Monday, November 23, 2020

5 Hal Penting dari Tabrakan Viral CBR 1000RR SP Versus Daihatsu Ayla

 

Kasus viral Daihatsu Ayla menyeruduk CBR 1000RR SP (Sumber: detik.com)

 

 

 

Mobil LCGC atau Low Cost Green Car (mobil murah ramah lingkungan) Daihatsu Ayla yang menyeruduk Motor Gede (Moge) CBR 1000RR SP di Purwokerto Jawa Tengah viral di media sosial (medsos).

Kasus tersebut menjadi pembicaraan hangat di linimasa media sosial. Dan, seperti biasanya, komentar para Netizen pun beragan. Namun, dari kejadian tersebut, ada 5 hal penting yang bisa menjadi pelajaran buat kita semua.

 

Apa sih 5 hal penting itu? Yuk, pantengin terus sampai akhir.


Berawal dari Suara Knalpot

 

Banyak sih, pro dan kontra tentang Moge supersport CBR 1000RR SP yang digeber di jalanan umum. Suara knalpotnya yang sangat kencang membuat pekak telinga. Itulah sebabnya, banyak kalangan yang kontra, menyayangkan jika Moge supersport tersebut sebaiknya digeber di lintasan sirkuit.

Namun, bagi pihak yang pro bahwa menggeber Moge supersport di jalanan umum sah-sah saja. Selama dia kuat untuk membelinya dan mempunyai etika berkendara di jalanan umum. Dengan catatan, hard skill dan soft skill pengendara Moge tersebut sudah mumpuni. Jadi, tidak merugikan pengendara lain di jalanan umum.

Kasus Mobil LCGC Daihatsu Ayla bermula dari pengendara Moge yang ternyata bernama Dimas Prasetyahani. Dimas menggeber Mogenya hingga suara kencang knalpot mengganggu pengendara lain yaitu pengendara Mobil LCGC Daihatsu Ayla. Dilansir dari akun Instagram sang pengendara Moge @dimas_prasetyahani yang menceritakan bahwa kejadian bermula dari suara knalpot Mogenya. Pengendara Mobil LCGC Daihatsu Ayla tidak terima dengan kondisi tersebut.

Kejadian selanjutnya adalah cekcok mulut di pinggir jalan HR Bunyamin Purwokerto Utara tanggal 17 November 2020 lalu. Dan, pengendara LCGC Daihatsu Ayla berlalu begitu saja meninggalkan pengendara Moge. Saat pengendara Moge Dimas mengajaknya duel. Selanjutnya, pengendara Moge Dimas, sempat mengejar LCGC Daihatsu Ayla untuk minggir kembali. Dan, dia sempat menyalipnya dan minggir di sisi kiri jalan untuk posisi berhenti, di depan mobil LCGC Daihatsu Ayla yang melaju.

 

Emosi dan Harga Diri Melupakan Segalanya

 

Menurut saya, kejadian CBR 1000RR SP Versus Mobil Daihatsu Ayla timbul karena faktor emosi dan harga diri. Pengendara Moge merasa tersinggung karena ditinggal begitu saja oleh pengendara Daihatsu Ayla saat cekcok mulut. Dan, pengendara Mobil Ayla juga tidak mampu mengendalikan emosinya ketika dihadang pengendara Moge. Yang selanjutnya timbul kemarahan spontan dengan menyeruduk CBR 1000RR SP.

Sang Pengendara Mobil Daihatsu Ayla tidak berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya, setelah menabrak Moge Supersport tersebut. Di mana, harganya berkali-kali lipat dari harga Mobil Daihatsu Ayla yang dikendarainya. Juga, pengendara Mobil Daihatsu Ayla melupakan keselamatan pengendara Moge.

Menurut pengendara Moge Dimas yang dilansir Detik.com (19/11/2020) menyatakan "Pelajaran banget untuk kita semua ya, ternyata orang gila di luar itu masih banyak teman-teman. Kenapa saya bilang orang gila, karena dia tidak sadar, hanya emosi sesaat hanya perihal masalah sepele yang sebenarnya mungkin bisa diselesaikan dengan cara baik-baik cuma karena kalaf gelap mata, akhirnya melakukan tindakan yang tidak terpuji yang berakibat sangat fatal bisa mengakibatkan nyawa orang menghilang alias meninggal".

Pengendara Moge menderita patah tulang tangan kiri dan dirawat di rumah sakit. Melalui akun instagramnya, pengendara Moge Dimas bisa pulang kembali ke rumahnya.

