PUNCAK TANGIS KALA PANDEMI (BAGIAN 1)
Jujur,
tulisan kali ini sungguh spesial buat anda. Karena, saya akan berbicara secara
blak-blakan perjalanan merantau saya di Pulau Dewata. Peristiwa dari saya bekerja
di perusahaan orang pada tahun 2015 hingga sekarang. Sebenarnya, saya merantau di
Bali secara permanen sejak awal tahun 2009. Meskipun, proses merantau tersebut
tidaklah untuk menentap di Bali.
Karena,
kartu identitas saya masih Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Dengan alasan, bahwa
Bali hanyalah tempat untuk menyambung
hidup dan mencari rejeki. Dan, saya sudah komitmen, jika Allah SWT mengijinkan,
maka akan menghabiskan masa tuanya di pulau Jawa.
Sejatinya,
merantau di Bali bukanlah rencana yang disusun secara matang. Namun, orang Jawa
bilang keblasuk atau terperosok. Ya, saya merantau di Bali karena saran terbaik dari istri.
Sesungguhnya, saya merencanakan dengan matang untuk merantau ke Kalimantan.
Dengan
alasan, usaha saya dalam bidang distribusi yang mengalami kebangkrutan. Maka, merantau
di Kalimantan “mungkin” menjadi cara terbaik untuk mengembalikan rejeki yang
hilang. Tentu, rejeki yang mengatur adalah Gusti Allah SWT. Namun, saya yakin
bahwa dengan merantau ke Kalimantan bisa “BALIK MODAL”.
Keinginan
saya untuk merantau ke Kalimantan ditentang oleh istri. Mantan pacar saya tersebut,
justru menyarankan untuk mengadu nasib ke Bali. Dengan alasan, jika terjadi
hal-hal yang tidak terduga di kampung halaman. Maka, waktu dan biaya unruk
pulang kampung halaman lebih murah dan cepat sampai.
Alasan
lain adalah untuk mencari sekolah anak yang lebih baik dan mandiri. Oleh karena
itu, sejak kelas 3 SD, anak saya mengenyam pendidikan di pulau Dewata. Di sisi
lain, saya melanjutkan tradisi usaha distribusi alat-alat kesehatan saat di
pulau Jawa.
Ibarat
peribahasa, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Usaha
saya di Bali pun mengalami kebangkrutan juga. Mungkin, Allah SWT mentakdirkan agar
saya belajar dari berbagai kegagalan. Saya yakin bahwa Allah SWT sayang sama
saya, agar saya belajar banyak dari pengalaman hidup tersebut.
Dari
seorang pekerja mandiri, akhirnya saya terpesona untuk bekerja di perusahaan
orang lain. Beberapa kali saya menjabat posisi sebagai Branch Manager
dan Marketing Manager di berbagai jenis perusahaan. Dari perusahaan advertising
(periklanan) hingga perusahaan distributor bahan bangunan (Building
Material).
KELUAR DARI JABATAN BERGENGSI
Posisi
mentereng di perusahaan terakhir tidak membuat saya betah. Meskipun, saya
menajdi orang kantor dan gajian. Tetapi, pikiran saya lebih stress dibandingkan
pekerjaan mandiri saya sebelumnya. Berbagai macam target dan intrik di
perusahaan membuat saya dan istri berdiskusi lama.
Ya,
saya dengan berat hati mengundurkan diri dari jabatan bergengsi, jabatan
sebagai Branch Manager. Sebuah kursi panas yang menjadi lirikan banyak
orang, yang kepanasan untuk merebutnya. Namun, prinsip saya bahwa harta, tahta dan
jabatan hanya Allah SWT yang mengaturnya. Jika, Allah SWT ingin mengambilnya kembali,
saya dengan ikhlas untuk menyerahkannya kembali.
Istri
saya sangat berat hati agar saya tidak meninggalkan pekerjaan tersebut. Apapun
yang terjadi. Namun, setelah saya memberikan pemahaman berhari-hari, maka dia akhirnya
memahami kegundahan saya.
Padahal, percaya atau tidak, kebutuhan
keluarga saat itu sedang mencapai puncak-puncaknya. Karena, anak saya mulai
sekolah di SMA bergengsi di Kota Denpasar, yaitu SMA 4 Denpasar. Sekolah yang
melahirkan banyak anak pintar. Maka, banyak orang tua dari berbagai kalangan
dan kasta yang berebut untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.
Namun,
dengan mengucapkan BISMILLAH saya kuat diri untuk menjadi pekerja mandiri kembali.
Dan, siap menerima konsekuensinya, di mana penghasilannya tidak jelas. Saya menjadi
seorang Full Time Blogger, di mana penghasilannya jika ada jasa review
produk. Juga, jika ada undangan acara perusahaan.
FULL TIME BLOGGER
Penghasilan
sebagai Full Time Blogger memang mengasikan di tahun pertama. Ada saja job
yang datang berkesinambungan, meskipun bayarannya tidak harus berupa uang,
tetapi berupa barang atau produk. Namun, lambat laun job-job di daerah khususnya
Bali semakin sepi.
Bahkan,
antar sesama blogger pun “seperti” membuat semacam blok-blok tersendiri.
Dengan kata lain, mencari teman untuk menggarap sebuah job berdasarkan like
and dislike.
Saya
akui, menjadi Full Time Blogger memang menyenangkan. Namun, bayaran
berupa produk tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan saya. Karena, produk-produk
yang menjadi giveaway atau goodiebag tersebut bukanlah produk
yang mudah untuk dijual. Dengan kata lain, produk-produk yang mengandung label
penyelenggara menjadi kenang-kenangan bagi blogger yang diundang dalam acara.
Meskipun,
kenyataannya, saya pernah menjual beberapa giveaway berupa perangkat gadget.
Namun, harganya turun drastis dari harga yang diharapkan. Dan, hasil penjualan
tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Penghasilan
dari menjadi Blogger tersebut hanya mampu untuk membayar uang kost
setiap bulannya. Juga, kebutuhan makan sehari-hari. Maka, untuk menutupi biaya
kebutuhan sekolah yang “lumayan”, saya pun harus putar otak. Yaitu, dengan
menjual Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Atau, yang familiar dikenal
sebagai barang Palen-Palen (kebutuhan sehari-hari).
KESULITAN BIAYA SEKOLAH ANAK
Alhamdulillah,
modal yang diperoleh dari jasa review produk sebagai blogger digunakan
untuk belanja barang. Tanpa diduga, hasil penjualan FMCG tersebut bisa menopang
kebutuhan sehari-hari dan sekolah. Yang akhirnya, saya justru semakin
konsentrasi usaha distribusi barang tersebut.
Dalam
dunia bisnis, ada prinsip bahwa modal usaha jangan sampai dihabiskan untuk
memenuhi kebutuhan lain. Tetapi, untung dari penjualan FMCG tersebut yang bisa
digunakan untuk kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, uang ussaha harus berputar
terus, untuk belanja agar barang lebih banyak. Dan, makin menguntungkan.
Saat
saya menggeluti dunia FMCG tersebut, maka aktivitas sebagai blogger menjadi
kerja sampingan. Padahal, dulunya menjadi blogger sebagai prioritas.
Karena, aktivitas usaha distribusi barang tersebut bisa menutupi kebutuhan
makan, sekolah dan kebutuhan insidentil lainnya.
Sungguh,
ketika Allah SWT memberikan anugerah usaha saya yang lancar. Saat itu juga,
Allah SWT memberikan ujian yang SUNGGUH DI LUAR DUGAAN. Kakak ipar saya
tinggal di kost saya, karena tugas proyek hotel di Bali. Tanpa diduga, proyek
tersebut mengalami musibah atau kesalahan fatal tanpa disengaja. Dampaknya,
pekerjaan proyeknya tidak dibayar oleh pihak hotel, karena harus memperbaiki
kesalahan tersebut.
