Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memperkuat Sinergi Otoritas untuk Mengakselerasi Pemulihan Intermediasi Akibat Dampak Pandemi Covid-19

 

Pemulihan Intermediasi perbankan pasca Pandemi Covid-19
Intermediasi perbankan mulai pulih pasca Pandemi Covid-19 (Sumber: Sindonews.com/diolah)

Memperkuat Sinergi Otoritas untuk Mengakselerasi Pemulihan Intermediasi Akibat Dampak Pandemi Covid-19

Oleh Casmudi *)

 

 

PENDAHULUAN

Pandemi Covid-19 telah melanda dunia, khususnya bangsa Indonesia lebih dari 2 tahun lamanya. Laju perekonomian mengalami kelumpuhan. Kegiatan ekspor dan impor terhenti. Banyak perusahaan yang tutup atau melakukan efisiensi usaha, untuk mengurangi pengeluaran berkala. Namun, tidak sedikit perusahaan yang terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawannya.

Sektor perbankan menjadi sektor yang tetap diminati masyarakat. Karena, kegiatan bank yang memberikan banyak manfaat. Apostolik et.al (2009) dalam Renniwaty Siringoringo (2012) membagi 3 kegiatan inti bank, yaitu: 1) deposit collection (proses penghimpunan dana dari masyarakat berupa giro, tabungan dan deposito berjangka); 2) payment services (memberikan jasa keuangan, seperti lalu lintas pembayaran dan proses transfer uang; 3) loan underwriting (menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit).

Meskipun, laju perekonomian mengalami penurunan tajam, tetapi kebutuhan masyarakat akan dana segar tidak bisa dihindarkan. Bank menjadi tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan kredit atau pinjaman. Tetapi, perbankan sebagai lembaga perantara (intermediasi), penuh kehati-hatian dalam pemberian kredit. Tentu, dengan tujuan untuk menghindari kondisi gagal bayar para debitur.

Bank dalam melakukan tugas intermediasi, di mana sumber dana perbankan berasal dari masyarakat. Sehingga, secara moral bank harus menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit (Taswan, 2010:6) dalam (Renniwaty Siringoringo, 2017)

Apalagi, dalam kondisi pandemi Covid-19, maka bank menjadi institusi untuk intermediasi keuangan, di mana proses pembelian surplus dana dari sektor usaha, pemerintah maupun Rumah Tangga (RT), untuk disalurkan kepada unit ekonomi yang mengalami defisit karena terhentinya operasional usaha.

Bank juga membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Seperti, apa yang diungkap oleh Renniwaty Siringoringo (2017), fungsi bank sebagai lembaga intermediasi, terutama dalam penyaluran kredit mempunyai peranan yang sangat penting bagi pergerakan perekonomian secara keseluruhan dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.

Kita memahami bahwa pemberian kredit merupakan aktivitas bank yang paling utama dalam menghasilkan keuntungan. Tetapi, pemberian kredit yang tidak diiringi dengan sikap kehati-hatian akan berakibat meningkatkan risiko terbesar kepada bank. Salah satu kondisi yang dikhawatirkan banyak kalangan adalah terganggunya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Jika, tidak diantisipasi dengan baik, maka bisa berakibat menciptakan Risiko Sistemik dalam sistem keuangan.

Sama halnya yang diungkapkan oleh Rasbin (2021), pandemi Covid-19 berdampak terhadap kinerja dan kapasitas debitur bank dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit atau pinjaman. Jika kondisi tersebut tidak diantisipasi akan meningkatkan risiko kredit, yang berpotensi mengganggu kinerja perbankan dan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Di mana, terganggunya SSK memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Beruntung, pemerintah dan otoritas terkait tidak tinggal diam. Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melakukan kebijakan makroprudensial agar Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) aman terjaga. Juga, Bank Indonesia melakukan sinergi bersama anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya, yaitu: Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Kementerian Keuangan RI.

KSSK dan otoritas terkait secara extraordinary action bekerja tiada henti. Mereka melakukan sinergi secara bilateral maupun tripartit untuk melakukan pemulihan intermediasi karena dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian dan sistem keuangan. Sinergi otoritas yang dilakukan secara harmoni telah menghasilkan pemulihan intermediasi. Bukti nyata dari sinergi otoritas tersebut adalah realisasi pertumbuhan ekonomi domestik yang mencapai 7,07% (yoy) pada triwulan II 2021.