 

Sama-sama 1000cc, Harga Berbeda Jauh

 

Perlu diketahui bahwa CBR 1000RR SP merupakan Moge supersport dengan kapasitas silinder 1000cc yang mempunyai harga bisa membuat siapapun melongo. Kurang lebih harga motor pabrikan Honda dari Jepang tersebut dibanderol hingga 700 juta. Siapapun setuju bahwa harga motor segitu hanya dimiliki oleh orang-orang kaya penggila motor gede.

Dengan kata lain, bukan orang sembarangan yang memiliki moge tersebut. Bukan hanya sebuah Prestige atau gengsi. Namun, dengan mengendarai motor gede yang tergolong supersport tentu menaikan status sosial. 



Honda CBR 1000RR SP (Sumber: Kompas.com/21/11/2020)

 

Bagaimana dengan Mobil LCGC Daihatsu Ayla? Mobil yang murah dan ramah lingkungan tersebut sama seperti Moge. Dengan mempunyai kapasitas silinder 1000cc. Bagaimana dengan harganya? Dari berbagai sumber menyatakan bahwa harga LCGC Daihatsu Ayla baru yang merupakan pabrikan asal Jepang Daihatsu, dipatok dengan harga termurah berada di kisaran angka Rp102 jutaan. Sedangkan, untuk tipe tertinggi dipatok pada kisaran harga Rp 160 juta on the road (OTR) Jakarta.

Yang menjadi pertanyaan menarik adalah, sama-sama mempunyai silinder 1000cc, tetapi harga Daihatsu Ayla kalah jauh dengan CBR 1000RR SP. Padahal, saat panas terik, penumpang Daihatsu Ayla lebih adem dan nyaman, karena bisa menyalakan AC. Ketika, hujan turun, pengendara Daihatsu Ayla bisa aman dan nyaman tidak kehujanan.

Yang menarik lainnya adalah Daihatsu Ayla bisa menampung kurang lebih 4 orang duduk aman dan nyaman selama perjalanan. Kondisi tersebut berbeda jauh dengan pengendara CBR 1000RR SP bukan? Pengendara Moge tersebut akan kepanasan karena terik matahari, kehujanan dan hanya sendirian saat berkendara.

Nah, mengapa harga CBR 1000RR SP melesat jauh dibandingkan dengan Daihatsu Ayla. Menurut saya adalah faktor prestige dan gengsi dari Moge supersport tersebut. Yang hanya bisa dimiliki oleh kaum berkelas. Hal itulah yang membuat harga Moge tersebut sangatlah mahal.    

 

Tanggung Jawab Penabrak

 

Karena telah menabrak Moge Supersport CBR 1000RR SP, maka pengendara LCGC Daihatsu Ayla mengakui kesalahannya. Dia bertanggung jawab untuk menanggung semua kerugian yang dialami oleh pengendara Moge Dimas. Bahkan, pengendara LCGC Daihatsu Ayla, sudah meminta jalur damai dengan menyiapkan satu unit mobil dan satu rumah sebagai ganti rugi. Yang nilainya kurang lebih 400 juta.

 

Rasa Kemanusiaan Berakhir Damai

 

Menurut pengendara Moge Dimas juga menuturkan bahwa pihak penabrak sempat melakukan mediasi dengannya. Pihak penabrak siap menanggung segala kerugian dan kerusakan yang dia alami. Namun, kenyataannya, kondisi sang penabrak tergolong dari kalangan kurang mampu. Di mana, Mobil LCGC Daihatsu Ayla masih kredit. Dan, kondisi rumah pun pas-pasan.

Bukan hanya itu, istri sang pengendara Mobil LCGC Daihatsu Ayla sedang hamil 6 bulan. Tentu, banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Dengan rasa kemanusiaan lewat mediasi secara kekeluargaan, sang pengendara Moge Dimas menolak segala ganti rugi yang hendak diberikan sang penabrak.

Sikap manusiawi yang dilakukan oleh pengendara Moge Dimas sontak menjadi pembicaraan hangat di berbagai media sosial dan media online. Banyak Netizen yang memuji langkah baiknya. Dan, sikap mulia itu bisa menjadi pelajaran berharga buat siapapun. Rasa kemanusiaan mampu mengalahkan sisi material. Good Job Dimas! Semoga apa yang anda lakukan menjadi amalan terbaik.   




Kasus CBR 10000RR SP Versus Daihatsu Ayla berakhir damai (Sumber: dimas_prasetyahani/IG)



Saturday, November 21, 2020

Misteri Ikan Gabus Penunggu Pohon Limaran

 

Misteri ikan gabus jelmaan penunggu pohon Limaran (Sumber: shutterstock)

 

 

Kampung halaman saya bukanlah kampung nelayan. Tetapi, masa kecil saya selalu diselingi dengan tradisi mencari ikan dengan tangan. Orang Jawa menyebutnya dengan Gogoh. Dan, tempat yang menjadi favorit untuk mencari ikan adalah sungai yang tidak jauh dari rumah saya. Jaraknya kurang lebih 500 meter.

 

Mandi di Sungai

 

Jujur, masa kecil tidak terbersit bahwa setiap tempat ada penunggu makhlus halusnya. Yang terpenting adalah bermain dan gembira bersama teman-teman. Mandi di sungai adalah acara yang menyenangkan. Meski, harus melepaskan semua pakaiannya.

Padahal, teman main masa kecil bersama-sama dengan anak cewek lain. Namun, sungguh, saat itu tak terpikirkan untuk melakukan hal yang di luar perkiraan. Masa kecil kami begitu polos dan lugu.  

Habis pulang sekolah, langsung lari. Sampai rumah, ganti baju dan terus berlari menuju sungai. Kita melakukan ritual “gupak” ala kerbau. Kalau bernyali tinggi, maka kita lompat dari pinggir sungai dan “bum” air sungai muncrat ke atas.

Kita berasa orang paling hebat saat itu. Mantra kita pun tak disangka sudah tercatat dalam ingatan masa kecil yaitu Pandilan. Dan, badan pun “byur” langsung jatuh ke sungai. Makin berani, jika terjun dari pohon yang ada di pinggir sungai.

Sungai yang sering buat mainan kita sebanarnya berasal dari pegunungan di kawasan Ketanggungan Brebes Jawa Tengah. Dan, bermuara langsung ke laut Jawa. Masa kecil menyebutnya Sungai Krapyak. Panjang sungai tersebut kurang lebih 50 km dari pegunungan ke laut.

Asal tahu saja, maasyarakat sekitar bahwa Sungai Krapyak ini terkenal angker. Banyak “jejadian” atau siluman yang menghantui kapan saja. Orang tua saat itu selalu mengingatkan anak-anak bahwa untuk berhati-hati jika main di sungai. Tetapi, Namanya anak kecil, bodo amat dengan peringatan orang tua. Terpenting, bisa mandi gratis sepuasnya hingga pulang menjelang maghrib.

Tempat mandi masa kecil sejatinya terletak tidak jauh dengan pekuburan umum yang terkenal wingit atau angker. Di mana, di seberang pekuburan umum tersebut terdapat pasarean. Di pasarean tersebut terdapat makan keramat.

Hingga tulisan ini saya buat, saya tidak tahu kuburan siapa? Namun, pekuburan tersebut selalu menjadi tempat bertapa atau ngalap berkah. Sementara, saya hanya bermain-main di sekitar makam keramat tersebut bersama-sama teman-teman masa kecil.

Bahkan, kami tak melupakan untuk mencari asam yang matang di sekitar makam keramat. Meski, kami harus memanjat pohon asam yang tinggi. Sungguh, masa kecil kami tidak takut hal-hal yang berbau gaib. Kami melakukannya seperti tidak ada apa-apa.

 

Ikan Gabus Jelmaan Makhluk Gaib

 

Saat musim kering, maka hal yang paling mengesankan adalah acara mencari ikan dengan tangan alias gogoh. Saya dan beberapa teman-teman mencari ikan dengan tangan kosong. Karena, kondisi air yang hanya setinggi dengkul.

Ikan betok, keting dan ikan gabus sering kami dapatkan. Lumayan untuk lauk pauk sehari-hari. Bahkan, kalau dapatnya berlimpah, maka separo kami jual ke tetangga. Dan, hasilnya kami bagi bersama-sama teman.

Namun, bukan hanya ikan yang kami dapatkan, kami juga sering mendapatkan belut dan ular koros (sejenis kobra) yang panjangnya hingga 2 meter. Rasa takut akan ular tersebut hingga menjadi fobia saya hingga kini. Padahal, saya sering ketemu ular tanpa sengaja saat itu.

Tempat kami mencari ikan terdapat sebuah pohon “Limaran” yang cabang batangnya tumbuh banyak dan tegak mengitari batang utama. Dan, batang-batang kecil tersebut dipenuhi dengan duri. Pohon Limaran tersebut sungguh besar menjulang, persis di pinggir sungai. Tempat kami biasa mencari ikan. Namun, uniknya, kami tak pernah mendapatkan satu ikan pun dekat pohon Limaran tersebut.

Saat kami melakukan ritual Gogoh, salah satu tetangga kami yang usianya lebih dewasa kepincut untuk nimbrung mencari ikan. Sebut saja Namanya Mas Marsan (bukan nama sebenarnya).

Dia begitu antusias menemani kami mencari ikan. Padahal, kami sudah berpindah tempat. Tetapi dia masih mencari ikan di sekitar pohon Limaran yang besar itu. Tak disangka, tak dinyana, dia mendapatkan ikan gabus besar di situ. Yang jika ditimbang beratnya lebih dari 1 kg. Kami yang sudah berpindah jauh kaget. Karena, Mas Marsan bisa mendapatkan ikan besar.

Selesai acara mencari ikan, Mas Marsan pun membawa ikan gabus tersebut dengan senyum bangga.

 

Wah, mas Marsan olihe iwak grojo gede nemen. Berarti bakal wareg seumah” (Wah, Mas Marsan dapat ikan gabus besar banget. Berarti bakal kenyang semua serumah) goda saya pada Mas Marsan.

 

Sore harinya, kami dikejutkan berita yang tidak mengenakan. Saya mendapat kabar bahwa Mas Marsan mendadak sakit keras. Badannya mendadak demam tinggi. Padahal, ikan gabus hasil tangkapannya belum sempat dimasak.

Setelah mengundang “orang pintar”, ternyata biang sakit mendadak Mas Marsan, karena telah menangkap ikan gabus tersebut. Menurut orang pintar, ikan gabus tersebut adalah jelmaan dari penunggu pohon Limaran pinggir sungai. Tempat kami mencari ikan.

Berita sakitnya Mas Marsan pun cepat menyebar. Namanya hidup di kampung. Maka, kejadian yang menimpa tetangga mudah diserap oleh masyarakat sekampung.

Akhirnya, sesuai anjuran orang pintar. Maklum, saat itu (tahun 80-an) orang masih percaya orang pintar. Ikan gabus hasil tangkapan Mas Marsan dikembalikan ke tempat semula. Di mana, ikan gabus tersebut ditangkap. Dan, orang pintar pun melakukan ritual khusus untuk meminta maaf atas kelancangan tingkah laku manusia.

Sehari, setelah ritual minta maaf, Mas Marsan pun berangsur sehat kembali. Warga sekitar pun mengingatkan bahwa jika menangkap ikan gabus di sekitar pohon Limaran tersebut, tidak usah dibawa pulang. Takut hasil jelmaan dari penunggu sekitar sungai tersebut.

 

Pusaran Air

 

Sehabis kejadian yang menimpa Mas Marsan, masa kecil kami pun tak takut lagi. Kami masih tetap mencari ikan, di sekitar sungai tersebut. Saat kondisi sungai mulai surut.

Kejadian selanjutnya justru semakin tragis. Teman masa kecil kami justru menemukan seperti “kedung” tempat pusaran air sungai. Yang disinyalir sebagai tempat bersemayamnya siluman buaya putih.

Untungnya, sebelum kejadian lebih fatal, ada bapak yang berada di sekitar tempat kami mencari ikan, dengan tegas mengingatkan.

 

“Tong, luruh iwake aja nang kono. Ana kedunge. Mbokat ana apa-apa. Ayo mentas, balik bae. Medeni” (Nak, mencari ikannya jangan di situ. Ada pusaran airnya. Takut ada apa-apa. Ayo naik, pulang aja. Menakutkan) kata bapak yang sedang berada di sawahnya dekat dengan sungai.

 

Tumben, kami pun takut sekali. Dan, buru-buru mentas dari sungai. Dan, ambil baju masing-masing dan berlari menuju titik aman, dekat jembatan bambu tak jauh dari pekuburan umum. Hingga lupa membawa ikan hasil tangkapan.

 

“Untunge mentas. Wedi mbokat ana siluman baya” (Untungnya naik. Takut ada siluman buaya) kata teman saya sedikit gemeteran.

‘Wis lah yu balik bae. Wedi mbokat ana apa-apa” (Sudahlah pulang saja. Takut ada apa-apa) kata saya.

“Iwake pimen. Ketinggalan nang kali” (Ikannya gimana? Ketinggalan di sungai) kata teman saya satunya.

