Shogun 110 Jet Kuled, Motor yang Penuh Drama dan Kenangan (Part 2)
Sampai tulisan ini dibuat, saya sering menangis sendiri membayangkan
harta-harta penting saya, yang hilang dari pegangan saya. Karena, BELUM BISA membayar
tunggakan kost.
Masalah yang timbul di tempat kost baru belumlah berhenti. Saya harus
bekerja serabutan, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal yang paling penting
adalah kebutuhan uang kuliah anak.
Yang menarik adalah kini saya tidak punya sepeda motor untuk bekerja.
Karena, motor yang saya miliki disita tangan kanan pemilik kost lama. Padahal,
tanpa motor tersebut, saya tidak mampu bekerja secara maksimal.
Kegelisahan kami akhirnya dirasakan oleh keluarga kami di Ngawi. Yang
sejatinya, mereka pun sedang kembang-kempis memikirkan kondisi ekonomi karena pandemi
Covid-19. Tetapi, kebaikan Allah SWT benar-benar nyata. Saudara saya mencoba
untuk pinjam uang (utang) sebesar Rp1,5 juta, untuk membantu ekonomi saya.
“Kita akan coba cari motor di marketplace dengan dana yang ada ma” kata
saya kepada istri. Sayangnya, harga motor rerata Rp2 juta ke atas dengan surat-surat
minimal STNK saja. Saya tidak berani ambil risiko untuk mencari motor “kosongan”.
Karena, takut barang curian.
Bersyukur, saya menemukan sebuah iklan motor di marketplace dengan harga
Rp1,6 juta dengan surat-surat STNK saja. Saya nego dengan pemilik motor hingga
deal harga Rp1,4 juta. Sungguh, saya tidak berpikir panjang kali lebar untuk
mendapatkan motor tersebut. Pokoknya, saya harus dapat motor itu. Karena,
menurut saya, harga motor tersebut termurah sejak saya searching di marketplace
selama 2 hari.
Pagi-pagi, saya dan istri harus berjalan kaki kekira 2 km menuju jalan
besar. Karena, saya hanya mampu memanfaatkan transportasi publik TEMAN BUS yang
masih gratis. Kami janjian dengan pemilik motor di kawasan Pasar Ubud Gianyar.
Entah, mungkin nasib lagi sial. Lama tunggu di sekitar pasar Ubud,
pemilik motor tidak datang juga. Kami malah diajak ketemuan di kawasan dekat
Tirta Empul Tampaksiring, arah jalan ke Kintamani. Percaya atau tidak, jarak
dari tempat saya menunggu lama ke tempat pemilik motor kekira 20 km. Tidak ada
transportasi publik sama sekali.
Mau naik ojol, saya tidak punya aplikasinya. Karena, hp saya tipe lawas
yang hanya bisa untuk WA saja. Kalau, nembak mobil biayanya lumayan mahal.
Padahal, saya hanya punya uang pas-pasan untuk membayar motor yang sudah deal
tersebut.
Kami sudah nekad dan janjian sama pemilik motor, jika tidak bisa
ketemuan di kawasan pasar Ubud. Maka, saya akan pulang bawa tangan hampa.
Tetapi, sang pemilik motor berjanji ketemuan di pertigaan jalan raya Ubud -
jalan raya Andong arah Kintamani. Kami pun harus berjalan kaki lagi kekira 1 km ke tempat
yang dijanjikan.
Celakanya, ketika sampai di tempat yang dijanjikan, pemilik motor pun
belum datang juga. Kami pun harus menunggu lagi. Saat itulah, kondisi mulai
gerimis. Kami sebenarnya mau membatalkan perjanjian ini. Tapi, saya memberikan
waktu sekitar 1 jam lagi untuk menunggu.
Menjelang waktu maghrib, bukanlah sang pemilik motor yang datang.
Tetapi, pamannya sang pemilik motor menghampiri kami. Dia tidak membawa motor yang
hendak dijual. Karena, motor yang hendak dijual posisinya masih di rumahnya di Tampaksiring.
Setelah berunding lama, akhirnya saya menyepakati untuk bonceng paman
pemilik motor menuju motor yang dijual di Tampaksiring. Terpaksa, istri saya ditinggal dan menunggu di pertigaan jalan tersebut.
Gerimis belum reda. Saya tidak bisa menolak untuk basah-basahan selama
perjalanan. Pikiran saya hanya satu saat itu, dapat motor murah untuk mencari
nafkah. Apalagi, istri saya menunggu di pinggir jalan sendirian. Menatap
gerimis dan hari yang makin gelap.
Drama mulai ...
Jujur, andaikata saya punya uang lebih. Saya akan batalkan untuk membeli
motor yang sudah deal lewat WA. Karena, kondisinya tidak sesuai yang diharapkan. Tetapi, kondisi keuangan yang memaksa saya
untuk menerima kondisi motor tersebut, apa adanya. Bayangkan saja, kondisi motor tersebut
banyak minusnya.
Nih, minusnya bikin tepok jidat.
Stater tangan tidak jalan, spion kosong, rem blong, tromol roda belakang goyang, lampu sein depan
belakang mati, kunci palsu mudah lepas, jok bolong, ban halus depan belakang, engkol
kaki keras, dan lain-lain adalah deretan minus sepeda motor secara fakta. Jika,
saya mundur, maka susah lagi untuk mendapatkan motor dengan harga murah meriah
dengan STNKnya.
Ketika, gerimis makin deras, saya pun mengiyakan akad jual beli sepeda
motor tersebut. Karena, saya harus mendapatkan motor tersebut untuk menjemput
istri saya pulang. Dan, selanjutntya mencari nafkah untuk anak istri.
Percayalah, kami bahagia selama 1 bulan saja. Selanjutnya, mala petaka dan drama mulai menimpa kami satu per satu.
Pertama, kami harus menyerempet mobil boks karena tidak
mampu mengerem sempurna. Maklum, belum ada uang untuk servis.
Kedua, saya dan istri harus berjalan kaki kekira 5 km untuk mencari
bengkel di kawasan Mengwi Badung. Karena, tromol roda belakang pecah. Motor tidak
bisa berjalan sama sekali. Berhubung belum punya uang, maka tromol yang pecah
disiasati dengan tambal pakai kaleng. Sayang, hanya bertahan 2 minggu.
Ketiga, tromol rewel lagi ketika berada di kawasan Cemagi Badung. Saya
harus mendorong motor sejauh 2 km di bawah guyuran hujan deras untuk mencari
bengkel. Karena, belum ada uang untuk membeli tromol baru, maka disiasati lagi
pakai kaleng. Sama, bertahan hanya dua minggu. Saya pun terpaksa beli tromol
bekas di kawasan pasar Kreneng Denpasar.
Keempat, engkol kaki motor melengkung ke bawah, tidak bisa dibenerin.
Padahal, posisi di Bedugul kekira pukul 8 malam. Perlu diketahui bahwa kondisi
jalan Bedugul menurun arah Mengwi. Untung, saya ditemani sahabat yang baik hati.
Mengawal perjalanan saya hingga sampai di tempat tujuan sejauh kekira 30 km.
Kelima, saat hendak menuju kota Singaraja. Motor tidak bisa naik atau
berjalan di kawasan Pancasari Bedugul. Terpaksa, saya harus masukkan motor ke bengkel untuk servis. Percaya atau tidak, saya harus masuk bengkel 2 kali agar
motor bisa berjalan.
Keenam, penahan ujung engkol kaki motor hilang tak bertuan di kawasan
Ubud Gianyar. Saya pun tidak bisa stater motor, maka saya harus masukkan motor
ke tukang las, bukan bengkel motor.
Ketujuh, rem tangan patah di kawasan Sukawati. Entah, siapa yang harus
bertanggung jawab. Terpaksa, saya harus jalankan motor pelan-pelan bak
kura-kura karena tanpa rem. Rem kaki juga dalam kondisi sedikit blong.
Kedelapan, rantai motor lepas tanpa sengaja di kawasan Tanjung Benoa di
hari Jumat. Tahu-tahu, hanya lihat girnya saja. Saya harus mendorong motor
kekira 5km untuk mencari tukang bengkel. Gara-gara musibah ini, saya gagal
sholat Jumat. Badan bermadikan keringat mencari bengkel.
