Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bertarung Dengan Wewe Gombel

 

Ilustrasi wewe gombel (sumber: Radar Tegal)


    Cerita horor ini sudah lama saya dengar, sejak saya masih duduk di bangku SMP sekitar tahun 1990an. Cerita yang disampaikan almarhum bapak saya. Berkelahi dengan Wewe Gombel yang dialami sekitar tahun 80an membuat bulu kuduk saya merinding. Betapa tidak, cerita horor ini disampaikan saat malam hari. Dan, suara di luar rumah hanyalah suara lolongan anjing dan jangkrik. Dan, penerangan jalan belum ada sama sekali, berbeda dengan saat ini.

    Perlu diketahui, bahwa bapak dikenal rajin dan hasil kinerjanya bagus oleh masyarakat sekitar, terutama orang berada yang punya sawah luas. Tujuannya, untuk membantu mengelola sawah, agar bisa menghasilkan banyak saat panen, sesuai dengan jenis tanaman tertentu. Di awal tahun 80an, bapak dipercaya menjadi mandor oleh orang kaya di kampung. Kebetulan, saat itu musim tanam jagung.

    Seperti biasanya, gubuk atau dangau selalu dibuat di tengah-tengah sawah. Dengan tujuan untuk tempat tidur atau tempat santai bapak saat mengawasi sawah. Gubuk yang dikelilingi dengan tanaman jagung tersebut, juga berada di antara pohon mangga yang tinggi. Bukan itu saja, sawah tersebut berada tidak jauh dari area pemakanan atau pekuburan umum.


Wa, aja klalen mengko bengi sawahe diawasi. Sebabe, jaman saiki akeh sing maling jagung” (pak, jangan lupa nanti malam sawahnya diawasi.

Sebabnya, banyak orang yang maling jagung) kata tuan tanah pemilik sawah.

Nggih, Wa” jawab baapak dengan penuh yakin.


    Bapak dipercaya menjadi mandor. Dan, bayaran jadi mandor tersebut buat menghidup keluarga dan sekolah anak-anak. Seringkali, bapak diberi tanggung jawab untuk menjadi mandor sawah yang letaknya puluhan kilometre dari rumah. Bahkan, rekor yang pernah dicapai adalah meajadi mandor tanaman bawang dan cabe merah dalam jangka waktu puluhan tahun.

    Malam ini adalah malam jumat kliwon. Bapak diberi tanggung jawab untuk mengawasi tanaman jagung milik tuan tanah yang luasnya lebih dari satu hektar. Saat itu, jagung masih menjadi bahan pokok yang digandrungi masyarakat di saat musim paceklik. Bapak pun dengan rasa tanggung jawab menjaga tanaman jagung dari tingkah jahat para pencuri jagung.

    Menjelang maghrib, kawasan kampong sudah terlihat gelap. Anak-anak mulai pulang ke rumah masing-masing karena anjuran orang tuanya. Saat itu, jarak rumah satu dengan yang lainnya masih jauh. Apalagi, lampu pln belum masuk desa. Maka, saat maghrib akan terlihat hanya lampu pelita yang menyeruak ke luar dari rumah warga.

    Sehabis waktu isya, bapak berpamitan kepada ibu untuk melaksanakan tugas mulianya. Jarak sawah yang hanya 5 km tidak membutuhkan waktu lama bapak untuk sampai di tujuan. Berbekal senter bertenaga 4 baterai, bapak menembus gelapnya malam hingga sampai di sebuah gubuk kecil yang berada di antara pohon mangga. Gubuk tersebut berada agak ke tengah dari batas sawah. Gubuk tersebut hanya dilapisi oleh kain plastik seadanya. Terpenting, bisa untuk menginap dan menjaga keamanan tanaman jagung.

    Tugas yang dilakukan bapak adalah berkeliling menyusuri pinggir sawah. Siapa tahu ada maling yang beraksi. Tidak lupa, lampu senter disorotkan ke setiap suwatan (batas air dari setiap tanah yang digunakan untuk nmenanam jagung).

    Kurang lebih satu jam bapak melakukan tugasnya menyusuri setiap jengkal sawah. Tanaman jagung yang mulai lebat hamper setinggi orang dewasa tersebut menjadi penghasilan masyarakat. Kini, bapak harus beristirahat di gubuknya. Meskipun, tampak santai, tetapi bapak harus tetap waspada. Karena. Aksi maling jagung bisa datang pada waktu kapan saja.

    Tanpa terasa, waktu menunjukan pukul 12 lebih malam hari. Jam Seiko yang menjadi kebanggan bapak selalu menemaninya di mana saja. Ia menyeroti jam dengan senter berbahan baterai. Bapak tidak mau memejamkan mata barang sejenak, sebelum waktu subuh tiba. Karena, ia harus bertanggung jawab penuh atas amanat yang diberikan oleh tuan tanah.

    Ketika, bapak sedang tiduran untuk menghilang rasa lelah, ia justru dikagetkan dengan suara “krosak” pohon mangga yang menyentuh atap gubuk. Sontak bapak kaget dan bangun untuk mengecek asal suara tersebut. Lampu senter pun langsung dinyalakan seketika.


Astaghfirullah” suara bapak mendadak kaget.


    Meskipun jantung berdegup kencang, tetapi bapak sudah terbiasa dengan pemandangan dan penampakan yang ada di depannya. Hanya berjarak satu meter, penampakan wewe gombel mengusik rasa lelah bapak, sekedar untuk memejamkan mata.

    Bapak justru tidak mundur barang sejengka pun. Berbagai doa dan mantra dari perguruan tenaga dalam ia bacakan. Ia harus berduel bukan dengan manusia.

    Di malam jumat kliwon tersebut bapak harus bertarung dengan ganas dan seramnya wewe gombel. Teringat pesan orang tua, jika bertemnu dengan makhluk tersebut maka harus melepaskan semua pakaiannya. Konon, katanya makhluk astral wewe gombel tersebut malu.

    Dalam kondisi tidak berpakaian sehelai benang pun, bapak harus bertarung dengan wewe gombel. Sampai detik ini, saya masih belum tahu apa amalan bapak hingga wewe gobel tersebut kalaang kabut melarikan diri. Tetapi, bapak membutuhkan waktu kuranag lebih satu jam untuk mengalahkan makhluk seram yang bikin merinding manusia pada umunya.

    Malam jumat kliwon tersebut menjadi pengalaman berharga bapak. Yang bisa diceritakan kepada anak-anaknya, termasuk saya. Semoga bapak tenang di alam kubur. Al Fatihah.

Post a Comment for "Bertarung Dengan Wewe Gombel"