“Sing penting slamet. Yuh lah balik. Wedi balik nang kali maning” (Yang penting selamat. Yuk pulang. Takut balik lagi ke sungai) kata saya menimpali.

 

Saat itu, kami pun tidak sempat membawa hasil tangkapan ikan. Karena, rasa takut yang tidak terhingga dengan adanya berita siluman. Apalagi, kejadian yang pernah menimpa Mas Marsan tentang ikan gabus “jadi-jadian” membuat kami makin takut.

Kami pun pulang menjelang maghrib, tak membawa ikan satu pun. Yang penting terhindar dari gangguan makhlus halus. Pelajaran penting buat kita bahwa setiap tempat di bumi ini pasti ada penunggunya (makhlus halus). Terpenting, kita meski minta ijin dan berdoa saat menjamah lokasi tersebut.

Namun, Namanya anak kecil. Maka, keberadaan makhlus halus seakan tidak ada. Bagaimana dengan masa kecil anda?   


Friday, November 20, 2020

Demi Konten Video, Jelajah 130 km Bali Utara

  

Salah satu kondisi di Kawasan Kubu Karangasem Bali. Hujan mulai jarang turun. Dan, tumbuhan yang bertahan didominasi oleh pohon palem (Sumber: dokumen pribadi)

 

 

Kemarin (19 November 2020), saya tergelitik untuk menjelajah Bali Utara kembali. Rasa ingin itu mendadak muncul. Dan, mengajak “mantan pacar” untuk meluncur ke Bali Utara. Tepatnya di Kawasan Tianyar Kubu Karangasem Bali.

 

 

Niat pertama “sih” hanya sekedar untuk jalan-jalan. Namun, pada perjalanannya, justru mempunyai keinginan untuk membuat konten video yang unik.

Pukul 9 pagi, kami meluncur ke Tianyar dari Denpasar. Perjalanan yang membutuhkan waktu kurang lebih 3,5 jam. Kami harus melewati Kota Karangasem, Culik dan Tianyar. Jarak perjalanan kurang lebih 130 km. Sama jaraknya antara Denpasar hingga Gilimanuk.

Perjalanan antara Abang hingga Tianyar memberikan pesona yang berbeda. Karena, kondisi cuaca sedang berkurang curah hujannya. Dan, kondisi Kawasan tersebut mulai botak. Karena, rumpur-rumput yang tinggi mulai berguguran. Yang ada hanyalah pohon palem yang menjulang tinggi.

Sungai-sungai pun mulai mongering. Tak ada air setetes pun. Yang terlihat hanyalah sungai kering yang berbatu dengan latar belakang Gunung Agung yang berawan. 

 

Kondisi sungai yang kering berlatar belakang Gunung Agung di Kawasan Kubu Karangasem (Sumber: dokumen pribadi)

 

Sepanjang perjalanan, kami melihat perbukitan yang gundul dan dipenuhi dengan bebatuan besar. Rasa panas pun menyengat, karena aura hijau telah menghilang. Bahkan, sepanjang perjalanan juga harus berjuang dengan debu-debu jalanan yang ganas.

 

Pantai Tianyar

 

Sebenarnya, kami hendak singgah untuk meihat kondisi terkini dari kawasan Munti Gunung yang pernah saya tulis di blog ini. Namun, karena kami sudah memutuskan untuk membuat konten yang mengandung unsur air. Maka, kami melupakan masalah Munti Gunung.

Kami pun berbelok di kawasan pantai Tianyar yang dipenuhi dengan gundukan pasir untuk berbagai proyek. Tidak jauh dari gundukan pair tersebut, terdapat banyak perahu nelayan yang tertambat.

 

Tiduran santai di salah satu perahu di Pantai Tianyar Kubu Karangasem (Sumber: dokumen pribadi)

 

Jujur, pantainya sangat bersih. Mengapa? Karena, pantai Tianyar Kubu Karangasem justru dipenuhi dengan bebatuan kecil. Airnya sangat bening. Dalam hati, saya ingin mandi dan bermain dengan air pantai tersebut. Namun, “mantan pacar” mengingatkan bahwa nanti mandi bilasnya di mana?

Akhirnya, di Pantai Tianyar inilah, saya memulai membuat konten yang mengandung unsur air atau pantai bertema ‘Jumper Three Beaches” (Pelompat 3 pantai).