Kesembilan, motor mengalami pecah ban dalam dan luar bagian depan, persis di tanjakan Baturiti Tabanan.
Saya berniat hendak ke Bedugul bersama istri. Terpaksa, kami berdua menuruni
jalan berjalan kaki kekira 1,5 km dan mendorong motor untuk mencari bengkel.
Kesepuluh, motor mengalami mogok tidak bisa jalan. Persis di tengah
jalan perempatan jalan HOS Cokroaminoto Ubung Denpasar. Saya merasa, kejadian
inilah yang membuat saya bertaruh nyawa. Berhubung motor tidak bisa jalan sama
sekali, maka saya harus mendorong motor ini dengan mengangkat ban belakang sejauh
kekira 2 km hingga bertemu bengkel.
Namun, sesampainya di bengkel, ketika badan saya lemah lunglai hampir pingsan.
Motor saya dinyatakan turun mesin. Biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp1,7
juta menurut versi bengkel. Saya pusing tujuh keliling, mau diapakan motor ini.
Akhirnya, saya numpang nitipin motor sama tukang bengkel. Motor tersebut
ditaruh di bagian pojok bengkel layaknya barang rongsokan. Memang, saya berniat
tidak mengambil motor itu lagi. Biarlah diambil orang kalau ada yang mau. Lagian,
biaya benerin motor tersebut bisa beli motor seken lagi.
Selang tiga hari, saya sudah ikhlas merelakan motor yang rusak.
Beruntung, saat kondisi sedang pusing tujuh keliling karena tidak bisa kerja.
Saya dapat belas kasihan tetangga kos baru. Dia memberikan informasi tentang
bengkel langganan dia yang terbilang murah untuk benerin motor turun mesin. Apalagi,
dia mau meminjamkan motornya. Akhirnya, di suatu pagi yang cerah. Saya pun
mengambil motor yang teronggok di depan bengkel.
Dengan bantuan anak saya, maka motor tersebut saya derek pakai motor tetangga kost dengan
menggunakan tali jemuran. Jarak yang harus ditempuh untuk derek motor kekira 8
km. Jalan di Kota Denpasar yang penuh dengan persimpangan dan belokan.
Beruntung, akhirnya motor yang teronggok tersebut akhirnya bisa
diperbaiki di bengkel langganan tetangga kos baru. Biaya yang harus dikeluarkan
sebesar Rp650 ribu. Padahal, uang tersebut seharusnya buat bayar kos-kosan.
Kesebelas, motor tersebut mengalami kecelakaan tunggal di kawasan jalan
pantai Suluban Uluwatu Badung Bali. Motor mengalami pecah spion, injakan kaki
melengkung, injakan rem kaki melengkung, dan pecah bodi motor. Alhamdulillah,
saya dan istri selamat. Sayang, saya mengalami cedera kaki kanan. Dan, harus
beristirahat kekira 1 bulan lamanya.
Keduabelas,
setelah mengalami drama yang tidak berujung. Akhirnya, saya mantap menjual
motor kesayangan yang penuh dengan kenangan tersebut. Tetapi, tujuan utamanya
adalah uang penjualan motor digunakan untuk membayar uang kos yang telah
menunggak selama 3 bulan.
Semoga pengalaman dan drama dengan motor kesayangan menjadi pelajaran
terbaik dalam hidup. Baik-baiklah dengan pemilik baru. Terima kasih, sudah
menemani saya selama 11 bulan ini. Tanpa kamu, saya tidak bisa menjelajah
hingga Lovina Singaraja. Tanpa kamu, saya tidak bisa menjelajah Bali Utara,
dari Singaraja, Kubutambahan, Tejakula, Muntigunung, Tulamben, Amed, Karangasem,
Klungkung, Gianyar hingga Denpasar.
Terima kasih motor kesayangan saya, yang selalu saya panggil JET KULED.
Post a Comment for "Shogun 110 Jet Kuled, Motor yang Penuh Drama dan Kenangan (Part 2)"