran"