Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DONOR DARAH KE-62 DAN CERITA BAYARAN 50 RIBU

 

Donor darah ke-62 di sebuah masjid di kawasan Denpasar Bali (Sumber: dokumen pribadi)


              “Donor darah saja di PMI, nanti kamu dibayar”

 

          Kalimat singkat yang selalu saya ingat. Ketika, saya memulai untuk berdonor darah. Kalimat guyon, meskipun kenyataannya memang serius. Dari teman kost saya waktu SMA. Teman kost saya tersebut, semuanya anak STM (Sekolah Teknik Menengah). Di mana, kebutuhan sekolah mereka selalu dijamin dan diperhatikan sama kedua orang tuanya. Sedangkan, saya harus putar otak “gimana caranya” untuk membayar uang kost-kostan sebesar 10 ribu waktu tahun 1995.

          Sebagai informasi, kedua orang tua saya memang lepas tangan saat saya menapaki sekolah di SMA 1 Tegal Jawa Tengah. Dengan kata lain, saya seperti kuda yang hilang kendali. Kalau mampu, ya dilanjutin. Kalau tidak mampu, ya berhenti saja. Mudah, kan? Namun, semangat saya untuk sekolah benar-benar membara saat itu. Meskipun, saya sangat bingung untuk membayar SPP dan uang kost-kostan.

 

DIBAYAR 50 RIBU 

          Singkat cerita, saya pun punya teman kost-kostan 4 anak STM. Sungguh, mereka anak baik. Meskipun, STM memberikan image anak nakal dan urakan. Saya pun beberapa kali membantu mengerjakan tugas hitung-hitungan mereka. Alhamdulillah, seringkali dibayar dengan uang untuk makan. Kalau lagi baik hati, mereka berani bayarin uang separo kost saya.

          Perlu diketahui, uang sewa kost dengan kamar sederhana plus lemari dan dipan di Tegal, kurang lebih 10 ribu setiap bulan. Untuk mengirit biaya kost, saya merayu anak STM baru yang mau kost. Agar, mau berbagi kamar bersama saya. Akhirnya, saya hanya membayar separonya, 5 ribu rupiah. Lumayan, kan?

          Nah, di saat-saat sulit. Maka, saya mesti puasa Senin-Kamis. Bukan hanya mengirit biaya, tetapi bisa mendapatkan pahala. Seringkali, ibu kost baik banget. Ketika, dia habis selamatan di tetangganya. Nasi berkat diberikan ke saya. Katanya, biar saya konsentrasi belajar. Ya, iyalah. Gimana mau konsentrasi belajar, perut saja lagi kosong. Terima kasih ibu kost.

          Suatu hari di bulan November 1995. Salah satu teman kost anak STM kelihatan hepi banget. Usut punya usut, ternyata dia lagi hepi, karena dapat uang. Bahkan, lebih khusus lagi, uang itu didapat dari orang yang membutuhkan donor darah di RS. Teman saya terang-terangan, dia donor darah dibayar seseorang (keluarga pasien) di salah satu RS di Tegal, yang sangat membutuhkan tambahan darah.

 

Ini saya barusan donor darah di rumah sakit. Ada orang yang mau kasih uang 60 ribu. Lumayan, bisa buat biaya sekolah dan beli kertas kalkir” kata teman STM dengan polosnya.

“Masa sih jon?” jawab saya terkaget-kaget.

“Udah, coba saja sana. Tidak usah kebanyakan acara. Datang aja langsung” jawab teman saya santai.

 

          Jujur, saya masih bingung. Dan, ragu-ragu untuk mendonorkan darahnya. Karena, tidak tahu prosesnya. Namun, saya beranikan diri. Ketika, kondisi keuangan makin mengharukan, karena meski bayar kost dan buat makan. Maklum anak kost, makannya kalau gak Indomie, ya puasa Senin-Kamis.

          Akhirnya, saya beranikan diri jalan-jalan di kawasan RS. Saya pun mencoba bertanya-tanya, proses untuk mendonor darah. Namanya anak sekolah yang lugu, saya pun sempat ngobrol-ngobrol dengan orang yang hendak donor darah. Juga, orang yang hendak mengambil darah.

          Saat ngobrol dengan keluarga pasien. Dengan jujur dan lugu, saya mau donor darah, jika dibayar buat biaya sekolah. Ternyata, ada orang sangat membutuhkan darah saat itu juga. Dan, kebetulan golongan darah yang dibutuhkan, cocok dengan golongan darah saya. Dia mau bayar jasa saya 50 ribu.

 

“Kamu, saya bayar 50 ribu buat donor darah mau dik?” kata seorang bapak yang sangat membutuhkan donor darah.

 

          Bapak tersebut tersenyum gembira, ketika saya menyanggupinya. Bukan itu saja, saya juga gembira tidak kepalang. Karena, terbayang uang 50 ribu di tangan. Bisa buat bayar kost 5 bulan. Atau, makan Nasi Orek Tempe di warungnya Mbak Onah, yang bodinya seksi dan ramah.

 

“Bisane mangane orek tempe terus. Apa ora bosen Cas? Wetenge ora kloloden? Ora nduwe duwit?. Utang ndisit mbuh apa, mengko ari tas balik dibayar oh?” (Kenapa makannya orek tempe terus. Apa gak bosan Cas? Perutnya gak sakit? Tidak punya uang? Ngutang dulu tidak apa-apa, nanti kalau habis pulang dibayar kok?) guyon Mbak Onah dengan logat Bahasa Tegal Ngapak, setiap saya pesan makan nasi orek tempe.

 

          Harga makan Nasi Orek Tempe sekali makan 300 perak. Jadi, kalau punya uang 50 ribu bisa buat makan 165 kali atau jatah makan selama 80 hari. Alhamdulillah.

          Benar banget, dengan keluguan saya waktu itu. Maka, saya beranikan diri untuk donor darah pertama kali pada tanggal 16 November 1995. Dan, uang 50 ribu keluarga pasien pun berpindah ke tangan saya. Sebuah kenangan manis yang tidak akan terlupakan. Maafkan saya pak, jika saya Donor Darah Berbayar waktu itu.  

 

DONOR DARAH SUKARELA 

          Setelah memahami bahwa donor darah bisa dilakukan secara rutin dan sukarela. Maka, saya pun rajin donor darah. Kini, saya tidak mengharapkan bayaran lagi, tetapi mengharapkan kesehatan tubuh. Karena, sirkulasi kandungan darah bisa berganti secara rutin. Dengan, kurang lebih 320 ml kantong darah sekali donor, maka membuat badan saya semakin sehat. Memang terasa agak pusing, setelah pengambilan satu kantong darah yang berjalan kurang lebih 7-8 menit.

          Beberapa kali, saya mendapatkan saran dari petugas donor darah. Agar, saya datang ke PMI Provinsi untuk mendapatkan penghargaan donor darah yang telah mencapai batas tertentu. Namun, saya tidak sempat atau tidak bernafsu untuk mendapatkan penghargaan pendonor darah.

          Kalau diundang pihak PMI untuk mendapatkan penghargaan, saya akan terima dengan senang hati. Dan, berharap apa yang saya lakukan bisa menginspirasi orang lain. Namun, jika saya mengharapkan datang ke pihak PMI agar bisa mendapatkan penghargaan. Maka, hal tersebut bukanlah tujuan yang saya harapkan. Saya hanya berharap mendapatkan ridho Allah SWT. Dan, bisa membantu nyawa orang lain.

          Hari ini, tanggal 10 Agustus 2021. Bertepatan, dengan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1443 H, saya melakukan DONOR DARAH YANG KE-62. Sejatinya, jika saya beranikan diri donor darah saat mulai awal Pandemi. Maka, saya bisa donor darah tambahan sebanyak 12 kali. Tetapi, masih ada rasa takut karena dampak Pandemi Covid-19. Saya mulai berani donor darah, setelah kurang lebih 2 tahun vakum tidak mendonorkan darahnya.

          Uniknya, perjalanan tempat donor saya beragam. Berawal donor darah di Tegal Jawa Tengah. Akhirnya, saya merasakan donor darah di beberapa kota di Jawa, Bali, Lombok hingga Nusa Tenggara Barat (NTB). Seperti, Bandung, Jakarta, Purwakarta, Banyuwangi, Bali hingga Bima Nusa Tenggara Barat (NTB). Kartu Donor Darah pun sudah berganti 4 kali.

          Ada rasa bangga, ketika bisa mendonorkan darahnya buat orang lain. Pernah suatu kali, saya membantu donor darah seorang ibu yang dirawat di Rumah Sakit Pemerintah Kota Denpasar, sekitar tahun 2018 lalu. Saya masih ingat kejadian saat saya donor darah pertama kali dulu. Di mana, saya mau donor darah, jika dibayar. Dan, kejadian tahun 2018 hampir sama seperti dulu. 

         Niat saya mendonorkan darahnya, agar badan saya sehat, tanpa embel-embel yang lain. Namun, keluarga pasien hendak memberikan sesuatu sebagai rasa terima kasih. Saya pun menolaknya secara halus. Karena, mendonorkan darahnya sudah menjadi tugas sesama manusia. Ya, donor darah sejatinya membantu nyawa orang lain. Setetes darah yang kita berikan adalah kebahagiaan buat orang lain.             

Post a Comment for "DONOR DARAH KE-62 DAN CERITA BAYARAN 50 RIBU"