Yang menarik di Pantai Tianyar ini adalah banyaknya Jambu Mete atau Jambu Monyet yang telah matang. Dan, buahnya yang merah berjatuhan. Sangat menggoda saya untuk mencicipinya. Namun, sekali lagi “mantan pacar” mencegahnya.

 

“Pa, jangan dimakan, gatel nanti” cegahnya.

“Masa sih? Emang mama pernah nyoba?” tanyaku penasaran.

“Pernah. Dulu” jawabnya enteng.   

 

Kami pun mengambil beberapa jepretan konten di Pantai Tianyar ini. Percaya atau tidak, lokasi ini menjadi lokasi napak tilas atau balas dendam sang “mantan pacar”. Karena, kurang lebih setahun yang lalu (sebelum Pandemi), kami berniat istirahat di sini. Sambil menikmati indahnya pantai.

Dan, menikmati kuliner yang kami bawa dari rumah. Namun, karena kuliner yang kami bawa tumpah berserakan, maka acara santai pun “bubar jalan”. Kami tidak jadi menikmati keindahan pantai yang kami rencanakan sebelumnya.

Habis dari Pantai Tianyar, kami pun meluncur arah pulang ke kawasan Pantai Tulamben. Yang arahnya kurang lebih 15 km. Seperti biasa, perjalanan makin ganas karena debu jalanan. Dan, sinar matahari yang makin menyengat.

 

Pantai Tulamben

 

Perlu diketahui bahwa Tulamben menjadi kawasan favorit atau destinasi wisata idaman untuk menyelam di Bali. Kondisi kawasan Tulamben tidak seperti biasanya. Di mana, kita bisa melihat wisatawan lokal atau mancanegara yang lalu-lalang hendak menyelam.

Namun, sepanjang perjalanan, kami melihat hanyalah jejeran usaha menyelam yang tutup. Hanya beberapa yang terpaksa buka. Tidak dapat dipungkiri, Pandemi memang berdampak signifikan terhadap usaha menyelam.

Kami pun berbelok di jalan kecil yang menuju ke pantai. Jaraknya kurang lebih 200 meter. Dan, berhenti persis berbatasan dengan pantai. Pantai Tulamben berpasir hitam. Namun, yang menarik adalah spot pantai yang dipenuhi dengan bebatuan besar.

Jadi teringat dengan pantai yang ada dalam Film Laskar Pelangi. Hanya besaran bebatuan di sini lebih kecil. Dan, bisa menjadi spot yang sangat menarik di media sosial.

Di Pantai Tulamben inilah, saya membuat konten video kedua untuk tema Jumper Three Beaches. Pantai yang indah dan seperti di Pantai Tianyar. Di penuhi dengan bebatuan kecil. Jujur, di Pantai Tulamben ini, nyali saya untuk mandi pantai semakin besar. Tetapi, niat besar tersebut menjadi urung, jika memikirkan mandi  bilasnya di mana?

Akhirnya, kami pun membuat jepretan foto sepuasnya. Andai saja lokasi Pantai Tulamben dekat dengan tenpat tinggal saya di Denpasar. Maka, tak akan bosan mandi pantai di sini. Swear kewer-kewer.

 

Mencoba terbang di atas batu besar di kawasan Pantai Tulamben Karangasem (Sumber: dokumen pribadi)

 

Dari Pantai Tulamben, kami pun memutuskan untuk meluncur arah pulang kembali. Saya memutuskan untuk membuat konten video terakhir di Pantai Candidasa. Namun, karena kondisi tidak memungkinkan, maka niat berhenti di Pantai Candidasa Karangasem pun dibatalkan.

 

Pantai Pura Dalem

 

Kami pun meluncur arah pulang. Belum ada keputusan yang tepat untuk membuat video ketiga bertema Jumper Three Beaches. Setelah menempuh kurang lebih 90 km, tepatnya sebelum kota Klungkung. Kami tergelitik untuk membelokkan sepeda motor di Pantai Pura Dalem.

Perjalanan untuk sampai ke Pantai kurang lebih 500 meter. Ternyata, keputusan saya tidak salah. Jalan ke pantai dipenuhi dengan tumbuhan hijau di kanan kirinya. Banyak orang yang melakukan jogging. Sepertinya, jalan ke Pantai Pura Dalem menjadi tempat favorit untuk lari-lari.

Kawasan parkir yang luas membuat kami leluassa untuk memarkir sepeda motornya. Kami pun harus melewati samping Pura Dalem untuk sampai ke pantai. Ternyata, kondisi pantainya ramai banget. Banyak masyarakat yang nongkrong sambil menunggu “sunset” tenggelam.