Bahkan, LPS dalam siaran persnya tertanggal 2 Januari 2022 menyatakan bahwa Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) triwulan IV 2021 dalam kondisi normal seiring penurunan kasus Covid-19 dalam negeri yang mendorong peningkatan aktivitas ekonomi. Sinergi otoritas tersebut dihelat dalam Rapat Berkala KSSK I tahun 2022 secara virtual tanggal 28 Januari 2022. Dihadiri oleh Menteri Keuangan RI, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Rapat membahas kesepakatan komitmen bersama untuk terus memperkuat sinergi guna menjaga SSK dan momentum pemulihan ekonomi.

PEMBAHASAN

A.   Kebijakan Makroprudensial

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) selalu menjadi isu penting. Apalagi, ketika bangsa Indonesia menghadapi pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kondisi yang paling dikhawatirkan oleh bangsa Indonesia adalah terjadinya risiko sistemik. Di mana, peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan publik, sehingga sistem keuangan tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu jalannya perekonomian.

Ketika elemen sistem keuangan seperti korporasi, UMKM dan Rumah Tangga (Household) kehilangan kepercayaan pada institusi keuangan. Maka, bisa menjadi sumber risiko sistemik karena kegagalan korporasi, permasalahan di sistem pembayaran. Bahkan, risiko sistemik bisa berasal dari gangguan di luar sistem keuangan.

Kesiapan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang bisa mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) karena adanya paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya.

Paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah Kebijakan Makroprudensial. Kebijakan Makroprudensial berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan dan memitigasi risiko sistemik. Yaitu, potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular.

Adapun, beberapa kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah: 1) Transparansi suku bunga; 2) Penurunan uang muka kredit/pembiayaan kendaraan; 3) Pelonggaran LTV/FTV (Loan to Value/Financing to Value) properti dan KPR Inden; 4) RIM (Rasio Intermediasi Makroprudensial); dan 5) RPIM (Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial).

Bukan hanya Bank Indonesia selaku anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang mengeluarkan paket kebijakan untuk pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19. Anggota lain KSSK juga mengeluarkan paket kebijakan dalam rangka pemulihan intermediasi untuk pembiayaan dunia usaha. Paket kebijakan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah penjaminan simpanan, seperti: 1) Program penjaminan simpanan; 2) Kebijakan tingkat bunga penjaminan yang rendah; 3) Relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi penjaminan; dan 4) Penanganan solvabilitas bank.

Sedangkan, paket kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Kebijakan Mikroprudensial yang meliputi: 1) Relaksasi restrukturisasi; 2) Penurunan bobot risiko kredit (ATMR); 3) Mendorong penyaluran kredit/pembiayaan untuk sektor kesehatan; 4) Peningkatan akses keuangan UMKM; dan 5) Stabilisasi pasar modal.

Tidak kalah penting, paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan RI adalah program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021, terdiri dari:

1) Belanja kesehatan; 2) Perlindungan sosial; 3) Stimulus pajak; 4) Subsidi bunga; 5) Penjaminan kredit; dan 6) Penempatan Dana.

B.   Sinergi Otoritas

Bank Indonesia selaku bank sentral tiada henti menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) tetap aman terjaga. Sektor perbankan diawasi sangat ketat dalam melakukan aktivitas intermediasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berbagai paket kebijakan dan sinergi dengan otoritas lainnya dilakukan untuk pemulihan intermediasi.

Sebagai informasi, sinergi Bank Indonesia tidak hanya terbatas pada lembaga anggota KSSK. Tetapi, menciptakan sinergi makin luas dengan kementerian/lembaga dan/atau otoritas lain jika diperlukan. Dengan adanya sinergi dengan lembaga di luar KSSK, maka bisa tercipta keselarasan kebijakan. Di mana, kebijakan tersebut mampu mendukung efektivitas implementasi dan tercapainya tujuan dari masing-masing kebijakan. Muaranya adalah menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), karena adanya pemulihan intermediasi yang berakibat pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Aktivitas intermediasi perbankan penuh kehati-hatian atau sangat ketat dalam pemberian kredit atau pinjaman kepada pelaku usaha dan Rumah Tangga (RT). Baik, untuk suntikan dana usaha maupun untuk modal kerja dan konsumsi. Sehubungan dengan kondisi intermediasi tersebut, maka seluruh kebijakan Bank Indonesia diarahkan untuk meningkatkan intermediasi perbankan dan mendukung pemulihan ekonomi.

Demi menciptakan kondisi tersebut, maka sinergi otoritas antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan melalui Forum Koordinasi Makroprudensial dan Mikroprudensial (FKMM). Bank Indonesia dan OJK telah menyusun Perjanjian Kerjasama (PKS) terkait Pemberian Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek dan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJP dan PLJPS). Di mana, PKS tersebut merupakan ketentuan pelaksanaan dari Keputusan Bersama Bank Indonesia dan OJK pada Oktober 2020, untuk memperkuat pelaksanaan fungsi Lender of the Last Resort oleh Bank Indonesia dan pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan oleh OJK.

Sinergi antara Bank Indonesia dan LPS telah dilakukan secara intensif dan berkelanjutan seperti pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2020 dan PP No. 33/2020. UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-

19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang Undang.

Implementasi lain dari sinergi Bank Indonesia dan LPS adalah pelaksanaan uji coba transaksi repo SBN LPS kepada Bank Indonesia. Uji coba tersebut dilakukan dengan mekanisme transaksi riil dalam rangka memastikan kehandalan prosedur operasional termasuk kesiapan infrastruktur di Bank Indonesia dan LPS.

Sinergi tersebut juga dilakukan dalam bentuk penyelarasan kebijakan pelaporan data Single Customer View (SCV) dengan relaksasi kebijakan Bank Indonesia untuk pelaporan perbankan. Tidak berhenti di sini, Bank Indonesia juga memberikan dukungan peningkatan kompetensi dan kapabilitas pegawai LPS di bidang makroprudensial dan moneter melalui program magang pegawai.

Menarik, sinergi otoritas tidak hanya dilakukan secara bilateral, tetapi dilakukan dengan sinergi tiga lembaga (tripartit), antara Bank Indonesia, OJK dan LPS untuk mendukung bauran kebijakan dan harmonisasi kebijakan ketiga lembaga. Demi memaksimalkan sinergi, maka sinergi tripartit tersebut dilakukan melalui FKMM dan Resolusi (FKMMR) di level pimpinan lembaga, sebagai forum pembahasan likuiditas bank-bank dalam pemantauan dan upaya harmonisasi kebijakan.

OJK dan LPS juga mendukung Bank Indonesia melakukan perpanjangan rencana implementasi Laporan Bank Umum Terintegrasi (LBUT) secara penuh. Dari semula Juli 2021 menjadi Januari 2022 untuk meningkatkan kesiapan dan kualitas LBUT yang terkendala akibat dampak pandemi COVID-19.

Harus diakui bahwa seiring melandainya kasus Covid-19 karena program vaksinasi nasional, maka aktivitas ekonomi mulai bangkit kembali. Menurut Bank Indonesia (2021), sejak program vaksinasi awal 2021 yang diikuti dengan penurunan kasus Covid-19 dan peningkatan mobilitas menopang pemulihan ekonomi Indonesia, Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) terjaga dalam zona normal dan Indeks Kerentanan Sistem Keuangan (IKSK) membaik. Keberhasilan pencapaian tersebut tidak terlepas dari sinergi kebijakan dan koordinasi yang erat antar Pemerintah, Bank Indonesia dan otoritas keuangan lainnya.

C.   Pemulihan Intermediasi

Pandemi Covid-19 menggerus pertumbuhan ekonomi, khsususnya sektor perbankan dalam melakukan tugas intermediasi. Perlu adanya tindakan pemulihan intermediasi agar kualitas kredit tetap baik. Para debitur tetap lancar dalam melunasi kredit atau pinjaman. Dengan kata lain, tidak terjadi adanya risiko kredit, suatu risiko akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah dalam mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima dari bank berikut dengan bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan/disepakati bersama (Renniwaty Siringoringo, 2017).

