Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

"Mengintip" Sakaratul Maut: Sebuah Perjalanan Relejius Melihat Bapak Menjemput Kematian

 

Makam Bapak di Brebes Jawa Tengah

Bapak dimakamkan di Brebes Jawa Tengah tanggal 2 Desember 2022 (Sumber: dokumen pribadi)

 

“Setiap makhluk yang bernyawa akan mengalami kematian”

 

Kematian adalah hal mutlak adanya. Tetapi, tidak ada satu pun makhluk di bumi yang memahami atau mengetahui kapan kematian itu datang. Hanya Allah SWT yang Maha Tahu tentang kematian itu. Tanpa maju atau mundur sedetik pun.

Mungkin, saya merasa paling beruntung. Karena, saya menyaksikan detik-detik sakaratul maut yang dirasakan oleh bapak. Bapak meninggal dunia sesuai dengan hari lahirnya Jumat, meninggal di hari Jumat, tepat sehabis sholat Jumat pada usia 89 tahun,

Sejatinya, dalam kurun waktu beberapa tahun ini, saya jarang pulang kampung ke Brebes. Saya dan istri mencari penghidupan di Bali. Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan maka kami sering gagal untuk pulang kampung. Termasuk, saat perayaan Lebaran.

Tetapi, 4 bulan yang lalu, saya sempat mengabadikan berfoto bersama dengan bapak dan anak. Karena, saya harus mengantar anak untuk kuliah di kawasan Cilegon Banten. Saya dan anak menyempatkan untuk singgah 1hari mengabadikan kehangatan cinta kepada bapak. Yang bertahun-tahun tidak kami rasakan.

Meskipun, kesehatan bapak sudah mengalami penurunan karena faktor usia. Dia harus mengingat berkali-kali untuk mengenali kedatangan saya. Tenaga untuk bicara pun sudah berkurang seperti gejala stroke ringan.

Saya kembali ke perjalanan saya bersama istri tanggal 29 Nopember 2022 lalu dari Denpasar. Kami menimbang beberapa kali rute perjalanan. Akhirnya, kami memutuskan rute perjalanan Denpasar – Surabaya dengan bus, Surabaya – Brebes dengan kereta api, Brebes – Jakarta dengan kereta api. Di Jakarta, kami berencana matang untuk mengikuti acara Kompasianival 2022 yang diselenggarakan oleh platform media USG Kompasiana. Dari Jakarta – Cilegon akan ditempuh dengan kereta api.

Sungguh, saya tidak akan menyangka perjalanan panjang untuk menjenguk anak di Cilegon akan berhenti lama di Brebes. Tetapi, saya menganggap bahwa perjalanan panjang ini sebuah PERJALANAN RELEJIUS ATAU SPIRITUAL. Betapa tidak, saya beruntung sekali mengawal anak manusia mengawali detik-detik SAKARATUL MAUT.

Dua malam satu hari, saya pribadi menemani bapak bergelut dengan penyakitnya, yang dialami bertahun-tahun. Nafas yang berat, kencing yang menyakitkan dan tidak bisa buang air besar (BAB). Anda pasti akan merasakan hal yang sangat menyakitkan jika anda mengalaminya.

Saya sudah berencana singgah hanya 2 hari.  Dan, selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Cilegon Banten. Tetapi, kondisi Bapak sungguh kritis. Kami harus menjaganya dengan ekstra.

 

Jumat, 2 Desember 2022.. 

 

Ada ungkapan banyak orang bahwa sebelum terjadinya kematian pada seseorang. Maka, keluarga atau sahabat yang ada di sekitarnya, biasanya diberikan tanda-tanda yang kuat. Sama halnya dengan apa yang dialami bapak. Jumat dini hari selalu meracau atau mengigau tidak karuan. Dia selalu memanggil alamarhum bapak dan alamarhumah ibunya.

 

“Giyan” kata singkat yang berarti cepetan dalam bahasa Brebes sering dilontarkan menjelang kematiannya.        

Hingga, tulisan ini saya buat, saya masih mencerna kata singkat tersebut. Apakah cepetan yang dimaksud adalah cepetan saya dibawa ke alammu. Atau, cepetan kalau ingin memberinya kesehatan. Wallahu a’lam bissawab.