 

Menjelang sunset tenggelam di Kawasan Pantai Pura Dalem Klungkung (Sumber: dokumen pribadi)

 

Dan, saya membuat konten video ketiga persis sunset mau tenggelam. Sebenarnya, saya mau berlama-lama di Pantai Pura Dalem. Namun, saya harus melanjutkan perjalanan pulang. Waktu hampir menjelang maghrib. Kami pun masih menempuh perjalanan kurang lebih 50 km untuk sampai di tempat tinggal.

Itulah pengalaman “nekad” yang meski saya lakukan untuk membuat konten video yang saya posting di Instagram @casmudi.vb Pantai itu benar-benar diambil dalam radius ratusan kilometer. Andai saja kita bisa menjadi tokoh kayak film The Jumper. Asik ya. Hepi traveling, dan jelajah Bali. Jangan lupa jaga kesehatan ya. 

 


Konten Video Jumper Three Beaches (Sumber : dokumen pribadi)

Tuesday, November 17, 2020

Mimpi Didatangi Almarhum Nenek. Ada Apakah?

 

Mimpi didatangi almarhum nenek (Sumber: shutterstock)

 

“Dia berjalan pelan. Kaget, karena dialah nenekku yang puluhan tahun lalu telah meninggal dunia. Senyumnya khas, menghampiriku. Tanpa sungkan, tangan kanannya memegang tangan kiriku dan meremasnya. Tanpa terasa, matanya berkaca-kaca dan akhirnya meneteskan air mata”

 

 

Hal yang paling menarik adalah kisah kecil kita. Sepertinya, tidak akan pernah habis untuk mengisahkannya dalam puluhan lembaran kertas. Namun, mengisahkan sekelumit masa kecil selalu menjadi menarik perhatian, termasuk saya. 

Beberapa hari yang lalu, saya bermimpi beberapa kali didatangi Almarhum nenek saya. Sepertinya, saya tersadar dari mimpi. Dan, menyaksikan dengan jelas nenek saya yang sudah meninggal dunia kurang lebih 10 tahun lalu, mendatangi saya dengan senyumnya yang khas. 

“Koen ora balik?” (Kamu gak pulang?) katanya dalam mimpi.

Saya pun tak kuasa untuk menjawabnya dengan jujur dalam mimpi, “durung duwe nduwit wa” (belum punya uang nek) jawab saya dengan polos. 

Dalam mimpi, saya merasa bahwa saya sedang berada di kampung saya sendiri, Brebes. Padahal, kondisi saya sekarang sedang ada di Denpasar Bali. Saya merasakan bahwa saya berada di kampung, rumah saya sendiri. Dengan kondisi rumah sebelum dipugar, seperti kondisi rumah sekarang. 

Kondisi Rumah Dulu  

Dalam mimpi, saya merasakan betul kondisi rumah dulu. Rumah dulu yang masih berdindingkan bambu, yang dicat dengan kapur yang mulai berubah warna putih kecoklatan. Di sana-sini kapur mulai mengelupas. Dan, dinding pun tampak berlubang. Jadi, orang dari luar bisa mengintip kondisi di dalam rumah. Begitu juga dengan orang di dalam rumah, bisa mengintip kondisi di luar rumah. 

Saya masih teringat, di depan rumah terdapat satu pohon kelapa. Yang tingginya kurang lebih 30 meter. Di samping pohon kelapa, terdapat pohon keluwih, pohon yang seperti Nangka. Tetapi, buahnya dibuat untuk sayur. Di samping pohon keluwih tersebut terdapat satu pohon jambu. Yang tingginya kurang lebih 2 meter. Baik pohon keluwih dan pohon jambu sedang berbuah dengan lebatnya. 

Sebelah rumah justru ditanami 2 rumpun pohon pisang klutuk dan pisang gede. Batang pisang yang besar konon dipercaya sebagai tempat ngumpetnya “kuntilanak”. Sewaktu kecil, saya beberapa kali mendengar cekikikan kuntilanak dari pohon pisang tersebut. Percaya atau tidak bahwa pohon pisang tersebut selalu menjadi ajang “petak umpet”. 

Saat petak umpet itulah, sepertinya kuntilanak yang takut sama saya. Karena, dengan gagah berani, saya ngumpet di antara pohon pisang tersebut agar tidak ketahuan temannya. Setelah saya pindah dari pohon pisang tersebut, kuntilanak malah semakin hepi cekikikan. Walah, dasar kuntilanak jago kandang. Saat itu, semuanya serba gelap. Karena, penerangan hanya lampu teplok, sekitar tahun 80an. 