Memperkuat sinergi otoritas untuk mengakselerasi pemulihan intermediasi agar tetap mendapatkan kepercayaan publik. Sektor perbankan tetap menjalankan fungsi dan peranan intermediasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena dampak pandemi Covid-19. (Saunders & Garnet, 2008) dalam (Renniwaty Siringoringo, 2017) mengemukakan bahwa fungsi dan peranan intermediasi keuangan, yaitu: (1) berfungsi sebagai perantara (broker), (2) mengubah asset (asset transformer) (3) berperan sebagai pengawas (monitoring) (4) berperan menghasilkan informasi (information producer).

Perlu dipahami bahwa penurunan intermediasi perbankan saat pandemi Covid- 19 dikarenakan sikap kehati-hatian perbankan dalam memberikan kredit. Oleh sebab itu, agar terjadi pemulihan intermediasi dibutuhkan kebijakan yang memberikan peluang dan keuntungan di kedua belah pihak.

Sugiarto, Agus (2022) menyatakan bahwa sebelum pandemi Covid-19 terjadi, kredit perbankan melaju cukup deras, yaitu mencapai angka Rp 5.712 triliun pada bulan Maret 2020. Tetapi, akibat dampak pandemi posisinya terus mengalami kontraksi hingga mencapai posisi terendah Rp 5.397 triliun pada bulan Januari 2021. Melalui intermediasi perbankan. Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS sesuai kewenangan masing-masing mengimplementasikan kebijakan untuk memberikan keyakinan perbankan dalam menyalurkan kredit/pembiayaan, mendukung likuiditas industri perbankan, menjaga kinerja perbankan, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan (LPS, 2022).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (POJK No. 11/POJK.03/2020) yang mengatur mengenai ketentuan restrukturisasi kredit sebagai dampak pandemi Covid-19 dengan tujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan perbankan dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Kurang lebih 100 bank melakukan restrukturisasi kredit yang melibatkan 7,53 juta debitur, dengan total outstanding senilai Rp932,6 triliun.

Dengan adanya Peraturan OJK tersebut, sektor perbankan dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur yang kesulitan melunasi kredit atau pinjamannya. Restrukturisasi kredit dapat dilakukan melalui 1) penurunan suku bunga kredit; 2) perpanjangan jangka waktu kredit; 3) pengurangan tunggakan pokok dan bunga kredit; 4) penambahan fasilitas kredit; dan 5) konversi kredit melalui penyertaan modal sementara.

Kabar gembira, OJK memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit hingga 2023 untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Restrukturisasi kredit memberikan ruang bagi perbankan untuk menata arus kas (cash flow). Perlu dipahami, pertumbuhan penyaluran kredit dipengaruhi oleh ukuran bank (asset) dan modal bank (leverage ratio) yaitu dengan penambahan ekuitas (modal sendiri) (Opiela, 2000). Di sisi lain, restrukturisasi kredit membuat debitur memiliki kesempatan untuk menata usahanya agar tetap melunasi kreditnya.

Restrukturisaasi kredit memberikan ruang pemulihan intermediasi ke arah positif. Sebagai informasi, pertumbuhan intermediasi didukung oleh kapasitas perbankan yang memadai dan membaiknya persepsi risiko perbankan. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai sumber dana utama perbankan yang tinggi dan

Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang masih rendah sebesar 79,49% mencerminkan masih adanya ruang bagi perbankan untuk melakukan aktivitas intermediasi melalui penyaluran kredit.

Debitur yang menjadi target untuk bangkit dengan adanya restrukturisasi kredit adalah UMKM. Penjaminan kredit UMKM yang dilaksanakan sejak tahun 2020 telah menjamin total Rp53,41 triliun bagi 2,45 juta debitur. Pada tahun 2021, KUR sebesar Rp284,9 triliun telah disalurkan kepada 7,51 juta debitur. Tambahan subsidi bunga KUR dinikmati oleh 8,45 juta pelaku UMKM. Sedangkan, subsidi bunga non-KUR dinikmati oleh 8,33 Juta pelaku UMKM.