Alhasil,
kakak ipar saya sebagai pengawas proyek harus menanggung semua buruh proyek
yang ada. Sementara, kondisi keuangan kakak ipar saya sedang defisit. Dari
kondisi inilah, menjadi awal mula rentetan keuangan saya, mulai mengalami kekacauan.
Modal
usaha saya, uang anak saya yang hendak dipakai biaya pembuatan SIM A dan C,
serta saya harus meminjam kredit harian yang jumlahnya sungguh berat bagi saya.
Semua uang tersebut dipinjam kakak ipar saya. Saya pun tidak tega melihat dia
kelabakan seperti orang kebingungan.
Sebagai
informasi, kakak ipar saya, tidur di kost-kostan saya lebih dari sebulan lamanya.
Siapa yang tega melihat orang yang kebingungan? Sungguh, setelah semua uang
diserahkan ke kakak ipar saya, saya mau nangis sejadi-jadinya. Bagaimana tidak,
modal usaha saya amblas. Dan, saya harus membayar cicilan utang kredit harian.
Sementara, saya hanya mempunyai uang untuk makan selama 3 hari. Pedih!
Entah,
Allah SWT memberikan keringanan musibah saya. Tanpa disangka, saya mendapatkan
transferan dana hasil me-review produk. Dan, uang itu untuk modal
membeli barang kembali. Namun, tugas saya untuk mencicil utang kredit harian
masih berlanjut.
Saya
harus pintar-pintar mengatur keuangan. Saya puasa untuk membeli keinginan saya,
seperti membeli Smartphone baru. Hingga kini, saya mempunyai hape keluaran sekitar
tahun 2017. Hape sebagai bayaran dari review produk sebuah provider besar. Kondisnya
pun mengenaskan, layer menghitam dan tombolnya “hidup segan mati tak mau”. Pokoknya,
kalah jauh dengan smartphone ABG sekarang.
Ketika,
sedang asik-asiknya untuk mencicil utang kredit harian. Kakak ipar saya kembali
datang ke Bali untuk tugas proyek, dan tinggal di kost saya. Saya pikir tidak
masalah kalau sekedar memberi makan. Namun, kejadian yang dulu terulang kembali.
Yaitu, kakak ipar saya mengalami kesulitan keuangan kembali. Karena, bosnya
yang di Jawa menunda mentransfer uang, untuk pembelian tiket pesawat dan biaya buruh
proyek.
Saya
sendiri geram melihat kondisi tersebut. Saya tidak marah sama kakak ipar saya.
Namun, saya geregetan karena bosnya tidak memahami kondisi kakak ipar
saya, Di mana, buruh proyek harus mendapatkan bayaran kerja.
Mau
menangis kembali rasanya, ketika kakak ipar saya memberikan saran ke saya.
Agar, saya mau pinjam uang dengan utang kredit harian lagi. Saat itu, saya mau
teriak-teriak “tidak mau”. Kenapa? Utang kredit harian yang dulu saja belum
lunas. Kini, saya harus meminjam uang kembali dengan jumlah yang sama. Saya
merasa seperti tinggal menunggu ajal dengan menjerat tali di leher sendiri. Namun,
saya mencoba kuat untuk menghadapi ujian tersebut.
Namun,
setega-teganya saya, saya pun tak tega jadinya. Uang modal usaha dan
uang hasil utang kredit harian pun berpindah tangan kembali ke kakak ipar saya.
Jujur, saya merasa bersyukur bisa membantu saudara yang dalam kesusahan. Insya
Allah, kebaikan akan mendapatkan balasannya.
Namun,
dalam hati kecil saya akhirnya menangis. Memikirkan, bagaimana mencicil utang
kredit harian yang jumlahnya dobel. Serta, memikirkan uang dari mana untuk
membeli barang buat usaha.