Pukul 11.00 WIB, saya ditelpon adik ipar, ketika saya sedang silaturahmi ke rumah paman. Nada adik ipar sungguh mengagetkan, yang menyuruh saya cepat-cepat pulang. Nada bicaranya penuh kekhawatiran, sayu-sayup terdengar isak tangis. Tanpa basa-basi, saya dan istri pun meluncur pulang. Kami pun takut ada hal-hal yang mengkawatirkan terjadi dengan bapak.

Benar adanya, kami melihat adik ipar dan adik perempuan saya sedang mengalami isak tangis. Di depannya, tergolek lemah badan bapak yang tinggal kulit pembalut tulang. Ritme nafasnya mulai menderu, seperti nafas kuda yang habis berlari puluhan kilometer.

Tiada henti, kami membimbing bapak untuk mengucapkan kalimat “Laailahailallah. Muhammadurrasulullah”. Kami dengungkan di telinga kanannya, hingga tidak terhitung jumlahnya.

Sesekali, saya membisikan ke telinga bapak untuk membuka matanya, hampir 3 kali. Dia menatap saya dengan tajam, sambil meneteskan air mata. Sepertinya, dia meluapkan rasa kangen, karena lama tidak bertemu dengan saya.  

 

“Hayo, kelingan belih karo aku. Adoh-adoh sing Bali loh. Jarene sampeyan kangen” (Ayo, ingat nggak sama saya. Jauh-jauh dari Bali loh. Katanya bapak kangen) kalimat guyon dan penyemangat yang saya dengungkan di telinganya.

Sungguh ajaib, bapak mau membuka matanya dan menatap saya dengan tajam. Juga, mampu menirukan kalimat syahadat berkali-kali. Meskipun, kalimatnya pelan terdengar.

Kami, yang hendak sholat Jumat mengurungkan niatnya. Pasalnya, nafas bapak makin tersengal. Sungguh, rasa sakit manusia teramat sangat adalah sakit saat menghadapi sakaratul maut. Konon, rasanya berkali-kali dari tusuk berduri yang dimasukkan ke luka dan ditarik kembali. Subhanallah.

Ketika, waktu sholat Jumat dimulai. Nafas bapak makin seperti lengkingan kuda. Jujur, saya merasa seperti malaikat pencabut nyawa mulai melakukan tugasnya sesuai ijin Allah SWT. Berkali-kali, mulutnya terbuka seperti ada sesuatu yang ditarik dari dalam mulutnya.

Melihat keadaan yang semakin genting, saya membaca surat Yasin sambil memegang pergerakan urat nadi dan mengawasi kondisi wajah bapak. Nafas bapak semakin menemui ajal melalui proses sakaratul maut.  

 

“Wis langka mas” (sudah gak ada mas) kata adik ipar saya.

 

Saya sungguh kaget, tidak percaya. Saya mencoba memencet pergerakan urat nadi. Benar, nadi menunjukan bahwa ruh bapak telah kembali ke pangkuannNYA. Namun, saya masih tidak percaya karena masih melihat sekali pergerakan mulutnya. Seperti, proses pengambilan nyawa manusia masih berlangsung. Saya dekatkan telinga ke 2 lubang hidung bapak dan mulut, tetapi semua diam membisu.

Masih tidak percaya, saya mencobanya keduli dengan durasi agak lama. Sepi dan senyap.

 

“Innalillahi wa innaillahi rajiun. Benar, bapak wis langka (tidak ada)” kata saya kepada anggota keluarga yang ada. Kejadian, tepat setelah sholat Jumat selesai.

 

Saya dan ibu berusaha tegar dan tidak menangis. Benar, saya mampu bertahan. Tetapi, tangis itu pun pecah setelah bapak sudah tiada dan dikubur.

 

Sebuah perjalanan spiritual mendampingi bapak hingga detik-detik sakaratul mau merenggutnya. Pengalaman yang sulit terlupakan dan memberikan perjalanan berharga. Betapa sakitnya manusia saat menghadapi sakaratul maut. Insya Allah, bapak husnul khotimah.

 

Selamat jalan bapak tercinta. Saya begitu sayang, tetapi Allah lebih sayang padamu. Kembalillah ke pangkuan Allah SWT dengan senyum. Semoga Allah menerima amal dan kebaikan bapak. Insya Allah surga menanti. Salam kangen dari anakmu.

 

Brebes, 4 Desember 2022.   


Post a Comment for ""Mengintip" Sakaratul Maut: Sebuah Perjalanan Relejius Melihat Bapak Menjemput Kematian "