Dengan adanya program restrukturisasi kredit, pertumbuhan penyaluran kredit mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi tersebut menunjukan bahwa akselerasi pemulihan intermediasi berjalan pada jalur yang tepat. Pertumbuhan kredit tahun 2021 terjadi di beberapa elemen sistem keuangan, seperti korporasi, UMKM dan Rumah Tangga (RT).

Menurut Kepala Departemen Komunikasi Erwin Haryono Bank Indonesia (2021) menyatakan intermediasi perbankan menunjukkan perbaikan, seperti terlihat pada kontraksi yang menurun, tercatat sebesar -1,28% (yoy) pada Mei 2021. Selama Semester I 2021, kredit tumbuh perlahan hingga berhasil mencapai angka positif 0,59% (yoy) pada akhir semester 2021.

Posisi kredit perbankan pada akhir tahun 2021 tersebut mencapai angka Rp 5.755,7 triliun, lebih tinggi dibandingan akhir tahun 2020 yang hanya mencapai Rp 5.481,5 triliun. Berdasarkan jenis penggunaannya, kredit modal kerja tumbuh sebesar 6,1% (yoy), kredit investasi 4,30% (yoy), dan kredit konsumsi 3,2% (yoy).

Bank Indonesia (2021) memberikan analisanya bahwa pertumbuhan penyaluran kredit ditopang oleh penyaluran kredit kepada sektor yang relatif tidak terdampak langsung dan memiliki prospek yang baik di tengah pandemi Covid-19. Serta, memiliki tingkat risiko kredit yang rendah, seperti: sektor pertanian, pengangkutan, jasa sosial, dan sektor Lain-lain.

Pemulihan intermediasi perbankan tersebut didukung oleh beberapa faktor. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) per Desember 2021 mencapai 118,3, meningkat dibandingkan dengan Desember 2020 sebesar 96,5 yang masih berada di zona kontraksi. Kenaikan indeks IKK tersebut sekaligus memberikan indikasi bahwa keyakinan konsumen sudah memasuki zona optimisme terhadap membaiknya masa depan perekonomian nasional.

Jumlah pencairan kredit baru yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelunasan yang cenderung menurun, ditambah dengan penurunan kelonggaran tarik kredit (undisbursed loan), mengindikasikan adanya peningkatan permintaan pembiayaan. Bahkan, permintaan kredit Rumah Tangga (RT) meningkat, terutama Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Masyarakat mulai mengalihkan dana RT pada aset properti, menyusul rendahnya suku bunga deposito. Apalagi, adanya pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) dan stimulus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian rumah.

Akselerasi pemulihan intermediasi mengakibatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Menurut siaran pers Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertanggal 2 Pebruari 2022, laju inflasi tetap rendah dengan IHK 2021 di level 1,87% (yoy), di bawah kisaran sasaran 3,0%±1%. Surplus neraca perdagangan berlanjut di Desember 2021 dan secara akumulatif di tahun 2021 mencapai USD35,34 miliar. Cadangan devisa berada pada level USD144,9 miliar, setara 8 bulan impor barang dan jasa.

PENUTUP

Dari pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.             Kesiapan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang bisa mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah adanya paket kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya, yaitu Kebijakan Makroprudensial.

2.             Kebijakan Makroprudensial berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan dan memitigasi risiko sistemik. Yaitu, potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular.

3.             Bank Indonesia selaku bank sentral tiada henti menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) tetap aman terjaga. Sektor perbankan diawasi dengan ketat dalam melakukan aktivitas intermediasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

4.             Sinergi Bank Indonesia tidak hanya terbatas pada lembaga anggota KSSK. Tetapi, menciptakan sinergi makin luas dengan kementerian/lembaga dan/atau otoritas lain jika diperlukan.

5.             Bank Indonesia, BI, OJK, LPS dan Kemenkeu RI sesuai kewenangan masing- masing mengimplementasikan kebijakan untuk memberikan keyakinan


perbankan dalam menyalurkan kredit/pembiayaan, mendukung likuiditas industri perbankan, menjaga kinerja perbankan, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan (LPS, 2022).