Sungguh,
setelah kakak ipar saya pulang, jiwa saya pun runtuh. Saya tidak kuat untuk menangis
sendirian di kamar mandi. Saya pun berpikir, tidak akan mengharapkan uang
tersebut untuk kembali kepada saya. Biarlah Allah SWT yang akan membalasnya dengan
balasan terbaik.
“Ya Allah, inikah cobaan yang Engkau berikan
ke saya. Sungguh nikmat dan permudah hamba untuk menerimanya. Semoga, saya sabar
dan tabah untuk menghadapinya”.
Akhirnya,
istri saya merayu-rayu saudara yang di SOLO, untuk pinjam uang Rp400 ribu buat modal usaha. Dan, uang tersebut saya
putar kembali, agar bisa membayar kost bulanan dan kebutuhan sehari-hari.
NUNGGAK SPP SMA 2 TAHUN
Tidak
dapat dipungkiri, sejak awal tahun 2017, saya mengalami kesulitan keuangan.
Uang hasil berjualan habis untuk membayar kost yang sering nunggak. Sementara,
biaya SPP sekolah dan biaya lainnya anak saya tidak pernah diperhatikan. Juga,
harus mencicil utang kredit harian yang belum lunas.
Maka,
keputusan yang penuh risiko saya ambil. Yaitu, pinjam uang di tetangga saya di
Ngawi Jawa Timur. Yang jumlahnya hanya untuk membayar tunggakan kost. Dan,
selebihnya untuk membayar sedikit tunggakan SPP SMA anak saya. Maka, tunggakan
SPP anak saya, kini hampir 2 tahun. Silahkan hitung atau kira-kira sendiri,
bagi yang punya anak sekolah SMA. Berapa jumlah tunggakan saya.
Saya
beberapa kali diundang pihak BK sekolah anak saya. Bahkan, 3 kali saya harus
berhadapan dengan kepala sekolahnya. Tujuannya, kapan saya bisa melunasi uang SPP.
Karena, sebentar lagi anak saya mau ujian nasional. Saya pun menjawabnya
ringan-ringan saja. Insya Allah, kalau ada uang, nanti saya lunasi.
Mau
bayar SPP pakai apa, wong saya lagi konsentrasi bayar kost yang nunggak,
cicilan kredit utang harian dan kebutuhan makan keluarga. Sebenarnya, saya takut
bahwa kondisi “tidak bisa melunasi SPP” tersebut, akan menjadi beban anak saya
yang hendak ujian nasional SMA.
Saya
katakan pada anak saya, tidak perlu risau dan ikut memikirkan masalah tersebut.
Konsentrasi belajar saja, untuk menghadapi ujian sekolah. Sejatinya, saya
sendiri khawatir akan kelulusan anak saya. Sebab, 100 persen teman-teman
sekolah anak saya adalah ANAK BIMBEL.
Mereka
orang berada yang mau membayar mahal demi belajar anaknya. Agar bisa
mendapatkan nilai bagus saat ujian sekolah. Dan, bisa diterima di perguruan
tinggi negeri idamannya.
Sementara,
anak saya hanya bermodalkan buku yang dipinjam di sekolah. Ketika, teman-teman
kursus BIMBEL, dia hanya asik bolak-balik buku sekolah. Tentu, teman-temannya sebagai
ANAK BIMBEL lebih cepat berpikir dalam mengerjakan berbagai macam soal di
sekolah.
Namun,
saya memberikan pemahaman bahwa untuk mengimbangi teman-temannya, maka anak
saya harus rajin membaca buku setiap hari. Dan, mendapatkan informasi pelajaran
dari internet. Alhasil, prestasi anak saya tidak terpaut jauh dengan
teman-temannya. Di mana, teman-temannya ikut BIMBEL dan pernah ikut Olimpiade.
BERSAMBUNG KE .....BAGIAN II >>>>
Post a Comment for "PUNCAK TANGIS KALA PANDEMI (BAGIAN 1)"