Dalam mimpinya, saya juga merasa kaget bahwa saya sendiri sudah berada di kampung sendiri. Namun, sang nenek justru menanyakan “kapan saya pulang ke Brebes”. Mungkin, kata orang Jawa, ini pertanda bahwa saya meski sowan ke makamnya. Jujur, saya pun tak berada atau ikut takziah, saat nenek saya meninggal dunia. Sosok nenek yang paling banyak diam. Tetapi, rajin bekerja sewaktu hidupnya. Saya pun berkirim “Al Fatihah” semoga dilapangkan kuburnya. Dan, diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah SWT. 

Gendong 

Saya kangen, saat beliau mengantar jemput saya main ke rumahnya. Rumah saya dan rumah beliau jaraknya satu gang. Atau, sekitar 300 meter. Setiap sore menjelang maghrib, beliau akan main ke rumah saya. Sehabis maghrib, saya digendong ke rumahnya. Setelah menjelang jam 09 malam, saya pun digendong lagi untuk diantar pulang. Mungkin, sayalah cucu yang paling akrab dan disayang sang Almarhum nenek. 

Saya benar-benar mengalami masa kecil yang bahagia. Meski, bapak jarang di rumah, karena menjadi mandor di perkebunan bawang merah dan cabe orang lain. Di mana, pulangnya kadang seminggu atau sebulan sekali. Namun, kedekatan saya dengan nenek menjadi masa kecil makin berwarna. Pantas saja, jika kehadiran nenek dalam mimpi saya serasa nyata. Meski, mimpi adalah bunganya tidur. 

Namun, dengan kehadiran nenek dalam mimpi beberapa hari yang lalu. Justru membuat saya semakin kangen. Kangen ingin menyambangi makamnya. Insya Allah jika kondisi Covid-10 sudah mereda. Saya mempunyai tekad untuk pulang kampung ke Brebes. 

Kehadiran nenek juga membuat kita meski ingat akan kematian. Bahwa, “segala sesuatu yang bernyawa akan mengalami kematian”. Pertanyaannya, sudah siapkah kita akan hal tersebut. Karena, kematian akan datang kapan saja. Hanya bekal amal dan kebaikan yang bisa kita persiapkan untuk bekal yang Maha Panjang di akhirat nanti. 

Kehadiran nenek dalam mimpi juga semakin membuat kangen ingin berjumpa keluarga. Keinginan yang tertahan karena Pandemi Covid-19. Kita semua berharap agar Pandemi ini mereda secepatnya. Agar, masyarakat bisa beraktifitas secara normal seperti dulu. Mengapa? Karena kondisi New Normal membuat kegiatan masyarakat tetap memperhatikan Protokol Kesehatan (Prokes). 

Kehadiran nenek dengan wajah keriputnya sungguh bersahaja. Sebelum beliau meninggalkan saya, beliau sempat mengatakan sesuatu yang membuat saya bangun dari tidurnya. “Koen wis ora eling karo keluargane ning Brebes? (Kamu sudah gak ingat dengan keluarganya di Brebes?). Makjleb, kalimat pamungkas yang membuat saya meneteskan air mata saat bangun dari tidur. 

Mimpi beberapa hari bersama nenek terasa nyata. Banyak pesan yang tersirat dan menjadi renungan saya. Saya ingin menyambangi orang tua, jika kondisi Pandemi sudah reda. Menyempatkan diri ziarah ke makam nenek. Dan, tentu, saya ingin bernostalgia mengenang masa-masa kecil kembali.


“Nenekku yang sangat kusayangi, Surki Binti Muntaad (aka. Wa Tuwa Kembu). Maafkan cucumu, jika tak pernah bertandang ke pusaramu. Semoga dilapangkan kuburnya, dan ditempatkan di sisi Allah SWT. Semoga Allah SWT memberikan umur panjang pada cucumu ini. Insya Allah akan sowan di pusaramu. Terima kasih telah hadir dalam mimpiku untuk beberapa hari. Aku benar-benar kangen keluarga di Brebes. Aku ingin menyambanginya ..”  


ARUNIKA HOTEL & SPA ANNOUNCE THE OPENING ON FEBRUARY 14th, 2023

Arunika Hotel & SPA Tuban Bali (Source: Arunika Hotel & SPA)     Tuban, Bali, February 2023 - Good news about hospitality in B...