6.             Memperkuat sinergi otoritas untuk mengakselerasi pemulihan intermediasi agar tetap mendapatkan kepercayaan publik. Sektor perbankan tetap menjalankan fungsi dan peranan intermediasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena dampak pandemi Covid-19.

7.             Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (POJK No. 11/POJK.03/2020) yang mengatur mengenai ketentuan restrukturisasi kredit sebagai dampak pandemi COVID-19 dengan tujuan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan perbankan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

8.             Akselerasi pemulihan intermediasi mengakibatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Menurut siaran pers Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertanggal 2 Pebruari 2022, laju inflasi tetap rendah dengan IHK 2021 di level 1,87% (yoy), di bawah kisaran sasaran 3,0%±1%. Surplus neraca perdagangan berlanjut di Desember 2021 dan secara akumulatif di tahun 2021 mencapai USD35,34 miliar. Cadangan devisa berada pada level USD144,9 miliar, setara 8 bulan impor barang dan jasa.

DAFTAR PUSTAKA

Apostolik, Richard., Donohue C., Went, Peter (2009), Foundation of Banking Risk : An overview of Banking, Banking Risks, and Risk-based Banking Regulation, John Wiley & Sons, Inc

Bank Indonesia (2021). Bersinergi Mendorong Intermediasi, Mengakselerasi Pemulihan Ekonomi. Jakarta: Departemen Kebijakan Makroprudensial, Kajian Stabilitas Keuangan Nomor 37 September 2021.

Farhan, Alhmad, dkk. (2021). Kebijakan Retrukturisasi Kresit Sebagai Upaya Stimulus Ekonomi Dampak Pandemi Covid-19. Diakses dari                       https://blclawugm.com/ kebijakan-restrukturasi-kredit-sebagai-upaya-stimulus-ekonomi-dampak-pan demi-covid-19/

Kishan, Rudy P, Opiela, Timothy P. (2000). Bank Size, Bank Capital and the Bank Lending Channel. Journal of Money, Credit and Banking, 2000, Vol. 32 No. 1 pp.121-141

LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) (2022). Sinergi Memperkuat Pemulihan Ekonomi Dan Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Jakarta: Siaran Pers Nomor: 1/KSSK/Pers/2022 diakses dari https://lps.go.id/siaran-pers/-/asset_publisher/1T0a/content/sinergi-memperkuat-pemulihan-ekonomi-dan-menjaga-stabilitas-sistem-keuangan?inheritRedirect=false

Rasbin (2021). Restrukturisasi Kredit Untuk Mendorong Pemulihan Dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2021. Jakarta: Info singkat Bidang Ekonomi Dan Kebijakan Publik DPR RI Vol. XII, No.23/I/Puslit/Desember/2020.

Renniwaty Siringoringo (2017). Analisis Fungsi Intermediasi Perbankan Indonesia (Studi Kasus Bank Umum Konvensional yang Tercatat di BEI Periode 2012- 2016). Batam: Universitas Putera Batam, Jurnal Inspirasi Bisnis dan Manajemen, Vol 1.

Renniwaty Siringoringo (2012). Kakrakteristik dan Fungsi Intermediasi Perbankan di Indonesia. Batam: Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2012.

Saunders, A., & Garnet, M. M. (2008). Financial Institutions Management: A Risk Management Approach (Sixth). New York: McGraw-Hill International Edition.

Taswan.  (2010).  Manajemen  Perbankan:  Konsep,  Teknik  dan  Aplikasi  (Edisi  II).

Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Sugiarto, Agus (2022). Intermediasi Perbankan Kembali Melaju. Diakses dari https://investor.id/opinion/281085/intermediasi-perbankan-kembali-melaju


*) Casmudi, S.AP. Penulis tinggal di Kota Denpasar Bali. Menulis di berbagai media online dan mengasuh blog pribadi di www.casmudiberbagi.com. Juga, telah mendapatkan berbagai penghargaan dalam lomba kepenulisan sejak SMA.


Post a Comment for "Memperkuat Sinergi Otoritas untuk Mengakselerasi Pemulihan Intermediasi Akibat Dampak Pandemi Covid-19"